Jumat 28 Juni 2019, 16:57 WIB
Kolom
Inteligensia Muslim di Era Pasca Kebenaran
Jakarta -
Belum khatam dengan polemik ustaz yang bergelar pakar akhir zaman, polemik "cocokologi" terkait unsur keagamaan yang sangat rentan itu ternyata sekaligus menjadi lahan basah. Polemik terbaru terjadi di lingkup Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang secara tegas menyatakan keharaman game PUBG.
Keputusan pengharaman itu sekilas sah-sah saja. Apalagi keputusan itu dihasilkan lewat proses yang "tidak gegabah" sebab melalui pengkajian dan verifikasi dari perspektif psikologi, sosiologi, dan tentunya ajaran Islam. Namun, salah satu statement yang terasa ganjil ialah menyebut Box Birthdaydi PUBG menyerupai bentuk Kabah dan karena itu pihak terkait (Tencent Gaming) dianggap melecehkan Islam.
Ungkapan menyerupai Kabah ini terkesan sedikit memaksakan argumentasi. Apa indikator "menyerupai bentuk Kabah" itu sendiri belum jelas dan ditemukan batas-batasnya. Non-identik atau identik. Sedang stereotip terhadap identifikasi Box itu sudah ada, bahkan menjadi argumentasi tak terbantah dari pengharaman game tersebut.
Bahwa segala hal dan tingkat kesesuaian bentuk lain pada Kabah, tentu tidak akan mengurangi nilai luhur dan fungsi Kabah bagi umat Islam. Persoalannya kemudian, seberapa pentingkah anggapan penyerupaan simbolis keagamaan yang dalam taraf tertentu dikaitkan dengan pelecehan Islam? Sementara kita tidak bisa memungkiri banyaknya instrumen sepadan di dunia ini.
Sependek pengamatan saya, anggapan penyerupaan ini bermula dari gerakan tagar "BoycotPUBG" di Twitter yang dimobilisasi oleh akun orang-orang India dan Pakistan yang menulis "Science Lover" di bio akun Twitter-nya dan mengikuti perkembangan negeri Palestina secara bersamaan.
Hilangnya Kepakaran
Sesungguhnya hilangnya kepakaran mulai terlihat menyesatkan. Pengaminan opini secara lanyah terkabulkan di era pasca-kebenaran (post-truth era). Ruang publik yang semestinya didekorasi oleh inteligensia manusia, kini mulai tak terkendali. Menghasilkan pola didik kemampuan artikulasi kebahasaan yang lemah, monoton, sangat standar, dan resmi sekali yang ditularkan apalagi lewat perbincangan tak berujung ihwal kontestasi politik negeri ini.
Di sisi lain, Artificial Intelegence (AI) mulai terlihat boroknya. Puing-puing pengetahuan tercecer di banyak platform media, menjadi bias yang tak menyenangkan, apalagi menyelesaikan masalah. Bahasa awam mengatakan, media sosial hanyalah tempat reproduksi sampah.
Fenomena ini dibaca oleh Pierre Bourdieu (1988) sebagai symbolic capital, yakni kapital yang terdiri dari simbol-simbol yang sarat makna dan kepentingan. Tidak jauh sebelum itu, dalam bahasa Rendal Collin (1979) masyarakat yang memuja legalitas dan formalitas sebagai supremasi dan simbol tertinggi dalam kehidupan disebut sebagai masyarakat kredensial. Salah satu simbol kapital yang terjadi belakangan itu ialah kredensialisme agama.
Muhammad Sobary (2018) kemudian menghabisi praktik kredensialisme agama di Indonesia melalui beberapa gagasannya yang termaktub dalam bukunya yang berjudul Penunggang Kuda dalam Kegelapan. Sobary menyigi virus keagamaan yang bertitik tolak pada terpatrinya pikiran masyarakat terhadap simbol-simbol agama dan tafsir tekstual, alias "asal nompo". Bersamaan dengan era pasca-kebenaran ini, usaha-usaha untuk menelaah agama melalui tahapan artifisial, prakondisi, dan kontekstualisasi masih sangat minim, kalau tidak mau menyebut tidak ada sama sekali.
Lantas, fenomena ustaz-ustaz yang berbicara tentang hal yang jelas-jelas bukan bidang keahliannya, seperti bicara politik, budaya, sejarah Nusantara yang coba dikaitkan dengan nomenklatur kebahasaan Arab yang tidak cukup dapat diterima. Belum lagi pengaitan simbol-simbol yang menjinakkan umat Islam pada persoalan anti-semitisme. Pengkaitan perkara yang sebenarnya tidak baru itu, sayangnya kembali terarusutamakan oleh kerja-kerja "keliru" para ustaz-ustaz anyaran.
Lantas, fenomena ustaz-ustaz yang berbicara tentang hal yang jelas-jelas bukan bidang keahliannya, seperti bicara politik, budaya, sejarah Nusantara yang coba dikaitkan dengan nomenklatur kebahasaan Arab yang tidak cukup dapat diterima. Belum lagi pengaitan simbol-simbol yang menjinakkan umat Islam pada persoalan anti-semitisme. Pengkaitan perkara yang sebenarnya tidak baru itu, sayangnya kembali terarusutamakan oleh kerja-kerja "keliru" para ustaz-ustaz anyaran.
Benturan kebudayaan sekilas tampak mengilhami pikiran ustaz itu, mengimajinasikan adanya musuh bayangan (shadow enemy's) yang selalu mengintai bahkan menggerogoti. Meskipun kekecewaan terhadap hal itu memang patut dianggap sebagai luka sejarah, namun penolakan secara keseluruhan atas warisan pengetahuan, peradaban, dan teknologi tidak bisa tidak menjadi wacana yang memperkaya inteligensia umat Islam dalam merekonstruksi peradaban. Tentu, dengan prosedur yang mengindahkan asas pengendapan dan kedalaman wawasan keilmuan di bidangnya masing-masing.
Rangsangan Kultural
Pembicaraan ini tidak menyoal apa yang harus ada, melainkan belajar dari apa yang sudah ada. Secara normatif-tekstualis bisa jadi anggapan menyerupai Kabah dan "masjid iluminati" itu haram dan melecehkan Islam. Dengan begitu personifikasi dalam menggunakan cara pandang masih bergantung pada mekanisme biner, hitam-putih, halal-haram, benar-salah.
Lepaskan pikiran mengenai apa yang terjadi ini dengan cara berpikir lain tentang apa yang harus terjadi. Dengan begitu, kita bisa mengikuti jalan dari tradisi —bagian penting kebudayaan— yang berkembang di dalam setiap masyarakat. Perkara profan yang selalu dikaitkan dengan moralitas dan dilokalisasi sebagai asas barometer ketakwaan, akan rancu sekali kalau masih berpatok pada pikiran apa yang harus ada.
Imajinasi simbolis yang berunsur agama, baiknya dikelola secara keadaban. Penilaian negatif bisa menjerumuskan kita pada kenaifan dan kejumudan pikir sekaligus. Karena itu, penilaian semestinya terfokus pada ikhtiar inteligensia yang diperas melalui kedalaman rangsangan-rangsangan kultural dari aktor peradaban.
Bak bunga yang bermetamorfosis, kadar rangsangan sinar matahari dan kemampuan akar menyerap air ialah faktor yang membuatnya mekar indah. Dan karena itu, bunga yang mekar disukai banyak orang. Nah, menghardik geometri dalam Islam sama saja menolak kedalaman yang terbentuk dari instrumen kultural yang terpapar di lingkungan sekitarnya. Ala kulli hal, instrumen rangsangan kultural yang banyak bisa diserap melalui banyak hal menjadi guru kita selain Kitab Suci. Melalui dua faktor itu, kejernihan pikiran dan kedalaman moral berfungsi untuk menekan tangkai-tangkai bangsa yang terluka oleh riak-riak kejumudan berpikir masyarakat.
Afrizal Qosim Sholeh ; Peneliti Muda di Institute of Southeast Asian Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar