Senin 24 Juni 2019, 11:14 WIB
Kolom Kang Hasan
Anak-Anak Terpapar Fanatisme Politik
Jakarta - Hari Sabtu lalu saya pergi ke sekolah anak saya untuk mengambil rapor. Anak saya siswa kelas 5, naik ke kelas 6. Saat menunggu giliran berhadapan langsung dengan wali kelas, saya mendengar pembicaraan seorang ibu dengan wali kelas. Ibu ini mengeluhkan sikap anaknya yang menurut dia menunjukkan gejala-gejala fanatik terhadap agama. Sepertinya anaknya kerap menulis posting agama di media sosial. Isi posting tidak melulu soal agama, tapi cenderung ke arah fanatisme politik berbalut agama.
Intinya, anak tadi punya pandangan atau preferensi politik yang fanatik. Ia mendukung politikus tertentu, dan membenci lawan politik politikus tersebut, juga para pendukungnya. Semua itu diberi makna atau konteks agama. Mendukung politikus A sama artinya dengan membela Islam, sedangkan yang tidak mendukung adalah musuh Islam.
Wali kelasnya juga mengkonfirmasi hal yang sama. Ia lalu bercerita soal bagaimana ia menangani anak itu. Ia menasihati anak itu, bahwa semangatnya dalam beragama sangat baik. Hanya saja, semangat itu perlu didukung oleh pengetahuan yang memadai. Ia mendorong anak itu untuk belajar lebih banyak agar lebih luas dalam melihat segala sesuatu. Siswa kelas 5 sudah punya pandangan politik, dan fanatik pula. Tidakkah itu terlalu dini? Anak saya yang seusia masih suka telanjang, sibuk baca komik, main game, dan makan es krim. Bagi saya, itulah hal-hal yang sepatutnya dilakukan oleh anak berusia 11-12 tahun. Bukan memikirkan politik.
Tapi fakta tadi tidak terlalu mengejutkan. Memang sudah sangat banyak anak-anak yang terpapar politik yang menunggangi agama. Bukan hanya terpapar, tapi sengaja diarahkan oleh orangtua dan guru mereka. Dalam kegilaan gerakan "ganti presiden" tempo hari, ada orangtua yang dengan bangga memakaikan kaus "ganti presiden" ke anaknya yang masih berusia dini. Seorang ayah malah dengan bangga bercerita di dunia sosial bahwa ia mengirim anaknya ke rumah kakeknya dalam suasana Lebaran, memakai kaus "ganti presiden" untuk memamerkan preferensi politik di tengah keluarga besar.
Politik yang menunggangi agama bagi banyak orang dianggap sebagai agama itu sendiri. Bersikap politik dianggap sama dengan pengamalan agama. Lawan politik adalah musuh agama. Membawa anak-anak ke urusan politik bagi mereka adalah pendidikan agama. Anak-anak sedang disiapkan untuk menjadi generasi penerus kegilaan politik itu.
Orang-orang itu membawa anak-anak mereka dalam acara politik. Anak-anak usia dini ikut demonstrasi politik. Bahkan ada partai politik yang terang-terangan melakukannya. Itu untuk pendidikan politik, dalih mereka.
Dalam hal anak ibu tadi, orangtuanya bukan jenis yang saya sebut di atas. Pertanyannya, kenapa anak itu bisa terpapar? Salurannya ada sangat banyak. Bisa dari guru yang lain, bisa pula dari media sosial.
Anak kelas 5 SD main media sosial. Itu fakta lain yang harus kita sadari. Penyedia platform media sosial sebenarnya telah menetapkan batasan usia untuk main media sosial. Facebook, Instagram, dan Twitter membatasi usia pengguna minimal 13 tahun. Whatsapp malah menaikkan batas itu menjadi 16 tahun. Tapi siapa peduli?
Anak-anak sudah dibekali dengan telepon genggam sejak usia dini. Mereka bebas berselancar di media sosial, berinteraksi dengan siapa saja, dari golongan mana saja, nyaris tanpa pengawasan orang tua. Hoax yang bahkan bisa menyesatkan para orangtua, apa akibatnya pada anak-anak?
Kita sedang berhadapan dengan masalah ganda, yaitu kegilaan fanatisme politik berbalut agama, dan kegilaan itu mulai meracuni anak-anak. Kegilaan jenis pertama saja sudah sangat rumit. Ditambah lagi dengan jenis kedua.
Adakah tanggung jawab politikus? Mardani Ali Sera, penggagas kegilaan itu dengan enteng menyatakan bahwa gerakan itu selesai saat Prabowo sudah terlihat kalah. Para politikus pendukung Prabowo kini bergerilya untuk mendapatkan jabatan politik dalam pemerintahan Jokowi nantinya. Mereka menyebutnya usaha rekonsiliasi. Bagi politikus, politik itu hanya soal jabatan, apakah mereka dapat jabatan atau tidak. Padahal bagi para pendukungnya, ini adalah soal masuk surga atau neraka.
Pemerintah perlu bekerja sangat serius untuk membersihkan lembaga pendidikan dari guru-guru fanatik politik. Celakanya, ada 70% lebih ASN yang membenci Jokowi, termasuk di dalamnya para guru. Membersihkannya bukan pekerjaan mudah. Tapi pekerjaan ini mutlak harus dilakukan.
Para orangtua yang sadar soal kegilaan itu, yang tidak ingin anaknya terpapar, harus aktif mendampingi anak. Pahamilah bahwa tugas mendidik anak tidak selesai dengan mengirim anak ke sekolah. Jangan biarkan sekolah mengendalikan pendidikan anak-anak Anda. Pendidikan itu tanggung jawab Anda. Tak kalah penting lagi, jangan racuni anak-anak Anda dengan gawai. Jangan biarkan mereka mengembara di dunia media sosial sebelum mereka berusia pantas. ***
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
Intinya, anak tadi punya pandangan atau preferensi politik yang fanatik. Ia mendukung politikus tertentu, dan membenci lawan politik politikus tersebut, juga para pendukungnya. Semua itu diberi makna atau konteks agama. Mendukung politikus A sama artinya dengan membela Islam, sedangkan yang tidak mendukung adalah musuh Islam.
Wali kelasnya juga mengkonfirmasi hal yang sama. Ia lalu bercerita soal bagaimana ia menangani anak itu. Ia menasihati anak itu, bahwa semangatnya dalam beragama sangat baik. Hanya saja, semangat itu perlu didukung oleh pengetahuan yang memadai. Ia mendorong anak itu untuk belajar lebih banyak agar lebih luas dalam melihat segala sesuatu. Siswa kelas 5 sudah punya pandangan politik, dan fanatik pula. Tidakkah itu terlalu dini? Anak saya yang seusia masih suka telanjang, sibuk baca komik, main game, dan makan es krim. Bagi saya, itulah hal-hal yang sepatutnya dilakukan oleh anak berusia 11-12 tahun. Bukan memikirkan politik.
Tapi fakta tadi tidak terlalu mengejutkan. Memang sudah sangat banyak anak-anak yang terpapar politik yang menunggangi agama. Bukan hanya terpapar, tapi sengaja diarahkan oleh orangtua dan guru mereka. Dalam kegilaan gerakan "ganti presiden" tempo hari, ada orangtua yang dengan bangga memakaikan kaus "ganti presiden" ke anaknya yang masih berusia dini. Seorang ayah malah dengan bangga bercerita di dunia sosial bahwa ia mengirim anaknya ke rumah kakeknya dalam suasana Lebaran, memakai kaus "ganti presiden" untuk memamerkan preferensi politik di tengah keluarga besar.
Politik yang menunggangi agama bagi banyak orang dianggap sebagai agama itu sendiri. Bersikap politik dianggap sama dengan pengamalan agama. Lawan politik adalah musuh agama. Membawa anak-anak ke urusan politik bagi mereka adalah pendidikan agama. Anak-anak sedang disiapkan untuk menjadi generasi penerus kegilaan politik itu.
Orang-orang itu membawa anak-anak mereka dalam acara politik. Anak-anak usia dini ikut demonstrasi politik. Bahkan ada partai politik yang terang-terangan melakukannya. Itu untuk pendidikan politik, dalih mereka.
Dalam hal anak ibu tadi, orangtuanya bukan jenis yang saya sebut di atas. Pertanyannya, kenapa anak itu bisa terpapar? Salurannya ada sangat banyak. Bisa dari guru yang lain, bisa pula dari media sosial.
Anak kelas 5 SD main media sosial. Itu fakta lain yang harus kita sadari. Penyedia platform media sosial sebenarnya telah menetapkan batasan usia untuk main media sosial. Facebook, Instagram, dan Twitter membatasi usia pengguna minimal 13 tahun. Whatsapp malah menaikkan batas itu menjadi 16 tahun. Tapi siapa peduli?
Anak-anak sudah dibekali dengan telepon genggam sejak usia dini. Mereka bebas berselancar di media sosial, berinteraksi dengan siapa saja, dari golongan mana saja, nyaris tanpa pengawasan orang tua. Hoax yang bahkan bisa menyesatkan para orangtua, apa akibatnya pada anak-anak?
Kita sedang berhadapan dengan masalah ganda, yaitu kegilaan fanatisme politik berbalut agama, dan kegilaan itu mulai meracuni anak-anak. Kegilaan jenis pertama saja sudah sangat rumit. Ditambah lagi dengan jenis kedua.
Adakah tanggung jawab politikus? Mardani Ali Sera, penggagas kegilaan itu dengan enteng menyatakan bahwa gerakan itu selesai saat Prabowo sudah terlihat kalah. Para politikus pendukung Prabowo kini bergerilya untuk mendapatkan jabatan politik dalam pemerintahan Jokowi nantinya. Mereka menyebutnya usaha rekonsiliasi. Bagi politikus, politik itu hanya soal jabatan, apakah mereka dapat jabatan atau tidak. Padahal bagi para pendukungnya, ini adalah soal masuk surga atau neraka.
Pemerintah perlu bekerja sangat serius untuk membersihkan lembaga pendidikan dari guru-guru fanatik politik. Celakanya, ada 70% lebih ASN yang membenci Jokowi, termasuk di dalamnya para guru. Membersihkannya bukan pekerjaan mudah. Tapi pekerjaan ini mutlak harus dilakukan.
Para orangtua yang sadar soal kegilaan itu, yang tidak ingin anaknya terpapar, harus aktif mendampingi anak. Pahamilah bahwa tugas mendidik anak tidak selesai dengan mengirim anak ke sekolah. Jangan biarkan sekolah mengendalikan pendidikan anak-anak Anda. Pendidikan itu tanggung jawab Anda. Tak kalah penting lagi, jangan racuni anak-anak Anda dengan gawai. Jangan biarkan mereka mengembara di dunia media sosial sebelum mereka berusia pantas. ***
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
.
BalasHapus