(Dis)proporsionalitas
Kursi DPR 2019
Pelaksanaan Pemilihan Umum 2019 memasuki tahap akhir. Selepas penetapan hasil pemilu pada 21 Mei lalu, proses yang masih harus dinanti adalah persidangan perselisihan hasil pemilu yang saat ini masih bergulir di Mahkamah Konstitusi. Meski hasil Pemilu 2019 belum final, dengan merujuk hasil (sementara) ini, bakal terdapat sembilan dari 16 parpol peserta pemilu anggota DPR 2019 yang berhak menempatkan wakilnya ke Senayan.
Simulasi yang dilakukan menempatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) berada di urutan pemuncak dengan 128 kursi (22,26 persen) dari total 575 kursi DPR yang diperebutkan. Pemilu menyangkut proses konversi suara menjadi kursi parlemen, di mana prinsip proporsionalitas, kesetaraan, dan derajat keterwakilan yang tinggi menjadi variabel penting dalam setiap studi kepemiluan. Keberimbangan (proporsionalitas) bakal tecermin dengan kondisi ideal di mana proporsi kursi yang diperoleh suatu parpol sebanding dengan proporsi suara pemilih yang diperolehnya saat pemungutan suara.
Simulasi sementara hasil pemilu DPR 2019, perhitungan Indeks Disproporsionalitas LHI (Loosemore-Hanby-Index) mendapatkan angka 3,11 persen, yang bisa dimaknai terdapat hampir 18 kursi DPR yang ”keliru” dialokasikan dan setara dengan 3,925 juta pemilih yang dirugikan. Angka LHI ini sedikit membaik ketimbang hasil Pemilu 2014 dengan LHI 4,04 persen atau sebanding dengan 23 kursi DPR yang ”keliru” dialokasikan.
Muasal masalah
LHI bernilai nol mencerminkan representasi ideal. Semakin tinggi nilai LHI, semakin disproporsional hasil pemilu. Dengan hanya merujuk angka di atas, dapat dikatakan bahwa hasil Pemilu 2019 memang terlihat lebih proporsional ketimbang Pemilu 2014. Akan tetapi, benarkah ”perbaikan” proporsionalitas tersebut telah mendekati kondisi ideal dan tidak memendam persoalan di masa mendatang? Salah satu faktor, penambahan 15 kursi DPR ketimbang Pemilu 2014 berandil pada peningkatan ”proporsionalitas” tersebut sekalipun tidak sepenuhnya menyelesaikan problem klasik pemilu kita.
Hasil Pemilu DPR 2019 secara signifikan tetap memperlihatkan adanya parpol yang ”diuntungkan” dan sebaliknya. Misalnya, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) menempati peringkat kedua perolehan suara, yakni 13,93 persen dari total perolehan suara sah partai-partai yang lolos ambang batas (parliamentary threshold).
Akan tetapi, dengan perolehan 78 kursi DPR, Gerindra justru tersalip oleh Partai Golkar yang perolehan suaranya lebih sedikit. Perolehan suara Golkar yang ”hanya” 13,92 persen, diperkirakan terkonversi menjadi 85 kursi DPR (14,97 persen). Kondisi tersebut tidak berbeda halnya dengan saat Pemilu 2014, yakni antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN). PKB perolehan suaranya lebih banyak (9,26 versus 7,77 persen), tetapi perolehan kursi DPR-nya justru kurang ketimbang PAN (47 kursi versus 49 kursi).
Pada pemilu kali ini, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terhitung merugi dengan tingkat under-represented tertinggi ketimbang empat parpol lain: suara mencapai 6,323 juta (5 persen), tetapi estimasi perolehan kursi DPR hanya 19 kursi (3,30 persen). Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang kerap menyoal posisinya yang under-represented, terutama akibat mahalnya kursi DPR di dapil Jawa Timur, kini hasil perolehan kursi DPR-nya pun secara nasional tak lebih proporsional ketimbang pemilu terdahulu. Pun demikian PKS yang pada Pemilu 2014 cenderung over-represented kini justru persentase perolehan kursinya tak lebih baik ketimbang persentase perolehan suaranya.
Salah satu muasal persoalan sebenarnya sudah tereka saat pembahasan rancangan undang-undang (yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017), di mana salah satu isu yang cukup pelik dan menyita perhatian adalah jumlah kursi DPR (assembly size), pengalokasian penambahan 15 kursi DPR ke provinsi, penetapan besaran daerah pemilihan (district magnitude), dan metode konversi suara menjadi kursi.
Dari sudut teknokrasi kepemiluan, pokok perdebatan mengerucut pada kehendak ideal untuk mendapatkan DPR sebagai lembaga negara yang merupakan representasi penduduk sesuai dengan prinsip one person one vote one value (OPOVOV).
Dalam praktiknya, pembahasan RUU adalah proses politik di mana tarik-menarik kepentingan para pembuat kebijakan tak terhindarkan. Pilihan kebijakan menjadi bergeser pada apakah ujung-akhir sebuah kebijakan bakal menguntungkan ataukah merugikan; sekalipun pembungkusnya adalah alasan demi menjaga stabilitas politik ataupun kompromi yang masih dalam batas toleransi dan manageable.
Berdasarkan hasil Pemilu 2019, alasan yang dikemukakan bahwa pengalokasian penambahan 15 kursi DPR bakal menutup kekurangan representasi pada sejumlah provinsi toh ternyata belum benar-benar terbukti efektif. Penambahan kursi itu hanya menambal persoalan representasi dan proporsionalitas di beberapa daerah serta luput mengoreksi persoalan di daerah-daerah lain.
Saatnya memulai
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD sudah mengusulkan agar revisi UU Pemilu menjadi prioritas bagi pemerintahan periode 2019-2024. Kompleksnya persoalan terkait pelaksanaan Pemilu 2019 harus menjadi pertimbangan penting untuk menyegerakan revisi tersebut. Bukan hanya persoalan teknis penyelenggaraan, semisal beban (berlebih) petugas penyelenggara pemilu di tingkat bawah saja; semestinya soal representasi dan proporsionalitas layak dikedepankan sebagai materi diskusi panjang dan lebih komprehensif.
Toh, akar persoalan yang terkait proporsionalitas hasil Pemilu 2019 sebenarnya sudah bisa teridentifikasi sejak awal. Alokasi kursi DPR nirtransparansi data jumlah penduduk yang dipergunakan sebagai acuan; yang pada akhirnya merembet pada rasio pemilih terhadap jumlah penduduk; tingkat partisipasi pemilih; dan kemudian berulang pada ”mahal-murahnya” nilai kursi DPR di setiap daerah pemilihan. Distorsi akibat belitan kepentingan sepihak yang terjadi setiap kali pembahasan UU Pemilu semestinya tidak boleh terulang lagi.
Tantangan berikutnya adalah soal metode hitung untuk pengalokasian kursi. Apakah dari sisi proporsionalitas, pilihan metode divisor Sainte Lague pada Pemilu 2019 lebih baik ketimbang metode kuota Hare Largest Remainders yang telah dipakai pada beberapa pemilu sebelumnya? Apakah terbuka kemungkinan mencoba varian lain, seperti penghitungan secara nasional terlebih dulu atau di tingkat provinsi, kemudian baru dialokasikan ke setiap daerah pemilihan—sebagaimana diterapkan di Jerman, misalnya?
Faktor disparitas tingkat partisipasi di daerah-daerah pemilihan semestinya bisa menjadi pertimbangan untuk memberikan insentif bagi partai politik peserta pemilu guna lebih giat menarik minat konstituen untuk hadir ke bilik suara.
Pada akhirnya, persoalan representasi dan proporsionalitas adalah problem klasik dalam studi kepemiluan Indonesia, setidaknya sejak Pemilu 2004. Hasil akhir Pemilu 2019 memang belum ada, penghitungan (dis)proporsionalitas pun belum final. Seturut proses tersebut, respons dan pengujian publik tentunya tidak bisa diabaikan, setidaknya untuk meminimalkan (terulangnya) pemuatan kepentingan sepihak dari penentu kebijakan di masa mendatang. Pelbagai simulasi bisa dilakukan sedari sekarang, termasuk untuk menguji apakah niatan (intention) dari para perumus kebijakan yang digaungkan saat pembahasan UU Pemilu sudah tercapai atau malah kian menjauh.
Sidik Pramono Pendiri Election and Governance Project, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar