Konstitusionalitas Pemecatan PNS Koruptor
Mahkamah Konstitusi memutuskan pasal yang menjadi dasar hukum pemecatan pegawai negeri sipil (PNS) koruptor adalah konstitusional.
Namun, tampaknya putusan ini belum mengakhiri polemik mengenai pemecatan PNS koruptor. Hingga saat ini, masih terdapat PNS koruptor yang belum dipecat, tetap menduduki jabatan dan menerima gaji dari negara. Ironis, betapa susahnya memecat koruptor di negara yang sehari-hari menggaungkan pemberantasan korupsi.
Sejak 2018, pemerintah sebenarnya telah berusaha mencari cara untuk memecat PNS yang terlibat korupsi. Setiap lembaga terkait mengeluarkan kebijakan. Mendagri mengeluarkan Surat Edaran Nomor 180/6867/SJ tentang Penegakan Hukum terhadap Aparatur Sipil Negara yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi yang ditujukan kepada Kepala Daerah di seluruh Indonesia. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menerbitkan Surat Edaran No 20 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Pemberhentian Aparatur Sipil Negara yang Terbukti Melakukan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian, Kepala Badan Kepegawaian Nasional juga menerbitkan Surat Edaran No K 26-30/V55-5/99 pada April 2018.
Ketiga kebijakan itu pada intinya memerintahkan kepada pejabat pembina kepegawaian baik di pusat ataupun daerah untuk memecat PNS yang telah dihukum dalam perkara korupsi dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).
Tak cukup sampai di situ, ketiga lembaga tersebut juga mengeluarkan kebijakan bersama, surat keputusan bersama (SKB), sebab pemecatan tak kunjung dilakukan. SKB ini lebih tegas dari surat edaran sebelumnya. Pertama, SKB memerintahkan agar PNS koruptor diberhentikan tidak dengan hormat dan dilakukan maksimal pada Desember 2018. Kedua, terhadap pejabat yang berwenang/pejabat pembina kepegawaian yang tidak memecat PNS koruptor sebagaimana diperintahkan oleh SKB, maka akan diberikan sanksi.
Ternyata SKB ini pun diabaikan. Setelah lewat tenggat, para PNS koruptor itu belum dipecat. Hingga saat ini, berdasarkan data Kemendagri, masih ada 1.124 PNS yang belum dipecat. Mayoritas mereka bekerja di pemerintahan kota/kabupaten. Mereka masih menerima gaji dari negara sehingga negara berpotensi dirugikan.
Putusan MK
Polemik pemecatan PNS koruptor masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 87 Ayat (4) huruf b Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dijadikan dasar untuk memecat PNS koruptor digugat. Pasal tersebut pada intinya menyatakan bahwa PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.
MK menolak permohonan itu dan menguatkan konstitusionalitas Pasal 87 Ayat (4) huruf b. Setidaknya ada 3 (tiga) pertimbangan konstitusionalitas pasal tersebut. Pertama, ketentuan pasal itu untuk mencegah kesewenang-wenangan. Bahwa pemberhentian tidak dengan hormat, harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Pasal 87 UU ASN adalah norma UU yang memberikan dasar hukum bagi pejabat yang berwenang memberhentikan PNS tidak dengan hormat dengan menegaskan alasan-alasan apa saja yang absah untuk digunakan sebagai dasar hukum untuk memberhentikan seorang PNS tidak dengan hormat. Salah satu alasan tersebut adalah karena dihukum berdasarkan putusan pengadilan.
Kedua, pemberhentian tidak dengan hormat bukanlah sanksi tambahan. Pemberhentian merupakan sanksi administrasi, lazimnya sebagai bentuk sanksi disiplin bagi PNS yang melanggar hukum. Sanksi dalam hukum administrasi adalah penerapan kewenangan pemerintahan berdasarkan peraturan tertentu yang dilaksanakan langsung oleh pejabat administrasi tanpa memerlukan perantaraan pihak ketiga (pengadilan). Pemecatan adalah bentuk sanksi regresif, yaitu sanksi yang dijatuhkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, sanksi pemecatan bukanlah sanksi tambahan, ia merupakan sanksi administrasi yang berdiri sendiri dan tidak dapat dicampuradukkan dengan sanksi pidana.
Ketiga, pemberhentian tidak dengan hormat merupakan hukuman yang wajar. Adalah tindakan yang wajar untuk memecat PNS koruptor sebab dengan melakukan kejahatan jabatan (korupsi) seorang PNS telah menyalahgunakan atau bahkan mengkhianati jabatan yang dipercayakan kepadanya. Seorang PNS sebagai aparatur pemerintah seharusnya memberi teladan secara etik dan juga secara hukum. PNS yang melakukan kejahatan korupsi sesungguhnya, secara langsung atau tidak langsung, telah mengkhianati rakyat.
Ketiga pertimbangan yang termaktub dalam putusan MK tersebut merupakan landasan yang kuat untuk melakukan pemecatan PNS koruptor. Putusan MK bersifat final dan mengikat. Asas erga omnes menyatakan bahwa putusan MK tak hanya mengikat para pihak, tetapi juga harus ditaati oleh siapa pun. Beban pelaksanaan putusan MK terletak pada pemerintah, khususnya pejabat pembina kepegawaian/pejabat berwenang yang harus segera memecat PNS koruptor. SKB dapat menjadi acuan pelaksanaan teknis pemecatan. Sebab sejatinya, putusan MK membenarkan dan menguatkan langkah pemerintah yang menerbitkan SKB. Dengan demikian, semestinya tak ada lagi keraguan untuk memecat PNS koruptor.
Sanksi berat
Jika ternyata pemecatan tak kunjung dilakukan, pejabat yang membangkang dapat dikenai sanksi. Merujuk ketentuan Pasal 17 UU Administrasi Pemerintahan (UU Adpem), pejabat yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan perintah UU dan melawan putusan pengadilan, dapat didakwa melakukan penyalahgunaan wewenang. Sanksi berat dapat dijatuhkan bagi pejabat yang melakukan penyalahgunaan wewenang. Diatur dalam Pasal 80 Ayat (3) UU Adpem bahwa pejabat pemerintahan yang melanggar ketentuan Pasal 17 (larangan penyalahgunaan wewenang), dikenai sanksi administratif berat. Sanksi administratif berat tersebut terdiri dari pemberhentian tetap dengan/tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dapat dipublikasikan di media massa.
UU Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan kepada Kemendagri untuk melakukan pemeriksaan dan menjatuhkan sanksi bagi pejabat daerah yang membangkang, baik kepala daerah maupun pejabat berwenang lain. Tindakan tegas ini perlu segera diambil oleh pemerintah pusat. Jika tidak, pemerintah turut membiarkan kelalaian ini dan membiarkan terjadinya perlawanan terhadap upaya pemberantasan korupsi yang datang dari aparaturnya sendiri.
Oce Madril ; Pengajar di Fakultas Hukum UGM; Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) FH UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar