Rabu 26 Juni 2019, 14:30 WIB
Kolom
Bergantung pada Palu MK
Jakarta - Dalam perselisihan hasil pemilihan presiden yang dilaksanakan pada April 2019, Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi suara terakhir untuk memutuskan siapakah yang akan menjadi pemenang pemilu yang akan menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia untuk waktu lima tahun ke depan.
Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 02, yaitu Prabowo-Sandi menjadi salah satu kewenangan MK yang diberikan secara langsung oleh Konstitusi. Sifat final and binding serta "deklaratoir" membuat setiap putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan, dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh lagi, kemudian putusan tersebut otomatis berlaku dan tidak perlu dieksekusi.
Langkah untuk membawa sengketa hasil pemilihan presiden ke MK diwarnai dengan skeptisme karena MK dipandang tidak akan independen dalam memeriksa dan memutus permohonan yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 02. Pasalnya MK dianggap tidak netral dan merupakan lembaga yang berpihak dan terintegrasi dengan pemerintah. Namun, pasangan Prabowo-Sandi tetap membawa sengketa hasil pemilihan presiden ke lembaga tersebut. Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden (PHPU-Presiden) dimulai sejak 14 Juni dan akan diakhiri dengan pengucapan putusan pada 27 Juni besok dengan didahului serangkain Rapat Permusyawaratan Hakim. Pada saat berjalannya persidangan pemeriksaan perkara sengketa PHPU-Presiden yang dilakukan oleh MK, terdapat beberapa hal yang perlu untuk digarisbawahi dan berpotensi menjadi pertimbangan MK dalam amar putusan perkara tersebut.
Pertama, tentang perbaikan gugatan dari tim hukum pasangan calon Prabowo-Sandi selaku pemohon pada 25 Mei 2019. Merujuk pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum dalam Pasal 3 ayat (2) dijelaskan bahwa tahapan pemeriksaan kelengkapan permohonan pemohon dan perbaikan kelengkapan pemohon tidak dijalankan atau dikecualikan dalam penanganan perkara PHPU presiden dan wakil presiden. Jadi bisa dilakukannya perbaikan atas perbaikan permohonan hanya berlaku untuk PHPU untuk DPR, DPD, dan DPRD.
Apabila merujuk pada ketentuan tersebut, MK seharusnya secara tegas menyatakan tidak ada perbaikan atas permohonan PHPU tersebut.
Kedua, tuduhan pemohon bahwa telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) tidak dapat dijelaskan dan dibuktikan secara konkret oleh tim kuasa hukum pemohon. Salah satu dalil yang dicoba untuk dibuktikan adalah tentang aparat yang tidak netral. Namun hal tersebut apabila masih belum dapat dibuktikan mempengaruhi hasil akhir di mana terdapat selisih suara sebesar 17 juta suara antara Jokowi dan Prabowo.
Pihak yang mendalilkan harus mampu untuk melakukan pembuktian, namun alat bukti yang diyakini oleh pemohon akan mempengaruhi hasil dengan jumlah sebanyak 26 kontainer malah tidak dihadirkan dalam persidangan. Sehingga hal tersebut menjadi salah satu variabel lemahnya pembuktian yang dilakukan oleh pemohon.
Ketiga, salah satu saksi pemohon dalam sidang pemeriksaan PHPU-Presiden menyatakan bahwa telah melaporkan Gubernur Jawa Tengah dan 32 kepala daerah ke Badan Pengawas Pemilu atas dugaan pelanggaran berupa deklarasi dukungan secara terbuka yang dilakukan oleh kepala daerah di Indonesia untuk memilih pasangan calon Jokowi-Maruf Amin. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa dukungan kepala daerah dalam pemilu bukan merupakan pelanggaran maupun pidana pemilu.
Asumsi yang dibangun bahwa deklarasi yang dilakukan oleh kepala daerah akan mempengaruhi hasil pemilu dapat dipatahkan dengan dengan hasil pemilu di Provinsi Sumatera Barat yang dimenangkan oleh Pasangan Prabowo-Sandi dengan menang telak di 18 dari 19 kabupaten/kota yang ada. Padahal 12 kepala daerah di Sumatera Barat telah melakukan deklarasi dukungan pada April 2019. Sehingga asumsi deklarasi dukungan kepala daerah akan mempengaruhi hasil pemilihan presiden dapat dipatahkan.
Hemi Lavour Febrinandez ; Peneliti di Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 02, yaitu Prabowo-Sandi menjadi salah satu kewenangan MK yang diberikan secara langsung oleh Konstitusi. Sifat final and binding serta "deklaratoir" membuat setiap putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan, dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh lagi, kemudian putusan tersebut otomatis berlaku dan tidak perlu dieksekusi.
Langkah untuk membawa sengketa hasil pemilihan presiden ke MK diwarnai dengan skeptisme karena MK dipandang tidak akan independen dalam memeriksa dan memutus permohonan yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 02. Pasalnya MK dianggap tidak netral dan merupakan lembaga yang berpihak dan terintegrasi dengan pemerintah. Namun, pasangan Prabowo-Sandi tetap membawa sengketa hasil pemilihan presiden ke lembaga tersebut. Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden (PHPU-Presiden) dimulai sejak 14 Juni dan akan diakhiri dengan pengucapan putusan pada 27 Juni besok dengan didahului serangkain Rapat Permusyawaratan Hakim. Pada saat berjalannya persidangan pemeriksaan perkara sengketa PHPU-Presiden yang dilakukan oleh MK, terdapat beberapa hal yang perlu untuk digarisbawahi dan berpotensi menjadi pertimbangan MK dalam amar putusan perkara tersebut.
Pertama, tentang perbaikan gugatan dari tim hukum pasangan calon Prabowo-Sandi selaku pemohon pada 25 Mei 2019. Merujuk pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum dalam Pasal 3 ayat (2) dijelaskan bahwa tahapan pemeriksaan kelengkapan permohonan pemohon dan perbaikan kelengkapan pemohon tidak dijalankan atau dikecualikan dalam penanganan perkara PHPU presiden dan wakil presiden. Jadi bisa dilakukannya perbaikan atas perbaikan permohonan hanya berlaku untuk PHPU untuk DPR, DPD, dan DPRD.
Apabila merujuk pada ketentuan tersebut, MK seharusnya secara tegas menyatakan tidak ada perbaikan atas permohonan PHPU tersebut.
Kedua, tuduhan pemohon bahwa telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) tidak dapat dijelaskan dan dibuktikan secara konkret oleh tim kuasa hukum pemohon. Salah satu dalil yang dicoba untuk dibuktikan adalah tentang aparat yang tidak netral. Namun hal tersebut apabila masih belum dapat dibuktikan mempengaruhi hasil akhir di mana terdapat selisih suara sebesar 17 juta suara antara Jokowi dan Prabowo.
Pihak yang mendalilkan harus mampu untuk melakukan pembuktian, namun alat bukti yang diyakini oleh pemohon akan mempengaruhi hasil dengan jumlah sebanyak 26 kontainer malah tidak dihadirkan dalam persidangan. Sehingga hal tersebut menjadi salah satu variabel lemahnya pembuktian yang dilakukan oleh pemohon.
Ketiga, salah satu saksi pemohon dalam sidang pemeriksaan PHPU-Presiden menyatakan bahwa telah melaporkan Gubernur Jawa Tengah dan 32 kepala daerah ke Badan Pengawas Pemilu atas dugaan pelanggaran berupa deklarasi dukungan secara terbuka yang dilakukan oleh kepala daerah di Indonesia untuk memilih pasangan calon Jokowi-Maruf Amin. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa dukungan kepala daerah dalam pemilu bukan merupakan pelanggaran maupun pidana pemilu.
Asumsi yang dibangun bahwa deklarasi yang dilakukan oleh kepala daerah akan mempengaruhi hasil pemilu dapat dipatahkan dengan dengan hasil pemilu di Provinsi Sumatera Barat yang dimenangkan oleh Pasangan Prabowo-Sandi dengan menang telak di 18 dari 19 kabupaten/kota yang ada. Padahal 12 kepala daerah di Sumatera Barat telah melakukan deklarasi dukungan pada April 2019. Sehingga asumsi deklarasi dukungan kepala daerah akan mempengaruhi hasil pemilihan presiden dapat dipatahkan.
Hemi Lavour Febrinandez ; Peneliti di Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar