Jumat 21 Juni 2019, 18:30 WIB
Kolom Kalis
Menjadi Umat yang Legawa Kritik
Sekira lima tahun lalu, ketika bertemu Prof Ali Maschan Moesa di Surabaya, saya mengadukan keprihatinan perihal medan dakwah di zaman internet. Saya secara sok tahu mengatakan bahwa dakwah NU dan Muhammadiyah ketinggalan zaman. Argumen saya mirip dengan isi kolom berjudul Dakwah "Smart" vs Dakwah Konvensional yang ditulis Muhammad As'ad, Dosen Universitas Hasyim Asyari, Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
Ketika itu, konten di laman-laman Nahdlatul Ulama berisi artikel dengan topik berat, padahal orang Islam mengetik di mesin pencari untuk informasi seputar niat salat atau doa mandi besar. Konten ceramah dengan durasi panjang tidak laku, sebab orang lebih suka kepada potongan ceramah tiga hingga lima menitan, yang penting ceramah tersebut memuat jawaban halal atau haram.
"Sudah mulai muncul penceramah dadakan bermodalkan kutipan konten keislaman di internet padahal ia tak benar-benar memahami apa yang ia sampaikan, Prof."
Prof Ali Maschan Moesa menjawab dengan gesture yang sangat santai. Sebagai anak muda dengan jiwa grusa-grusu, tentu saja saya gemas.
"Kewajiban seorang Muslim adalah berdakwah dengan benar. Kewajiban menyampaikan ilmu harus utuh, bukan cepat atau instan."
Maunya, jiwa muda ini membayangkan para kiai, para intelektual NU semua turun gunung di Instagram dan Youtube, lalu jadi "ustaz seleb" seperti tokoh agama yang laris akhir-akhir ini.
"Tapi, Prof..."
"Kalau ada yang mereduksi keilmuan Islam dipotong-potong jadi 35% saja di internet, laman-laman NU harus memastikan kontennya utuh minimal 75-85%. Itu saja masih mengkhawatirkan. Bisa bikin orang salah jalan."
"Tapi, Prof..."
"Ya tidak pakai tapi-tapi. Menyampaikan ilmu itu ada aturannya."
Banyak peristiwa yang terjadi belakangan ini membuat saya memahami pandangan Prof Ali Maschan Moesa itu. Jumlah orang yang jadi tak santun karena belajar agama semakin banyak, dan sebaliknya, munculnya pakar dadakan yang mendapat gelar ulama hanya karena kostum dan gaya retorika, terbukti bikin repot. Tiba-tiba ada ulama yang berkata-kata kasar di panggung, ada juga ulama yang melakukan tindak kekerasan kelas berat ke anak kecil.
Terakhir, ada seorang bergelar pakar akhir zaman yang menebar propaganda ketakutan kepada bentuk segitiga di sebuah masjid di Bandung dan diketahui bicara ngawur perihal kematian petugas KPPS yang bertugas dalam pemilu lalu. Fenomenanya makin aneh-aneh saja.
Kolom Dakwah "Smart" vs Dakwah Konvensional (detikcom, Jumat, 21/6) juga menyetujui anggapan sebagian orang bahwa dakwah NU dan Muhammadiyah kini semakin tak laku. Anggapan itu didasarkan kepada beberapa artis yang berhijrah, namun tidak merapat kepada NU dan Muhammadiyah, melainkan kepada beberapa ustaz yang bergiat di media sosial dan menyelenggarakan Hijrah Fest. Pertanyaannya, apa sesungguhnya indikator keberhasilan sebuah dakwah? Lebih-lebih, membandingkan tren hijrah dengan dakwah struktural maupun dakwah kultural NU dan Muhammadiyah, menurut saya, sama sekali tak akan nyambung.
Menurut data dari Kepala Pusat P3 Kementerian Agama, dakwah NU ada di 25.000 pesantren, dan lembaga PAUD hingga perguruan tinggi di Indonesia dengan puluhan juta santri-mahasantri. Sedangkan amal usaha Muhammadiyah, selain 171 perguruan tingginya yang mentereng, juga bergerak lewat 2119 lembaga layanan kesehatan.
Begini, menganggap NU dan Muhammadiyah seolah tak laku adalah pandangan terlampau naif. Dakwah anak muda NU sudah bicara isu perubahan iklim di berbagai forum internasional. Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) NU aktif mengampanyekan kampanye anti-plastik dan telah meluncurkan kajian "ngaji sampah". Gerakan kultural anak muda NU juga melahirkan banyak gerakan di isu lingkungan, dengan mengawal perjuangan petani Kendeng dan petani Kulon Progo.
Dakwah lewat lembaga pendidikan berjenjang itu memang perlu ketelatenan dan konsistensi selama ratusan tahun. Pesantren salafiyah tradisional yang ada di setiap kecamatan dan kota itu menerima anak didik dari semua lapisan masyarakat, yang jangankan untuk bicara untung, kerja-kerja para kiai dan bu nyai adalah merawat anak-anak titipan yang mondok di pesantren tanpa biaya dengan baik, termasuk soal makan hingga biaya pendidikan. Orangtua mereka adalah petani dan pedagang kecil yang datang ke pesantren dua bulan sekali dengan membawa beras dan hasil panen sebagai ganti dari biaya SPP.
Dalam tradisi keilmuan di pesantren, santri harus bertemu berjilid-jilid kitab Mabadi Fiqih sebelum belajar Fathul Qarib atau Fathul Muin. Seorang santri harus mengenal kitab Arbain Nawawi, sebelum mempelajari kitab Jawahir Al Bukhari. Seorang santri harus mengenal kitab Akhlakul Banin atau Bidayatul Hidayah sebelum menuju kitab seberat Ihya Ulumuddin. Dalam pelajaran fikih, santri akan disambut paling awal dengan bab thaharah, yakni menyucikan diri dari najis sebagai pelajaran disiplin dan kebersihan kepada diri sendiri. Dalam pelajaran hadis, santri disambut dengan bab niat. Sedangkan dalam pelajaran akhlak, santri disambut dengan bab adab kepada ilmu serta adab kepada guru.
Jenjang adalah keniscayaan dalam konsep pendidikan menurut Ta'limul Mutaalim. Seseorang yang berhijrah mestinya berkenan sabar dalam proses dan menahan diri untuk lekas-lekas bicara apa saja. Pelajaran bersuci, bab niatm dan adab merupakan cermin bahwa diri kita mesti selesai dengan diri terlebih dahulu sebelum bicara hal-hal berat seperti politik dan kepemimpinan. Mulut-mulut yang ceroboh bicara persoalan yang menyangkut nasib banyak orang, terbukti berakhir memicu keriuhan dan sangat merepotkan.
Dakwah sesungguhnya memang perlu tradisi keilmuan yang utuh, bukan sekadar perlu artis atau influencer sebagaimana kebutuhan promosi acara beberapa hari di ibu kota.
NU dan Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam paling tua sangat boleh, bahkan perlu dikritik. Masukan untuk mengambil peran dakwah digital sangat didengar oleh NU dan Muhammadiyah. Tapi perlu diingat, bentuk dakwah tidak sesempit promosi pakaian muslimah semata. Dakwah kultural hidup bersama masyarakat tanpa menghakimi cara masyarakat menjalani kehidupan berlaku setiap hari dan memang tidak memerlukan spotlight seperti festival.
Sebaliknya, pernyataan Akhmad Muzakki bahwa tren hijrah di kalangan generasi milenial bisa menjadi jalan masuk ke terorisme jika tidak mendapatkan pendampingan ulama juga mestinya diterima sebagai kritik. Sikap beragama yang eksklusif adalah jalan masuk menuju sikap ekstremisme beragama. Seorang anak muda lugu yang belum tuntas belajar pelajaran thaharah, niat, dan adab lalu didoktrin narasi heroik perihal jihad agama memang bisa berbahaya.
Narasi pembodohan seperti kriminalisasi ulama yang bukan ulama adalah sampah. Kita belum pernah mendengar sebagian ulama yang mengatasnamakan wakil umat Islam dalam demo-demo menerima bahwa memang ada yang salah dalam cara beragama umat yang akhir-akhir ini semakin berisik tak berisi. Padahal, pikiran sebagian besar jamaah sangat bergantung kepada arahan tokoh-tokoh tersebut.
Jika mengaku besar, mari menjadi umat yang legawa kritik.
Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih
Ketika itu, konten di laman-laman Nahdlatul Ulama berisi artikel dengan topik berat, padahal orang Islam mengetik di mesin pencari untuk informasi seputar niat salat atau doa mandi besar. Konten ceramah dengan durasi panjang tidak laku, sebab orang lebih suka kepada potongan ceramah tiga hingga lima menitan, yang penting ceramah tersebut memuat jawaban halal atau haram.
"Sudah mulai muncul penceramah dadakan bermodalkan kutipan konten keislaman di internet padahal ia tak benar-benar memahami apa yang ia sampaikan, Prof."
Prof Ali Maschan Moesa menjawab dengan gesture yang sangat santai. Sebagai anak muda dengan jiwa grusa-grusu, tentu saja saya gemas.
"Kewajiban seorang Muslim adalah berdakwah dengan benar. Kewajiban menyampaikan ilmu harus utuh, bukan cepat atau instan."
Maunya, jiwa muda ini membayangkan para kiai, para intelektual NU semua turun gunung di Instagram dan Youtube, lalu jadi "ustaz seleb" seperti tokoh agama yang laris akhir-akhir ini.
"Tapi, Prof..."
"Kalau ada yang mereduksi keilmuan Islam dipotong-potong jadi 35% saja di internet, laman-laman NU harus memastikan kontennya utuh minimal 75-85%. Itu saja masih mengkhawatirkan. Bisa bikin orang salah jalan."
"Tapi, Prof..."
"Ya tidak pakai tapi-tapi. Menyampaikan ilmu itu ada aturannya."
Banyak peristiwa yang terjadi belakangan ini membuat saya memahami pandangan Prof Ali Maschan Moesa itu. Jumlah orang yang jadi tak santun karena belajar agama semakin banyak, dan sebaliknya, munculnya pakar dadakan yang mendapat gelar ulama hanya karena kostum dan gaya retorika, terbukti bikin repot. Tiba-tiba ada ulama yang berkata-kata kasar di panggung, ada juga ulama yang melakukan tindak kekerasan kelas berat ke anak kecil.
Terakhir, ada seorang bergelar pakar akhir zaman yang menebar propaganda ketakutan kepada bentuk segitiga di sebuah masjid di Bandung dan diketahui bicara ngawur perihal kematian petugas KPPS yang bertugas dalam pemilu lalu. Fenomenanya makin aneh-aneh saja.
Kolom Dakwah "Smart" vs Dakwah Konvensional (detikcom, Jumat, 21/6) juga menyetujui anggapan sebagian orang bahwa dakwah NU dan Muhammadiyah kini semakin tak laku. Anggapan itu didasarkan kepada beberapa artis yang berhijrah, namun tidak merapat kepada NU dan Muhammadiyah, melainkan kepada beberapa ustaz yang bergiat di media sosial dan menyelenggarakan Hijrah Fest. Pertanyaannya, apa sesungguhnya indikator keberhasilan sebuah dakwah? Lebih-lebih, membandingkan tren hijrah dengan dakwah struktural maupun dakwah kultural NU dan Muhammadiyah, menurut saya, sama sekali tak akan nyambung.
Menurut data dari Kepala Pusat P3 Kementerian Agama, dakwah NU ada di 25.000 pesantren, dan lembaga PAUD hingga perguruan tinggi di Indonesia dengan puluhan juta santri-mahasantri. Sedangkan amal usaha Muhammadiyah, selain 171 perguruan tingginya yang mentereng, juga bergerak lewat 2119 lembaga layanan kesehatan.
Begini, menganggap NU dan Muhammadiyah seolah tak laku adalah pandangan terlampau naif. Dakwah anak muda NU sudah bicara isu perubahan iklim di berbagai forum internasional. Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) NU aktif mengampanyekan kampanye anti-plastik dan telah meluncurkan kajian "ngaji sampah". Gerakan kultural anak muda NU juga melahirkan banyak gerakan di isu lingkungan, dengan mengawal perjuangan petani Kendeng dan petani Kulon Progo.
Dakwah lewat lembaga pendidikan berjenjang itu memang perlu ketelatenan dan konsistensi selama ratusan tahun. Pesantren salafiyah tradisional yang ada di setiap kecamatan dan kota itu menerima anak didik dari semua lapisan masyarakat, yang jangankan untuk bicara untung, kerja-kerja para kiai dan bu nyai adalah merawat anak-anak titipan yang mondok di pesantren tanpa biaya dengan baik, termasuk soal makan hingga biaya pendidikan. Orangtua mereka adalah petani dan pedagang kecil yang datang ke pesantren dua bulan sekali dengan membawa beras dan hasil panen sebagai ganti dari biaya SPP.
Dalam tradisi keilmuan di pesantren, santri harus bertemu berjilid-jilid kitab Mabadi Fiqih sebelum belajar Fathul Qarib atau Fathul Muin. Seorang santri harus mengenal kitab Arbain Nawawi, sebelum mempelajari kitab Jawahir Al Bukhari. Seorang santri harus mengenal kitab Akhlakul Banin atau Bidayatul Hidayah sebelum menuju kitab seberat Ihya Ulumuddin. Dalam pelajaran fikih, santri akan disambut paling awal dengan bab thaharah, yakni menyucikan diri dari najis sebagai pelajaran disiplin dan kebersihan kepada diri sendiri. Dalam pelajaran hadis, santri disambut dengan bab niat. Sedangkan dalam pelajaran akhlak, santri disambut dengan bab adab kepada ilmu serta adab kepada guru.
Jenjang adalah keniscayaan dalam konsep pendidikan menurut Ta'limul Mutaalim. Seseorang yang berhijrah mestinya berkenan sabar dalam proses dan menahan diri untuk lekas-lekas bicara apa saja. Pelajaran bersuci, bab niatm dan adab merupakan cermin bahwa diri kita mesti selesai dengan diri terlebih dahulu sebelum bicara hal-hal berat seperti politik dan kepemimpinan. Mulut-mulut yang ceroboh bicara persoalan yang menyangkut nasib banyak orang, terbukti berakhir memicu keriuhan dan sangat merepotkan.
Dakwah sesungguhnya memang perlu tradisi keilmuan yang utuh, bukan sekadar perlu artis atau influencer sebagaimana kebutuhan promosi acara beberapa hari di ibu kota.
NU dan Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam paling tua sangat boleh, bahkan perlu dikritik. Masukan untuk mengambil peran dakwah digital sangat didengar oleh NU dan Muhammadiyah. Tapi perlu diingat, bentuk dakwah tidak sesempit promosi pakaian muslimah semata. Dakwah kultural hidup bersama masyarakat tanpa menghakimi cara masyarakat menjalani kehidupan berlaku setiap hari dan memang tidak memerlukan spotlight seperti festival.
Sebaliknya, pernyataan Akhmad Muzakki bahwa tren hijrah di kalangan generasi milenial bisa menjadi jalan masuk ke terorisme jika tidak mendapatkan pendampingan ulama juga mestinya diterima sebagai kritik. Sikap beragama yang eksklusif adalah jalan masuk menuju sikap ekstremisme beragama. Seorang anak muda lugu yang belum tuntas belajar pelajaran thaharah, niat, dan adab lalu didoktrin narasi heroik perihal jihad agama memang bisa berbahaya.
Narasi pembodohan seperti kriminalisasi ulama yang bukan ulama adalah sampah. Kita belum pernah mendengar sebagian ulama yang mengatasnamakan wakil umat Islam dalam demo-demo menerima bahwa memang ada yang salah dalam cara beragama umat yang akhir-akhir ini semakin berisik tak berisi. Padahal, pikiran sebagian besar jamaah sangat bergantung kepada arahan tokoh-tokoh tersebut.
Jika mengaku besar, mari menjadi umat yang legawa kritik.
Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar