Selasa 25 Juni 2019, 15:24 WIB
Kolom
Ikhtiar Pemerataan Kualitas Pendidikan
Jakarta - Sebagai pendidik, saya mengakui bahwa pemberlakuan sistem zonasi sekolah dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) belum sesempurna dan seideal yang dibayangkan dalam penerapannya. Banyak sekali kelemahan dan persoalan teknis yang kemudian muncul di lapangan. Tiga jalur dalam sistem zonasi --jalur radius jarak (90%), jalur prestasi (5%), dan jalur perpindahan orangtua (5%)-- memiliki potensi masalah masing-masing.
Persoalan radius jarak misalnya, memiliki kemungkinan akan berbenturan dengan tidak seimbangnya daya tampung sekolah dan jumlah siswa yang mendaftar dalam satu wilayah. Hal ini berimplikasi banyak siswa yang tidak dapat tertampung oleh sekolah yang dituju dalam wilayah tersebut. Sebagai contoh, tahun ini terdapat 3.648 peserta UN SMP di Kota Banda Aceh, sedangkan jumlah SMA/SMK yang berstatus negeri di Kota Banda Aceh hanya berjumlah 22 sekolah.
Artinya, rata-rata setiap sekolah harus menerima sekitar 165 siswa pada PPDB kali ini. Mungkin jumlah tersebut tidak akan jadi masalah bagi sekolah-sekolah dengan status favorit sebelumnya. Namun akan menjadi persoalan tersendiri bagi sekolah-sekolah yang setiap tahunnya memang sepi peminat, sehingga jumlah kelas berikut sarana dan prasarana yang tersedia tidak dapat menampung jumlah siswa yang harus diterima.
Hal-hal seperti ini tentu harus menjadi catatan bagi otoritas pendidikan untuk menelaah dan mungkin merevisi beberapa kebijakan teknis dari sistem zonasi ini. Meskipun belakangan kebijakan ini makin banyak menuai protes di berbagai daerah dengan pelbagai permasalahan yang mengemuka, saya pribadi tetap mendukung kebijakan ini direalisasikan, karena sejatinya esensi dari sistem zonasi ini adalah ikhtiar dari pemerintah untuk melakukan pemerataan kualitas pendidikan di seluruh pelosok negeri ini tanpa ada lagi embel-embel sekolah unggul ataupun sekolah favorit.
Selama ini, sudah menjadi rahasia umum bahwa sekolah berlabel unggul/favorit mendapat banyak privilege. Mulai dari pemenuhan sarana dan prasarana yang lengkap untuk menunjang proses pembelajaran, tenaga pengajar pilihan yang kompeten dan profesional, serta menjadi prioritas utama dalam pemberian akses untuk mengikuti berbagai perlombaan yang sifatnya regional, nasional, maupun internasional.
Alhasil, ini merupakan praktik diskriminatif yang hakikatnya bertentangan dengan konstitusi negeri ini bahwa, "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu." (UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat 1). Realitas dari praktik ini juga telah membuka jurang kesenjangan dan ruang disparitas dengan sekolah-sekolah yang dianggap "non-unggulan".
Sebelum Indonesia, beberapa negara seperti Inggris, Jepang, dan Australia telah terlebih dahulu menerapkan model sistem zonasi ini dalam PPDB. Di Australia, penerapan sistem zonasi ini juga bukan tanpa masalah. Salah satu persoalan yang muncul belakangan adalah para orangtua berbondong-bondong pindah ke daerah yang memiliki kualitas sekolah negeri yang bagus. Akibatnya adalah harga sewa atau beli properti di daerah tersebut melonjak drastis.
Hal yang sama juga sangat mungkin terjadi di Indonesia dengan pemberlakuan sistem zonasi ini, karenanya pemerintah harus mengantisipasi hal ini agar tidak terjadi. Jika hal serupa terjadi, maka akan sama saja seperti sebelumnya, sekolah negeri dengan kualitas yang sudah bagus hanya akan bisa diakses oleh orang-orang tertentu dengan kemampuan finansial yang memadai karena mampu menyewa atau membeli di properti di dekat zona sekolah yang dituju.
Oleh karena itu, jika niatannya adalah untuk memeratakan mutu sekolah di seluruh penjuru negeri ini demi memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia secara menyeluruh melalui sistem zonasi, harus dipahami bahwa realisasi dari niatan baik ini tidak semestinya hanya menjadi tanggung jawab Mendikbud saja.
Menyoal pendidikan haruslah dipandang komprehensif, integratif, bahkan cenderung kontemplatif karena selalu ada ruang ketidaksempurnaan yang harus terus diperbaiki demi membangun peradaban manusia Indonesia yang lebih baik di masa mendatang. Pada sisi yang komprehensif dan integratif, problematika dalam ruang pendidikan harus menjadi perhatian bersama di lintas kementerian untuk duduk dalam satu meja.
Dalam konteks sistem zonasi ini misalnya, persoalan zona, domisili, dan seterusnya seyogianya dapat didiskusikan dengan Kementerian Dalam Negeri. Rencana untuk meredistribusi guru melalui kebijakan ini secara merata ke seluruh pelosok negeri yang berstatus 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) haruslah mengikutsertakan Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi untuk mendiskusikannya. Perkaranya bukan hanya soal jumlah guru yang proporsional untuk ditempatkan di daerah 3T ini, namun juga harus menimbang kualitas guru yang terlatih dan memiliki kompetensi yang mumpuni agar niatan memeratakan mutu dapat tercapai.
Senada dengan redistribusi guru, soal rekrutmen guru baik yang berstatus PNS dan non PNS juga harus melalui koordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi agar tidak terjadi surplus ataupun defisit guru di daerah-daerah tertentu. Belum lagi komunikasi yang harus terjalin secara efektif baik dengan pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota terkait hal-hal teknis yang perlu diantisipasi bersama.
Maka, persoalan pendidikan harus menjadi perhatian seluruh elemen bangsa ini, agar kita dapat membersamai kemajuan negara ini di masa mendatang. Kalaupun masih terdapat banyak kekurangan dalam aspek teknis terhadap pemberlakuan sistem zonasi ini, mari kita kritisi dengan masukan yang konstruktif kepada pihak Kemdikbud, karena saya masih sangat meyakini bahwa esensi dari kebijakan ini memiliki muatan niatan mulia, yaitu memeratakan kualitas pendidikan Indonesia. Agar setiap anak negeri yang tinggal di pelosok mana pun, tetap mendapatkan pendidikan yang bermutu sebagaimana yang diamanahkan oleh konstitusi negeri ini.
Semua masukan, kritikan, bahkan bentuk penolakan yang sampai saat ini masih bergulir terhadap kebijakan ini harus dilihat secara positif oleh pihak Kemdikbud untuk ditimbang, kemudian diperbaiki aturan mainnya agar dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat tanpa mengkhianati prinsip-prinsip yang ada untuk mencapai substansi dari tujuan yang diharapkan. ***
Marthunis M.A Master in Teacher Education University of Tampere Finland, pendidik dan Direktur Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh
Persoalan radius jarak misalnya, memiliki kemungkinan akan berbenturan dengan tidak seimbangnya daya tampung sekolah dan jumlah siswa yang mendaftar dalam satu wilayah. Hal ini berimplikasi banyak siswa yang tidak dapat tertampung oleh sekolah yang dituju dalam wilayah tersebut. Sebagai contoh, tahun ini terdapat 3.648 peserta UN SMP di Kota Banda Aceh, sedangkan jumlah SMA/SMK yang berstatus negeri di Kota Banda Aceh hanya berjumlah 22 sekolah.
Artinya, rata-rata setiap sekolah harus menerima sekitar 165 siswa pada PPDB kali ini. Mungkin jumlah tersebut tidak akan jadi masalah bagi sekolah-sekolah dengan status favorit sebelumnya. Namun akan menjadi persoalan tersendiri bagi sekolah-sekolah yang setiap tahunnya memang sepi peminat, sehingga jumlah kelas berikut sarana dan prasarana yang tersedia tidak dapat menampung jumlah siswa yang harus diterima.
Hal-hal seperti ini tentu harus menjadi catatan bagi otoritas pendidikan untuk menelaah dan mungkin merevisi beberapa kebijakan teknis dari sistem zonasi ini. Meskipun belakangan kebijakan ini makin banyak menuai protes di berbagai daerah dengan pelbagai permasalahan yang mengemuka, saya pribadi tetap mendukung kebijakan ini direalisasikan, karena sejatinya esensi dari sistem zonasi ini adalah ikhtiar dari pemerintah untuk melakukan pemerataan kualitas pendidikan di seluruh pelosok negeri ini tanpa ada lagi embel-embel sekolah unggul ataupun sekolah favorit.
Selama ini, sudah menjadi rahasia umum bahwa sekolah berlabel unggul/favorit mendapat banyak privilege. Mulai dari pemenuhan sarana dan prasarana yang lengkap untuk menunjang proses pembelajaran, tenaga pengajar pilihan yang kompeten dan profesional, serta menjadi prioritas utama dalam pemberian akses untuk mengikuti berbagai perlombaan yang sifatnya regional, nasional, maupun internasional.
Alhasil, ini merupakan praktik diskriminatif yang hakikatnya bertentangan dengan konstitusi negeri ini bahwa, "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu." (UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat 1). Realitas dari praktik ini juga telah membuka jurang kesenjangan dan ruang disparitas dengan sekolah-sekolah yang dianggap "non-unggulan".
Sebelum Indonesia, beberapa negara seperti Inggris, Jepang, dan Australia telah terlebih dahulu menerapkan model sistem zonasi ini dalam PPDB. Di Australia, penerapan sistem zonasi ini juga bukan tanpa masalah. Salah satu persoalan yang muncul belakangan adalah para orangtua berbondong-bondong pindah ke daerah yang memiliki kualitas sekolah negeri yang bagus. Akibatnya adalah harga sewa atau beli properti di daerah tersebut melonjak drastis.
Hal yang sama juga sangat mungkin terjadi di Indonesia dengan pemberlakuan sistem zonasi ini, karenanya pemerintah harus mengantisipasi hal ini agar tidak terjadi. Jika hal serupa terjadi, maka akan sama saja seperti sebelumnya, sekolah negeri dengan kualitas yang sudah bagus hanya akan bisa diakses oleh orang-orang tertentu dengan kemampuan finansial yang memadai karena mampu menyewa atau membeli di properti di dekat zona sekolah yang dituju.
Oleh karena itu, jika niatannya adalah untuk memeratakan mutu sekolah di seluruh penjuru negeri ini demi memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia secara menyeluruh melalui sistem zonasi, harus dipahami bahwa realisasi dari niatan baik ini tidak semestinya hanya menjadi tanggung jawab Mendikbud saja.
Menyoal pendidikan haruslah dipandang komprehensif, integratif, bahkan cenderung kontemplatif karena selalu ada ruang ketidaksempurnaan yang harus terus diperbaiki demi membangun peradaban manusia Indonesia yang lebih baik di masa mendatang. Pada sisi yang komprehensif dan integratif, problematika dalam ruang pendidikan harus menjadi perhatian bersama di lintas kementerian untuk duduk dalam satu meja.
Dalam konteks sistem zonasi ini misalnya, persoalan zona, domisili, dan seterusnya seyogianya dapat didiskusikan dengan Kementerian Dalam Negeri. Rencana untuk meredistribusi guru melalui kebijakan ini secara merata ke seluruh pelosok negeri yang berstatus 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) haruslah mengikutsertakan Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi untuk mendiskusikannya. Perkaranya bukan hanya soal jumlah guru yang proporsional untuk ditempatkan di daerah 3T ini, namun juga harus menimbang kualitas guru yang terlatih dan memiliki kompetensi yang mumpuni agar niatan memeratakan mutu dapat tercapai.
Senada dengan redistribusi guru, soal rekrutmen guru baik yang berstatus PNS dan non PNS juga harus melalui koordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi agar tidak terjadi surplus ataupun defisit guru di daerah-daerah tertentu. Belum lagi komunikasi yang harus terjalin secara efektif baik dengan pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota terkait hal-hal teknis yang perlu diantisipasi bersama.
Maka, persoalan pendidikan harus menjadi perhatian seluruh elemen bangsa ini, agar kita dapat membersamai kemajuan negara ini di masa mendatang. Kalaupun masih terdapat banyak kekurangan dalam aspek teknis terhadap pemberlakuan sistem zonasi ini, mari kita kritisi dengan masukan yang konstruktif kepada pihak Kemdikbud, karena saya masih sangat meyakini bahwa esensi dari kebijakan ini memiliki muatan niatan mulia, yaitu memeratakan kualitas pendidikan Indonesia. Agar setiap anak negeri yang tinggal di pelosok mana pun, tetap mendapatkan pendidikan yang bermutu sebagaimana yang diamanahkan oleh konstitusi negeri ini.
Semua masukan, kritikan, bahkan bentuk penolakan yang sampai saat ini masih bergulir terhadap kebijakan ini harus dilihat secara positif oleh pihak Kemdikbud untuk ditimbang, kemudian diperbaiki aturan mainnya agar dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat tanpa mengkhianati prinsip-prinsip yang ada untuk mencapai substansi dari tujuan yang diharapkan. ***
Marthunis M.A Master in Teacher Education University of Tampere Finland, pendidik dan Direktur Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar