Meskipun seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi dilakukan setiap empat tahun sekali, mencari calon pemimpin KPK bukanlah pekerjaan mudah. Dalam Pasal 29 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK telah dijelaskan dengan gamblang syarat-syarat sebagai pemimpin KPK. Sekurang-kurangnya ada 11 syarat yang harus dimiliki siapa pun yang berminat mendaftarkan diri. Dua hal yang berat adalah syarat tak pernah terlibat dalam perbuatan tercela serta syarat memiliki kecakapan, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik.
Tugas mencari calon pemimpin KPK itu kini sedang berlangsung, berkejaran dengan waktu dan mutu, mengingat pada Desember 2019, lima unsur pimpinan KPK aktif akan mengakhiri masa tugasnya. Jika panitia seleksi (pansel) calon pemimpin KPK salah meminang kandidat, kerja-kerja pemberantasan korupsi di Indonesia akan ikut terpengaruh. Sebaliknya, jika mereka sanggup mendapatkan calon yang cukup ideal bagi kebutuhan KPK, harapan pemberantasan korupsi tetap bisa dijaga.
KPK sebagai lembaga antikorupsi independen yang telah berusia hampir 15 tahun dapat dibilang cukup memberikan kontribusi bagi perkembangan dan kemajuan pemberantasan korupsi. Setidaknya sepanjang KPK mulai bekerja untuk pertama kalinya pada 2004 hingga hari ini, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) kita mengalami kemajuan yang berkelanjutan meski tingkat kenaikan skor IPK Indonesia dari tahun ke tahun belum signifikan. Hal ini tentu karena faktor penyebab kenaikan dan penurunan skor IPK sangat kompleks, mulai dari politik hingga persoalan legal- teknis, bukan semata-mata karena kinerja KPK.
Ingar-bingar penindakan dan sunyinya pencegahan
Di bawah kepemimpinan Agus Raharjo cs, KPK memperkuat benchmark kerja-kerja penindakan korupsi melalui operasi senyap yang lebih dikenal dengan operasi tangkap tangan (OTT). Dibandingkan kepemimpinan KPK periode sebelumnya, saat ini penangkapan melalui OTT terhadap kejahatan suap paling sering dilakukan. Paling kurang satu bulan sekali KPK menggelar OTT dan kian meneguhkan posisi KPK sebagai media darling.
Sebagai pendekatan efektif dan cepat dalam mengungkap kejahatan suap, OTT bukanlah hal yang harus ditinggalkan, bahkan harus dipertahankan karena fungsi penindakan yang melekat pada KPK. Melalui kerja-kerja itu, pejabat publik memiliki rasa takut dan kekhawatiran andai tiba-tiba ditangkap KPK karena korupsi. Karena korupsi adalah kejahatan kalkulasi, dengan ”teror” OTT yang ditebar KPK, para pejabat publik dipaksa untuk mematuhi berbagai macam rambu-rambu dan aturan main karena ada kemungkinan ditangkap KPK jika melanggar.
Masalahnya bukan pada OTT, melainkan sifat dari penindakan itu sendiri memang tidak secara otomatis akan menyelesaikan akar masalah korupsi. Ibarat orang yang sedang sakit, korupsi adalah gejala yang bisa diukur dengan temperatur tubuh yang meninggi, tetapi sejatinya korupsi sebagai kejahatan pidana bukanlah masalah itu sendiri. Masalahnya yang utama adalah pada struktur, organisasi, sistem, tata aturan, prinsip, kode etik, perimbangan kekuasaan, buruknya administrasi, tingkat transparansi dan akuntabilitas publik, penggunaan diskresi, dan sebagainya.
Jika menangani korupsi hanya berbekal kerja penindakan, korupsi tak mungkin bisa diatasi. Sebagai contoh konkret, dalam urusan atau layanan publik yang transaksinya tunai, setiap orang punya potensi mencurinya. Namun, jika sistem transaksinya diubah menjadi cashless, peluang atau kesempatan itu dengan sendirinya hilang. Pada intinya, memadukan secara harmonis kerja penindakan dan pencegahan korupsi adalah cara paling efektif untuk menekan korupsi.
Inilah hal mendasar yang membutuhkan skenario lebih baik ke depan. Ketika kerja penindakan lepas dari usaha perbaikan atas berbagai hal yang menyebabkan korupsi itu terjadi, penangkapan yang terus-menerus terhadap pelaku korupsi akan terjebak pada efek berlari statis. Dengan bahasa lain, seolah-olah kita telah berlari berkilo-kilometer, tetapi kita sebenarnya sedang tidak ke mana-mana. Hal ini tidak untuk mengatakan bahwa KPK hari ini tidak berupaya menyandingkan kerja penindakan dan pencegahan yang padu, tetapi belum ada desain pencegahan yang jitu untuk menambal persoalan klasik korupsi yang selalu muncul setiap tahun.
Perbaikan kelembagaan
Masalah internal KPK yang bertubi-tubi muncul ke permukaan tetap tidak seseksi berita atas penangkapan seseorang. Namun, masalah internal yang tidak diselesaikan, cepat atau lambat akan menggerogoti reputasi dan karakter KPK. Setidaknya terdapat tiga masalah internal kelembagaan KPK yang perlu diperbaiki ke depan oleh siapa pun yang menjadi pemimpin KPK.
Pertama, sistem checks and balances internal. Dengan wewenang yang cukup besar, baik pada arena penindakan maupun pencegahan korupsi, personel KPK selalu punya potensi untuk menyimpang. Sayangnya, KPK tak dibekali dengan sistem pengendalian internal yang cukup kuat. Pengawasan internal KPK berlaku diskriminatif, di mana wilayah penindakan hampir merupakan area yang steril dari kontrol internal.
Diskriminasi juga terjadi dalam konteks pengawasan internal terhadap pegawai dengan latar belakang tertentu. Kasus Aris Budiman, mantan Direktur Penyidikan KPK, dan Firli, mantan Deputi Penindakan KPK, yang kembali ke institusinya di Polri tanpa catatan apa pun meski terindikasi melanggar kode etik KPK, adalah contoh diskriminasi yang berbasis pada buruknya kepemimpinan di KPK.
Kedua, manajemen sumber daya manusia (SDM). KPK yang dituntut publik memainkan peran sentral dalam pemberantasan korupsi menghadapi masalah dengan pengelolaan SDM-nya. Berbagai pos strategis untuk menopang kinerja KPK terlalu lama dibiarkan kosong atau dirangkap (plt) sehingga memengaruhi kerja pemberantasan korupsi KPK. Konsekuensinya, KPK menghadapi masalah serius, di antaranya anggaran tak kunjung meningkat—bahkan dipangkas— minimnya pemeliharaan alat-alat/perangkat operasional dalam penindakan, sulitnya menambah personel yang dibutuhkan, dan hal teknis lain yang mengganjal kinerja KPK.
Ketiga, minimnya daya dobrak dan dosis pemberantasan korupsi. Prakarsa, inisiatif, pendekatan baru dan paradigma pemberantasan korupsi menjadi bagian tak terpisahkan dari usaha mempertahankan eksistensi KPK. KPK sebenarnya telah menguji coba berbagai hal, termasuk dalam hal mencabut hak politik terdakwa, menetapkan tersangka korporasi, menjerat pelaku korupsi dengan TPPU dan gratifikasi, melarang perusahaan tersangka korupsi ikut tender pemerintah dalam periode tertentu, hingga menerapkan berbagai pasal yang eksis dalam UU Tipikor yang terkait dengan pidana korupsi.
Masalah utama yang dihadapi KPK hari ini, uji coba-uji coba itu tak dijadikan pendekatan baru yang berkelanjutan, masih bersifat kasuistis, dan tidak menjadi grand design KPK secara kelembagaan yang tertuang pada rencana strategis KPK dan rencana penganggaran KPK. Dalam catatan ICW sepanjang 2018, KPK masih tebang pilih dalam menerapkan TPPU pada tersangka korupsi.
Padahal, konsep follow the suspect saja sejatinya mulai ditinggalkan dalam skenario pemberantasan korupsi yang lebih efektif. Karena belum menjadi rancang bangun dan sistem pemberantasan korupsi KPK, struktur kelembagaan KPK juga belum menunjang kerja-kerja pemiskinan pelaku korupsi (follow the money).
Pansel KPK masih memiliki waktu untuk mencari kombinasi terbaik dari calon-calon pemimpin KPK yang akan diseleksi. Karena mekanisme kepemimpinan kolektif dan kolegial yang diatur oleh UU KPK, Pansel KPK hendaknya mempertimbangkan keunggulan komparatif calon, mengingat KPK memiliki berbagai fungsi yang beragam, yang kemampuan satu unsur pimpinan KPK tak akan bisa mewakili semua bidang yang menjadi tanggung jawab KPK. Namun, syarat wajib bagi calon pemimpin KPK tetap harus dipenuhi, yakni integritas personal, karena masalah ini kerap dijadikan celah bagi siapa pun yang hendak melawan pemberantasan korupsi. ***