PPDB ZONASI DAN KOMPLEKSITAS PENDIDIKAN KITA
Oleh : Anggi Afriansyah Peneliti Sosiologi Pendidikan di
Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
MEDIA INDONESIA, 21 Jun 2019, 01:40 WIB
PENERIMAAN peserta didik baru (PPDB) sudah dimulai.
Seolah-olah menjadi ritual tahunan, sistem zonasi dalam PPDB tahun ini pun
tetap menimbulkan pro-kontra. Meskipun sudah dilaksanakan beberapa tahun ini,
masih banyak pihak yang mempertanyakan apakah PPDB dengan zonasi ini akan
menjadikan kualitas pendidikan di Indonesia menjadi merata? Menurut saya,
aturan PPDB tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya, baik secara substansi
maupun secara teknis.
Dari segi diundangkan misalnya. PPDB 2019 merujuk Permendikbud
No 51/2018 yang diundangkan pada 31 Desember 2018. Artinya, ada waktu lebih
kurang enam bulan bagi daerah untuk menyusun juknis juga menyosialisasikannya
kepada masyarakat.
Pemerintah daerah pun lebih leluasa menyesuaikan juknis itu
dengan kondisi lokal, seperti mempertimbangkan jarak rumah ke sekolah, kondisi
geografis daerahnya, sosial budaya, maupun peta persebaran sekolah dan jumlah
usia anak bersekolah. Ini lebih baik jika dibandingkan dengan PPDB 2018 yang
merujuk Permendikbud No 14/2018 yang diundangkan pada 7 Mei. Persiapan tahun
lalu tentu lebih mepet.
Tafsiran pemerintah daerah terhadap Permendikbud 51/2018
sangat penting agar hak anak bersekolah tetap terpenuhi. Itu karena tiap daerah
tentu memiliki kekhasan dan persoalan pendidikan yang berbeda-beda sehingga
perlu memperhatikan lokalitas yang ada. Dialog pusat dengan daerah dalam
penyesuaian ini menjadi sangat penting. Tujuannya tentu agar hak-hak anak
mendapatkan pendidikan tetap terpenuhi.
Selain itu, mekanisme PPDB, utamanya daerah yang sudah
menggunakan mekanisme online, dapat memangkas kecurangan. Ruang untuk titip
semakin terbatasi dengan mudahnya masyarakat memantau informasi yang disajikan
secara online. Prinsip transparansi dan akuntabilitas dapat dioperasionalkan
dalam proses penerimaan peserta didik.
Namun memang, mekanisme sosialisasi aturan PPDB harus lebih
gencar, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah agar PPDB tidak jadi problem
tahunan hanya karena minimnya informasi yang diperoleh masyarakat.
*Berbenah*
Meskipun demikian, banyak hal yang perlu menjadi perhatian.
Banyak aspek yang harus dibenahi. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah,
melainkan juga kerja kita bersama. Persoalan PPDB yang terjadi hingga saat ini
menunjukkan betapa kompleksnya persoalan pendidikan di RI. Persoalan ini
menunjukkan wajah pendidikan RI yang sesungguhnya.
Yang paling tampak ialah disparitas pendidikan di Indonesia
masih terbuka. Beda kualitas pendidikan di perdesaan dan di perkotaan masih
gamblang terlihat. Sekolah-sekolah, baik dari segi kuantitas maupun kualitas
mengelompok di wilayah perkotaan. Masalah ini merupakan warisan persoalan masa
lalu.
Sekolah-sekolah, terutama di tingkat SMP dan SMA/SMK memang
dibangun secara mengelompok di wilayah perkotaan. Sekolah terbaik, unggulan,
favorit, apa pun labelnya itu memang disematkan pada sekolah tertentu. Ada masa
ketika sistem pendidikan di negeri ini menganut kecenderungan mengotak-kotakan
siswa berdasar prestasi yang cenderung hanya berbasis kapasitas akademik
semata.
Anak-anak terbaik secara akademik akan pergi dari daerahnya
bermigrasi ke kota besar untuk bersekolah. Mekanisme penyeleksian berdasarkan
nilai membuat sekolah menjadi tersegmen. Sejarah panjang itu membentuk sekolah
unggulan kemudian difavoritkan. Mereka masuk ke perguruan tinggi favorit.
Sistem macam ini membuat saringan masuk ke sekolah menjadi sangat sulit.
Namun memang, imaji sekolah favorit begitu kuat dalam benak
kita bersama. Tak hanya orangtua, tetapi juga stakeholder pendidikan. Kehadiran
PPDB berbasis zonasi berusaha memangkas imaji ini. Tentu ini sangat sulit
karena di benak orangtua, sekolah favorit ialah pintu masuk menuju kesuksesan
hidup. Masuk sekolah favorit berarti punya kesempatan besar masuk perguruan
tinggi negeri favorit dan ujungnya bisa mendapatkan pekerjaan yang baik.
Imaji itu dikukuhkan dengan lebih banyaknya siswa yang
diterima di perguruan tinggi undangan yang berasal dari sekolah-sekolan negeri
favorit.
Paradigma yang dikuatkan kondisi faktual ini begitu mengakar
dalam benak orangtua, peserta didik, maupun stakeholder pendidikan. Meski UN
bukan penentu kelulusan misalnya, tetap saja daerah berlomba-lomba meningkatkan
nilai UN, yang sesungguhnya bukan tujuan dari pendidikan. Tujuan pendidikan
untuk memanusiakan, membuat anak berkarakter, memiliki mentalitas yang tangguh
dalam segala situasi seperti terabaikan.
Padahal, di era yang serbadigital ini, kondisi-kondisi
tersebut terasa menjadi paradoks. Kita bicara revolusi industri 4.0 tetap masih
sibuk mencari sekolah favorit. Padahal di banyak tempat, banyak perusahaan
besar di dunia yang sudah tidak memperhatikan ijazah, tetapi hard skill dan
soft skill serta kreativitas apa yang ditawarkan.
Akan tetapi, di Indonesia asal sekolah menjadi sangat
penting. Sekolah dianggap menentukan
keberhasilan seseorang. Ini perlu perubahan paradigma juga. Perlu dikukuhkan
bahwa sekolah merupakan salah satu jalan untuk sukses, bukan satu-satunya
jalan.
*Pentingnya data*
Hal yang juga perlu ditingkatkan, soal pentingnya data
pemetaan sekolah, serta jumlah penduduk usia sekolah di tiap daerah. Ini
menjadi bagian penting untuk mengetahui berapa sesungguhnya kebutuhan sekolah,
di mana saja sebaran anak usia sekolah, dan bagaimana strategi pemerintah
daerah agar anak-anak terpenuhi haknya.
Saya yakin data-data ini sudah dimiliki pemerintah daerah.
Konektivitas antar-SKPD menjadi sangat penting untuk memotret kondisi tiap
daerah dan menemukan strategi zonasi yang sesuai konteks daerah.
Pemetaan itu sangat penting karena banyak daerah belum
memiliki sekolah yang lengkap di setiap jenjangnya. Misalnya, bagaimana
anak-anak yang posisi rumahnya ada di perbatasan kabupaten/kota atau provinsi.
Bagaimana jika mereka lebih dekat ke kabupaten/kota atau
provinsi tetangganya? Mekanisme kerja sama antardaerah menjadi sangat penting.
Ini harus jadi perhatian, jangan sampai hak mendapatkan
pendidikan tidak didapat calon peserta didik di wilayah-wilayah yang jumlah
sekolahnya terbatas atau bahkan belum ada sekolahnya. Pemda harus jeli melihat
realitas faktual yang ada di daerahnya. Kejelian pemerintah daerah
memperhatikan persoalan pendidikan menjadi sangat penting agar strategi
penerimaan peserta didik berbasis zonasi menjadi optimal.
Yang sangat mendasar ialah upaya pemerataan kualitas
pendidikan melalui penerimaan PPDB berdasar zonasi harus diimbangi peningkatan
kualitas guru dan daya dukung infrastruktur pendidikan lainnya. Jangan hanya
memaksa anak didik bersekolah lebih dekat, tetapi penuhi juga fasilitas
sekolahnya, daya dukung pendidikan, kualitas guru, dan kualitas
pembelajarannya. Dalam jangka panjang, semua sekolah ialah unggul dan favorit.
Tentu bukan proses mudah dan sebentar.
Kajian komprehensif perlu dilakukan. Setelah ada sistem
zonasi, apakah motivasi anak belajar meningkat, prestasi baik akademik ataupun
lainnya meningkat. Apakah diiringi pemerataan guru, fasilitas pendukung
pendidikan. Apakah standar nasional pendidikan turut dipenuhi agar sekolah
memiliki fasilitas untuk mendukung kegiatan pendidikan secara merata? Ini
menjadi penting agar kita tidak mengulang kesalahan terus-menerus.
Saya mendukung sistem zonasi ini dengan catatan-catatan itu.
Ke depan, anak-anak tidak perlu jauh bersekolah, tetapi juga tidak dibatasi
untuk masuk sekolah yang diinginkan karena semua sekolah sudah unggul dan
anak-anak unggul bukan hanya karena nilai mereka. Ini tentu semata sebagai
wujud menggenapi janji pencerdasan yang ada di pembukaan UUD. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar