Mahkamah
Ketika hari-hari ini menonton persidangan sengketa pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi, tiba-tiba teringat cerita sidang kasus pencurian baju besi (zirah) Ali bin Abi Thalib, pemimpin Islam zaman Khalifah Rasyidin periode tahun 656-661. Suatu waktu Ali menemukan baju perangnya yang hilang. Ada dugaan baju zirah itu dicuri setelah terjatuh dari unta. Saat ditemukan, baju zirah yang digunakan untuk pelindung saat berperang itu berada di tangan seorang Yahudi.
Kemudian terjadilah perbincangan antara Khalifah Ali dan “pemilik” baju besi tersebut. Ali sangat yakin bahwa baju besi yang ditemukan itu adalah miliknya, karena dapat dikenali lewat sejumlah ciri yang diketahuinya. Namun, “pemilik baju besi” tersebut menyangkal. Ia mengklaim baju besi itu miliknya. Setelah tiada ada titik temu, akhirnya mereka bersepakat untuk membawa kasus perselisihan tersebut ke pengadilan. Kala itu hakim yang memimpim mahkamah pengadilan adalah Syuraih al-Qhadi.
Syuraih amat terkenal sebagai hakim yang adil. Selama 60 tahun, Syuraih yang berasal dari Yaman dan berdarah Persia ini menjadi hakim dan memimpin peradilan dengan keadilan tanpa pandang bulu. Syuraih akan menjatuhkan vonis pada mereka yang bersalah. Syuraih menerapkan prinsip hukum bahwa semua orang mempunyai posisi sama di mata hukum (equality before the law). Tak peduli tokoh besar, orang kaya, pejabat, bahkan pemimpin tertinggi pun, ketika bersalah maka palu hakim Syuraih akan dijatuhkan.
Khalifah Umar bin Khattab (periode 634-644) bahkan pernah kalah di pengadilan dalam kasus pembelian kuda. Hakimnya tak lain adalah Syuraih. Namun, karena dinilai adil, Syuraih justru diangkat oleh Khalifah Umar menjadi hakim di Kufah, Irak.
Khalifah Umar bin Khattab (periode 634-644) bahkan pernah kalah di pengadilan dalam kasus pembelian kuda. Hakimnya tak lain adalah Syuraih. Namun, karena dinilai adil, Syuraih justru diangkat oleh Khalifah Umar menjadi hakim di Kufah, Irak.
Dengan reputasi seperti itu, Ali menguji kasus hilangnya baju zirah ke hadapan hakim Syuraih. Setelah ditanya hakim Syuraih tentang kasus apa yang diajukan, Khalifah Ali pun mengajukan gugatan, “Aku menemukan baju besi di tangan orang ini. Benda itu jatuh dari untaku.” Hakim Syuraih lalu beralih ke “pemilik” baju besi itu, “Apa yang hendak Anda sampaikan?” Ia menjawab, “baju besi ini milik saya. Ia ada di tanganku.” Lalu hakim Syuraih berkata kepada Ali, “Aku tidak ragu dengan apa yang Anda katakan tentang baju besi ini. Tetapi, Anda harus punya bukti untuk meyakinkan kebenaran, minimal dua orang saksi.”
Khalifah Ali pun menyanggupi. Disampaikanlah bahwa ada dua orang yang dapat bersaksi, yaitu Hasan, putra Ali, dan pembantu (budak) bernama Qanbar. Namun, hakim Syuraih menyampaikan bahwa kesaksian seorang anak untuk orangtuanya tidak diperbolehkan dalam sistem hukum. Singkat cerita, dengan saksi yang minim, hakim Syuraih akhirnya menjatuhkan vonis bahwa baju besi itu milik orang Yahudi. Dan, Khalifah Ali pun amat menghormati putusan itu.
Kisah itu memberikan pemahaman bahwa dalam mencari keadilan di pengadilan, tidak bisa asal gugat atau klaim, melainkan harus dengan saksi yang kuat, di samping tentu saja bukti-bukti. Dalam sidang sengketa Pilpres 2019 saat ini, misalnya paling mencolok yang menjadi perbincangan adalah tuduhan kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Tentu saja tuduhan itu tidak cuma menjadi isu publik yang menimbulkan kegaduhan di panggung politik, tetapi harus benar-benar dibuktikan. Inilah saatnya pembuktian di depan MK. Maka, ini kesempatan terbaik untuk beradu bukti. Ada adagium hukum ei incumbit probatio quidicit, nonqui negat, bahwa mereka yang membuat tuduhan punya kewajiban untuk membuktikannya. Di panggung MK, bertempurlah habis-habisan. Keluarkanlah semua jurus ampuh agar majelis hakim meyakini kebenaran yang akan menjadi dasar putusan nanti.
Pertempuran di arena MK adalah jalan tepat dalam sengketa pilpres dan pemilu (termasuk pilkada) pada umumnya. Kita tahu betul bahwa Pilpres 2019 begitu banyak mengaduk-aduk emosi publik. Persaingan politik terlalu sengit. Semua orang tahu Pilpres telah membelah masyarakat, bahkan sejak kontestasi 2014. Pasca pemungutan suara 17 April 2019, menguat opini bahwa jalur MK takkan ditempuh. Paling mencolok adalah wacana cara-cara people power, dalam konotasi gerakan rakyat yang bukan sekadar demonstrasi demokratis.
Andai saja sejak awal dibangun jalan pikiran menggunakan jalur MK sebagai cara sah dan demokratis, rasanya tak perlu ada unjuk ras anarkis hingga menimbulkan kerusuhan pada 21-22 Mei lalu. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Sudah banyak korban. Ada warga yang tewas, banyak yang luka-luka, dan kerugian harta benda akibat dibakar massa. Andai saja sejak awal para elite mengedepankan cara-cara demokratis, niscaya dampak-dampak negatif itu dapat terhindarkan. Dalam budaya politik patrimonial, elite politik sangat berperan menentukan putih-hitamnya suatu masalah. Bila air yang disiramkan, suasana akan sejuk. Sebaliknya, bila bara api yang dilontarkan, sudah pasti timbul prahara.
Untunglah kini sudah bermuara di MK. Biarlah sengketa pilpres diputuskan oleh sembilan “wakil Tuhan” itu. Kebenaran akan diuji. Mahatma Gandhi (1869-1948), tokoh besar asal India, setiap pagi membuat resolusi: “Saya tidak akan takut siapa pun di Bumi. Saya hanya akan takut pada Tuhan. Saya tidak akan menanggung niat buruk terhadap siapa pun. Saya tidak akan tunduk pada ketidakadilan dari siapa pun. Saya akan menaklukkan ketidakbenaran dengan kebenaran. Dan, melawan ketidakbenaran, saya akan menanggung semua penderitaan”. Di mahkamah, publik berharap kebenaran muncul dan keadilan tersemai. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar