Jumat 21 Juni 2019, 14:32 WIB
Kolom
Sains dan Fenomena "Otak-Atik Gathuk"
Hingga abad ke-21, peradaban keilmuan seringkali dihadapkan pada masalah besar yaitu kehadiran mistisme, takhayul, maupun berita bohong (hoaks) dengan pelbagai jenisnya. Hal tersebut sangatlah wajar, bahkan menjadi sesuatu yang harus diterima serta dihadapi dengan lapang dada dan bijaksana. Hematnya, gagasan maupun ide harus dilawan dengan gagasan atau ide yang sesuai dengan metodologi keilmuan yang berlaku baik dari aspek epistemologis, aksiologis, hingga ontologis.
Cabang keilmuan alam seperti halnya fisika, kimia, biologi, kosmologi, kedokteran, astronomi dan sejenisnya tidak luput menghadapi hal tersebut. Itu ditegaskan oleh Carl Sagan dalam karyanya yang berjudul The Demon-Haunted World: Sains Penerang Kegelapan (Kepustakaan Populer Gramedia, 2018). Ahli astronomi berkebangsaan Amerika Serikat tersebut menegaskan bahwasannya di mana pun dan kapan pun ilmu pengetahuan berkembang, permasalahan seperti berita bohong (hoaks), takhayul, maupun mistisme berkedok sains terus mengikuti.
Pada kenyataan yang ada seperti itu, Sagan kemudian mengingatkan akan dua sikap yang perlu dirawat dan dilakukan dalam memahami sains, yakni berupa berpikir kritis dan bersikap skeptis. Lebih lanjut, ia juga menjelaskan akan hakikat dari sains itu sendiri. Sains bukan sebatas kumpulan data maupun fakta, melainkan ia adalah sebuah cara berpikir. Frasa "cara berpikir" inilah yang kemudian harus ditekankan dan menjadi perhatian pada ruang-ruang diskursus pengetahuan.
Di luar itu, ketika ditarik pada periodesasi peradaban keilmuan, ada tiga masa yang telah berjalan, yakni zaman iman (faith age), zaman nalar (reason age), zaman tafsir (interpretation age). Dan pada saat ini peradaban berada pada zaman tafsir. Tidak salah ketika meminjam aforisma yang pernah diungkapkan oleh Friedrich Nietzsche—tak ada fakta, yang ada hanyalah interpretasi.Mafhum, orang kemudian mudah melakukan penafsiran tanpa memperhatikan otoritas keilmuan yang ada. Dilema ini kemudian melahirkan jurang pemisah antara ilmuwan dan non ilmuwan, antara tirai ketakpahaman dan persoalan komunikasi.
Fenomena kehadiran sekelompok atau orang melakukan tafsir serampangan—menghubungkan antara realitas dengan pengetahuan yang sejatinya terdapat penarikan kesimpulan yang keliru sering menyeruak. Dalam frasa bahasa Jawa, hal itu disebut dengan "otak-atik gathuk". Fanatisme dan kesesatan epistemik itu sebenarnya dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan kelompok tersebut—berkaitan dengan ideologi, identitas, hingga berebut pengaruh dalam ruang publik maupun ruang pengetahuan.
Hal tersebut menjadi riskan ketika berlandaskan pada aspek kepentingan kelompok dengan bermaksud pada kebencian maupun ketidaksukaan akan sebuah pengetahuan—objek yang kemudian dibuat secara terstruktur dan masif. Bagi orang yang tidak tahu asal-muasal pengetahuan, memang terkadang apa yang mereka buat terkesan begitu mengagumkan dan menghanyutkan nalar. Dari sanalah pengaruh demi pengaruh kepada khalayak itu bermunculan dengan pelbagai reaksi dari setiap individu yang terjerembab.
Pemutlakkan akan kebenaran dengan beragam tafsir yang dibangun sangatlah mencemaskan. Karlina Supelli (2017) dalam esai panjangnya yang berjudul Ancaman Terhadap Ilmu Pengetahuan mengungkapkan, ruang publik rusak tatkala semakin banyak identitas --agama, kesukuan, dan ras-- bertarung untuk memutlakkan konstruksinya masing-masing. Kerusakan tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, pemutlakan membuat orang kemudian hanya berkerumun dan berputar-putar sebatas pada lingkaran identitasnya sendiri-sendiri.
Kedua, kerusakan juga terjadi ketika perbuatan itu membawa orang ke kutub seberangnya—tidak ada acuan objektif bagi apa pun juga. Nilai-nilai, pengetahuan, dan kepercayaan kemudian hanya bermakna dan benar relatif terhadap titik pijak tertentu. Seseorang maupun sebuah kelompok merumuskan kebenarannya sendiri dan menetapkan nilai-nilainya sendiri tanpa ada pihak yang dapat mengevaluasi kesahihannya atau menimbang baik-buruknya. Pada akhirnya, sains didaku bukan lagi sebagai cara berpikir, namun melainkan sebagai sebuah dogma.
Padahal, dalam konsep sains tak ada kebenaran maupun fakta yang mutlak. Hal tersebut dijelaskan oleh pendiri Pustaka Bergerak Indonesia, Nirwan Ahmad Arsuka dalam karyanya berjudul Percakapan dengan Semesta (2016) bahwa yang berlaku dalam sains adalah kebenaran relatif. Mengutip dari gagasan filsuf yang pernah menjadi bagian dari kelompok ilmuwan di Lingkaran Wina, Karl Raimund Popper bahwasannya ketika sebuah teori dibuktikan dengan sebuah metode yang ada dan menunjukkan adanya kekeliruan, maka runtuhlah teori tersebut dan perlu ditinjau kembali.
Maka, sebenarnya penyangkalan maupun peruntuhan teori dalam aspek sains adalah hal yang wajar-wajar saja. Di kalangan kelompok ilmuwan tidak memerlukan keharusan meja hijau dalam adu kebenaran masing-masing teori. Dari kesemuanya itu, hal yang paling terpenting dan diperhatikan adalah persoalan metode ilmiah. Metode ilmiah keturunan dari salah satu cabang filsafat, epistemologi. Dalam buku garapan Henry Margenau dan David Bergamini, Ilmuwan (Tiara Pustaka, 1980) dijelaskan bahwa perkembangan metode ilmiah berkembang pesat pada abad ke-17.
Ahli epistemologi berkebangsaan Inggris, Francis Bacon yang mulanya mengajukan gagasan kepada para ilmuwan berupa empat aturan kerja, yakni: amati, ukur, terangkan, dan akhirnya diuji. Kemudian dalam abad ke-19, metode tersebut dikembangkan dalam bentuk yang lebih luas—"ajukanlah pertanyaan mengenai alam, kumpulkanlah bukti yang relevan, rumuskanlah hipotesis yang menerangkan, simpulkanlah implikasi-implikasinya, ujilah dengan mengadakan eksperimen, dan kemudian sesuai dengan hasil percobaan, terima, tolak atau ubahlah hipotesis itu."
Dalam cuaca kultural keilmuan yang membutuhkan keugaharian serta kerendah-hatian intelektual, menjaga akal sehat (common sense) adalah sebuah sikap yang perlu diperhatikan. Sebagai kerangka berpikir, sains harus memberikan sebuah respons maupun tanggapan atas hadirnya kesesatan epistemik maupun kecelakaan intelektual yang terjadi. Ilmuwan tidak boleh diam dalam laboratorium dengan kesibukannya. Ia harus mau menengok realitas yang terjadi. Karena perlu diketahui, apalagi pada era pasca kebenaran (post truth), sains yang bersifat semu (pseudosains) itu menyasar kelompok masyarakat di lapisan awam.
Utamanya adalah mereka yang bisa dibilang aktif dalam pelbagai platformmedia sosial. Tak bisa dipungkiri, para kelompok pseudosains maupun pseudonalar yang melakukan produksi pengetahuan mengandung berita bohong (hoaks) maupun mistisme yang dibalut dengan sains terus melakukan kerja-kerja dalam merebut pengaruh. Bila para kelompok ilmuwan yang memiliki otoritas keilmuan lebih tidak memberikan reaksi berupa pemberian pemahaman maupun langkah lain yang bisa ditempuh kepada masyarakat atas kehadiran problematika keilmuan tersebut, tentu saja segi-segi kehidupan dalam masyarakat sangatlah terancam.
Joko Priyono esais, penulis buku Bola Fisika
Cabang keilmuan alam seperti halnya fisika, kimia, biologi, kosmologi, kedokteran, astronomi dan sejenisnya tidak luput menghadapi hal tersebut. Itu ditegaskan oleh Carl Sagan dalam karyanya yang berjudul The Demon-Haunted World: Sains Penerang Kegelapan (Kepustakaan Populer Gramedia, 2018). Ahli astronomi berkebangsaan Amerika Serikat tersebut menegaskan bahwasannya di mana pun dan kapan pun ilmu pengetahuan berkembang, permasalahan seperti berita bohong (hoaks), takhayul, maupun mistisme berkedok sains terus mengikuti.
Pada kenyataan yang ada seperti itu, Sagan kemudian mengingatkan akan dua sikap yang perlu dirawat dan dilakukan dalam memahami sains, yakni berupa berpikir kritis dan bersikap skeptis. Lebih lanjut, ia juga menjelaskan akan hakikat dari sains itu sendiri. Sains bukan sebatas kumpulan data maupun fakta, melainkan ia adalah sebuah cara berpikir. Frasa "cara berpikir" inilah yang kemudian harus ditekankan dan menjadi perhatian pada ruang-ruang diskursus pengetahuan.
Di luar itu, ketika ditarik pada periodesasi peradaban keilmuan, ada tiga masa yang telah berjalan, yakni zaman iman (faith age), zaman nalar (reason age), zaman tafsir (interpretation age). Dan pada saat ini peradaban berada pada zaman tafsir. Tidak salah ketika meminjam aforisma yang pernah diungkapkan oleh Friedrich Nietzsche—tak ada fakta, yang ada hanyalah interpretasi.Mafhum, orang kemudian mudah melakukan penafsiran tanpa memperhatikan otoritas keilmuan yang ada. Dilema ini kemudian melahirkan jurang pemisah antara ilmuwan dan non ilmuwan, antara tirai ketakpahaman dan persoalan komunikasi.
Fenomena kehadiran sekelompok atau orang melakukan tafsir serampangan—menghubungkan antara realitas dengan pengetahuan yang sejatinya terdapat penarikan kesimpulan yang keliru sering menyeruak. Dalam frasa bahasa Jawa, hal itu disebut dengan "otak-atik gathuk". Fanatisme dan kesesatan epistemik itu sebenarnya dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan kelompok tersebut—berkaitan dengan ideologi, identitas, hingga berebut pengaruh dalam ruang publik maupun ruang pengetahuan.
Hal tersebut menjadi riskan ketika berlandaskan pada aspek kepentingan kelompok dengan bermaksud pada kebencian maupun ketidaksukaan akan sebuah pengetahuan—objek yang kemudian dibuat secara terstruktur dan masif. Bagi orang yang tidak tahu asal-muasal pengetahuan, memang terkadang apa yang mereka buat terkesan begitu mengagumkan dan menghanyutkan nalar. Dari sanalah pengaruh demi pengaruh kepada khalayak itu bermunculan dengan pelbagai reaksi dari setiap individu yang terjerembab.
Pemutlakkan akan kebenaran dengan beragam tafsir yang dibangun sangatlah mencemaskan. Karlina Supelli (2017) dalam esai panjangnya yang berjudul Ancaman Terhadap Ilmu Pengetahuan mengungkapkan, ruang publik rusak tatkala semakin banyak identitas --agama, kesukuan, dan ras-- bertarung untuk memutlakkan konstruksinya masing-masing. Kerusakan tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, pemutlakan membuat orang kemudian hanya berkerumun dan berputar-putar sebatas pada lingkaran identitasnya sendiri-sendiri.
Kedua, kerusakan juga terjadi ketika perbuatan itu membawa orang ke kutub seberangnya—tidak ada acuan objektif bagi apa pun juga. Nilai-nilai, pengetahuan, dan kepercayaan kemudian hanya bermakna dan benar relatif terhadap titik pijak tertentu. Seseorang maupun sebuah kelompok merumuskan kebenarannya sendiri dan menetapkan nilai-nilainya sendiri tanpa ada pihak yang dapat mengevaluasi kesahihannya atau menimbang baik-buruknya. Pada akhirnya, sains didaku bukan lagi sebagai cara berpikir, namun melainkan sebagai sebuah dogma.
Padahal, dalam konsep sains tak ada kebenaran maupun fakta yang mutlak. Hal tersebut dijelaskan oleh pendiri Pustaka Bergerak Indonesia, Nirwan Ahmad Arsuka dalam karyanya berjudul Percakapan dengan Semesta (2016) bahwa yang berlaku dalam sains adalah kebenaran relatif. Mengutip dari gagasan filsuf yang pernah menjadi bagian dari kelompok ilmuwan di Lingkaran Wina, Karl Raimund Popper bahwasannya ketika sebuah teori dibuktikan dengan sebuah metode yang ada dan menunjukkan adanya kekeliruan, maka runtuhlah teori tersebut dan perlu ditinjau kembali.
Maka, sebenarnya penyangkalan maupun peruntuhan teori dalam aspek sains adalah hal yang wajar-wajar saja. Di kalangan kelompok ilmuwan tidak memerlukan keharusan meja hijau dalam adu kebenaran masing-masing teori. Dari kesemuanya itu, hal yang paling terpenting dan diperhatikan adalah persoalan metode ilmiah. Metode ilmiah keturunan dari salah satu cabang filsafat, epistemologi. Dalam buku garapan Henry Margenau dan David Bergamini, Ilmuwan (Tiara Pustaka, 1980) dijelaskan bahwa perkembangan metode ilmiah berkembang pesat pada abad ke-17.
Ahli epistemologi berkebangsaan Inggris, Francis Bacon yang mulanya mengajukan gagasan kepada para ilmuwan berupa empat aturan kerja, yakni: amati, ukur, terangkan, dan akhirnya diuji. Kemudian dalam abad ke-19, metode tersebut dikembangkan dalam bentuk yang lebih luas—"ajukanlah pertanyaan mengenai alam, kumpulkanlah bukti yang relevan, rumuskanlah hipotesis yang menerangkan, simpulkanlah implikasi-implikasinya, ujilah dengan mengadakan eksperimen, dan kemudian sesuai dengan hasil percobaan, terima, tolak atau ubahlah hipotesis itu."
Dalam cuaca kultural keilmuan yang membutuhkan keugaharian serta kerendah-hatian intelektual, menjaga akal sehat (common sense) adalah sebuah sikap yang perlu diperhatikan. Sebagai kerangka berpikir, sains harus memberikan sebuah respons maupun tanggapan atas hadirnya kesesatan epistemik maupun kecelakaan intelektual yang terjadi. Ilmuwan tidak boleh diam dalam laboratorium dengan kesibukannya. Ia harus mau menengok realitas yang terjadi. Karena perlu diketahui, apalagi pada era pasca kebenaran (post truth), sains yang bersifat semu (pseudosains) itu menyasar kelompok masyarakat di lapisan awam.
Utamanya adalah mereka yang bisa dibilang aktif dalam pelbagai platformmedia sosial. Tak bisa dipungkiri, para kelompok pseudosains maupun pseudonalar yang melakukan produksi pengetahuan mengandung berita bohong (hoaks) maupun mistisme yang dibalut dengan sains terus melakukan kerja-kerja dalam merebut pengaruh. Bila para kelompok ilmuwan yang memiliki otoritas keilmuan lebih tidak memberikan reaksi berupa pemberian pemahaman maupun langkah lain yang bisa ditempuh kepada masyarakat atas kehadiran problematika keilmuan tersebut, tentu saja segi-segi kehidupan dalam masyarakat sangatlah terancam.
Joko Priyono esais, penulis buku Bola Fisika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar