Rizieq Shihab, Facebook, dan Saya
Oleh : Made
Supriatma ; Peneliti Politik dan Militer
TIRTO.ID, 19 Juni 2019
Seperti apakah hidup tanpa
media sosial? Itulah pertanyaan yang saya refleksikan setelah Facebook
membekukan akun saya.
Harus saya akui, saya
tergantung pada media sosial untuk beberapa hal. Saya mendapatkan berita-berita
tentang Indonesia dari kawan-kawan saya di Facebook. Saya bergaul dan saling
menyapa di sana; mengucapkan selamat untuk apa saja, mulai dari ulang tahun,
hari raya, hingga kelahiran anak. Media sosial menjadi sarana untuk bergaul
orang-orang perantauan seperti saya.
Selain itu, saya juga bisa
menyampaikan pikiran-pikiran saya. Karena secara profesional saya adalah
seorang peneliti politik, maka apa yang saya sampaikan adalah soal-soal sosial
dan politik. Kadang, saya juga tidak bisa menyembunyikan preferensi politik
saya, sekalipun untuk itu sesekali saya harus berdebat dan mungkin membuat
beberapa orang marah dan kecewa.
Tapi itulah dunia media
sosial. Semua orang boleh berpartisipasi, meski tidak semua orang dibekali
dengan kemampuan yang sama, baik kemampuan memberikan informasi maupun
kemampuan mengunyah informasi. Tidak jarang media sosial menjadi sumber
percekcokan. Bahkan, kadang orang tidak bisa mengontrol emosinya di sana.
Akhir-akhir ini, saya
mengalami beberapa kejadian janggal. Beberapa postingan saya di Facebook
dikenai teguran karena dianggap menyalahi ‘standar komunitas.’ Facebook membuat
sebuah ukuran sendiri apa yang boleh diunggah dan apa yang tidak boleh. Facebook
mengklaim memiliki semacam ‘standar moral’ untuk penggunanya. Pengguna tidak
boleh memakai serambi Facebook untuk mendukung organisasi kriminal atau pelaku
kekerasan; tidak boleh mengancam orang lain; menargetkan seorang atau suatu
kelompok; ujaran kebencian; konten grafis yang berisi kekerasan atau
penggambaran penyerangan secara seksual; dan menjual narkoba.
Kita tahu semua standar
itu. Namun, yang kita tidak tahu adalah batasannya. Ambillah contoh gambar yang
memuat penyerangan secara seksual. Apakah penyerangan seksual secara verbal
masuk dalam standar itu?
Juga beberapa kali saya
mengalami bahwa saya diingatkan gambar yang saya posting dikatakan memuat
ketelanjangan (nudity). Bahkan, saya pernah kena tegur hanya karena membagi
tulisan yang berbunyi “I don’t need sex because the government fuck me every
day.” Tuduhannya adalah saya menyebarkan ‘sexual content.’ Tuduhan Facebook itu
menurut saya agak berlebihan. Saya berusaha melakukan protes, tetapi tidak
pernah ada jawaban. Kemudian, muncul beberapa kejadian yang akan saya uraikan
di bawah ini, yang membikin akun Facebook saya dibekukan.
Namun, pertama-tama,
persoalannya bukanlah sekadar pembekuan akun. Pembekuan akun ini membuat saya
mempertanyakan, siapa sesungguhnya yang menetapkan ‘standar komunitas’ Facebook
itu? Kedua, sesuai dengan pengalaman saya, mengapa Facebook melarang penayangan
gambar satu orang, yaitu Rizieq Shihab, dan bukan yang lain? Kedua persoalan
ini, menurut saya, sudah masuk ke dalam wilayah kebebasan berbicara dan
menyatakan pendapat. Pelarangan penayangan gambar seseorang, yang kebetulan
memiliki sikap politik yang berseberangan dengan pemerintah yang sedang
berkuasa, mengundang berbagai macam spekulasi. Adakah Facebook melakukan ini
karena melayani kepentingan politik mereka yang sedang berkuasa?
Yang Terlarang di Facebook
Sebulan yang lalu saya
melihat sebuah Petisi di change.org. Petisi itu pendek saja. Isinya meminta
pemerintah untuk tidak memperpanjang izin untuk Front Pembela Islam (FPI).
Alasannya pun sangat dangkal. Menurut inisiator petisi ini, FPI tidak layak
diperpanjang izinnya karena “FPI merupakan kelompok radikal, pendukung
kekerasan, dan pendukung HTI.” Petisi ini dengan cepat menjadi populer dan
mengundang banyak orang menandatangani.
Namun, tidak lama kemudian,
ada petisi lain yang isinya sangat bertolak-belakang. Petisi ini mendukung FPI.
Petisi tersebut berargumen bahwa FPI telah berkontribusi secara positif untuk
masyarakat seperti membantu bencana alam. Itulah sebabnya eksistensi FPI harus
didukung dan Menteri Dalam Negeri harus memperbaharui izin FPI. “Ada upaya dari
kelompok yang tidak bertanggung jawab untuk menghentikan organisasi ini. Bantu
FPI untuk selalu ada disaat masyarakat membutuhkan bantuan,” demikian kata
petisi ini.
Kedua petisi ini berlomba
menarik dukungan. Petisi yang meminta agar izin FPI tidak diperpanjang dengan
cepat mendapat dukungan. Hingga saat ini, tercatat hampir 500 ribu orang
mendukung petisi tersebut. Yang menarik untuk saya adalah karena petisi
pendukung FPI yang juga cepat mendapat dukungan, walau akhirnya berhenti di
angka sekitar 200 ribu.
Saya menulis kompetisi dua
petisi ini di laman Facebook saya. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa besarnya
dukungan terhadap petisi pro-FPI menunjukkan bahwa organisasi ini memang
memiliki basis dukungan di masyarakat. Dalam posting tersebut saya menyertakan
gambar Rizieq Shihab yang menurut saya sangat bagus. Hanya dalam berapa jam,
Facebook menghilangkan posting tersebut dengan alasan bahwa gambar yang saya
tampilkan melanggar ‘standar komunitas.’ Saya berusaha menampilkan kembali.
Akibatnya saya dihukum tidak boleh melakukan posting selama 24 jam.
Tidak lama kemudian, saya
kembali mendapat peringatan dari Facebook. Ada sebuah postingan saya di tahun
2016 tentang generasi baru para akvitis dari Papua dianggap melanggar standar
komunitas. Pasalnya adalah saya menyertakan gambar sebuah demonstrasi yang
diorganisir organisasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Dalam demonstrasi
itu, tampak beberapa orang mengenakan koteka, pakaian khas Papua. Postingan
tersebut dikatakan melanggar standar komunitas Facebook dan saya didakwa telah
menyebarkan gambar-gambar telanjang (nudity).
Tentu, sebagai orang yang
tahu sedikit tentang Papua, saya melakukan protes. Argumen saya, bagaimanapun
koteka adalah bagian dari kebudayaan bangsa Papua. Facebook harus belajar untuk
tidak menghakimi kebudayaan bangsa Papua dengan standar moralitas Victorian
atau standar moral yang menganggap diri lebih superior. Seperti yang
sudah-sudah, protes tersebut berlalu begitu saja. Facebook tidak mendengar,
juga tak bersuara.
Kejadian ketiga adalah
yang paling fatal. Sebuah postingan saya pada bulan Januari 2017 dianggap,
lagi-lagi, menyalahi standar komunitas. Lagi-lagi, postingan tersebut adalah
tentang FPI. Saya mengomentari kejadian yang saya anggap lucu, yakni FPI akan
melakukan protes ke kantor Twitter di San Fransisco! Pasalnya, akun FPI
dibekukan oleh Twitter karena organisasi ini dianggap sering melakukan
keonaran. FPI menyerukan Aksi 271 (27 Januari) di kantor Twitter. Saya
menyertakan sebuah poster (atau mungkin juga même?) seruan aksi tersebut.
Poster itu didominasi oleh wajah Rizieq Shihab, pemimpin FPI. Penayangan poster
ini berakibat fatal untuk akun Facebook saya. Secara tiba-tiba, ia tewas. Saban
saya mengakses akun itu, saya diberitahu bahwa akun ini sudah dilumpuhkan
(disabled). Seakan seorang pendosa, saya diminta untuk melihat standar
komunitas Facebook.
Dari beberapa teman, saya
ketahui bahwa saya tidak sendirian. Media Anda ini pernah memuat sebuah berita
yang judulnya “Ketika Rizieq Shihab ‘Hilang’ di Facebook.” Dihilangkan oleh
Siapa?
Ketika mengalami teguran
berulang kali itu, saya sudah bertanya-tanya, ada apa gerangan antara Facebook
dengan Rizieq Shihab? Hingga saat ini, saya tidak menemukan jawabannya. Menurut
saya, ini sangat aneh. Sejauh yang saya tahu, Rizieq Shihab tidak pernah
membuat persoalan dengan Facebook.
Beberapa teman menyodorkan
jawaban. Ada yang mengatakan bahwa unggahan-unggahan yang mendapatkan teguran
dari Facebook ini terjadi karena ada yang melaporkan. Facebook hanya
menindaklanjuti laporan pengguna yang lain. Saya tidak terlalu yakin dengan
argumen ini. Seberapa banyakkah orang yang iseng dan menyelisik postingan saya
hingga beberapa tahun ke belakang, mengeluhkannya ke Facebook, yang pada
gilirannya memberikan teguran kepada saya? Seberapa banyak keluhan yang
diterima oleh Facebook sehingga sebuah postingan layak ditegur?
Ada juga argumen yang
mengatakan bahwa ini adalah kerjaan dari artificial intelligence (AI) yang
dimiliki oleh Facebook. Saya juga tidak terlalu yakin dengan argumen ini.
Pertama, AI ada karena diprogram. Artinya, harus ada programmer yang menentukan
bahwa Rizieq Shihab adalah hal yang terlarang di Facebook. Mengapa? Inilah yang
tidak pernah diungkap oleh Facebook dan mungkin tidak akan pernah.
Saya berusaha mencari
jawaban yang masuk akal ihwal kaitan antara Rizieq Shihab dengan Facebook. Dan,
hingga saat ini tidak ada satu pun yang saya dapati. Namun, ada hal yang mungkin
masuk akal, yakni jika memasukkan faktor kekuasaan. Kita tahu bahwa
satu-satunya yang memiliki masalah dengan Rizieq Shihab adalah penguasa.
Mungkinkah Facebook melayani tekanan pemerintah untuk menghilangkan gambarnya
dari platform mereka? Facebook tidak akan pernah berterus terang akan hal ini.
Namun, pengalaman dari berbagai negara menyatakan bahwa Facebook tunduk kepada
tekanan pemerintah.
Sensor dari Facebook
bukanlah sesuatu yang asing. Tidak hanya itu saja. Sebuah laporan dari
Intercept, sebuah media investigasi, memberitakan bahwa Facebook menuruti
keinginan pemerintah Amerika Serikat dan Israel untuk menghapus akun-akun yang
dianggap merugikan pemerintah kedua negara ini. Beberapa negara menekan
Facebook untuk melayani kepentingan pihak yang berkuasa dan melakukan
penyensoran akun-akun yang menentang pemerintah.
Di sinilah saya kira
persoalannya menjadi penting. FPI bukanlah organisasi terlarang. Rizieq Shihab,
hingga saat ini, belum terbukti melakukan tindak kriminal. Sebagai pengamat
politik, saya tahu bahwa pemerintah tidak berani membubarkan FPI yang
pengaruhnya sudah telanjur besar.
Sebuah laporan dari
Associated Press seminggu lalu menggambarkan bagaimana FPI bekerja di
wilayah-wilayah bencana. FPI bergerak cepat di wilayah bencana untuk membantu
mereka yang tertimpa kemalangan, lebih cepat dari pemerintah dan
organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain. Tidak heran bahwa FPI pada saat
ini adalah satu-satunya organisasi yang memiliki basis massa.
Mendiskreditkannya atau melakukan sensor terhadapnya tidak akan mengurangi
pengaruhnya di lapisan massa rakyat bawah.
Saya bukan pengikut Rizieq
Shihab atau FPI. Dalam banyak hal, saya tidak setuju dengan ideologi mereka.
Namun, kejadian seperti penghilangan gambar Rizieq Shihab dari Facebook untuk
mengurangi pengaruhnya juga tidak bisa diterima. Ini adalah masalah kebebasan
berekspresi. Sekarang Rizieq Shihab yang disensor, besok mungkin soal lain yang
berseberangan dengan kepentingan pemerintah.
Akhirnya, ketika hampir
menyelesaikan tulisan ini, sebuah email masuk ke akun saya, email dari
Facebook. Isinya tidak mengherankan saya. Facebook menyatakan, “We’ve
determined that you are ineligible to use Facebook” (Kami sudah memutuskan
bahwa Anda tidak memenuhi syarat untuk menggunakan Facebook). Saya nyengir.
Dengan sekian banyak followers, sesungguhnya saya sudah ikut memberi makan
perusahan ini. Dan saya memutuskan untuk menutup buku dengan Facebook. Dengan
jari tengah ke atas. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar