Intelektual dalam Pusaran Kekuasaan
Ketika gelanggang politik dan ranah sosial dikepung kekuatan emosi dan amarah, sementara lalu lintas informasi dalam ruang publik dipadati oleh kabar bohong, maka bangunan administrasi pemerintah yang baru membutuhkan kejernihan akal budi. Sesuatu yang kerap terjadi, ketika panggung politik elektoral pilpres usai, perbincangan publik yang mengedepan adalah siapa saja yang duduk dalam kabinet mendatang.
Ada hal lain yang tak kalah penting untuk dipertimbangkan, siapakah barisan intelektual yang berada di sekeliling presiden, bagaimanakah perspektif pengetahuan mereka, dan peran apa yang akan dijalankan untuk membantu presiden menavigasi negara selama lima tahun ke depan.
Untuk kasus Indonesia saat ini, kebutuhan presiden untuk ditemani kalangan intelektual yang paham imajinasi sosiologis didasari pengalaman periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), di mana kita menyaksikan sesuatu yang paradoksal. Pesatnya capaian pembangunan dan program pemerintahan berbanding terbalik dengan melemahnya tatanan sosial yang berpijak pada komitmen atas nilai-nilai demokrasi dan kewargaan.
Pada satu sisi, kabinet Jokowi berhasil menjalankan berbagai capaian pembangunan yang luar biasa, mulai dari pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, hingga pemberantasan korupsi.
Meski demikian, pada sisi lainnya kita melihat berbagai guncangan politik, mulai dari pertarungan identitas dalam bingkai Pancasila versus khilafah yang ekskalasinya semakin menguat, penanganan konflik yang bercorak illiberal democracy (formalisme demokrasi dengan pengabaian hak-hak sipil-politik), hingga protes sosial atas kebijakan pemerintah yang kurang memberikan ruang komunikasi bagi mereka yang berada pada kondisi paling rentan tergilas oleh pesatnya laju pembangunan.
Peran intelektual
Ada sebuah asumsi common sense yang tidak tepat terkait dengan bagaimana peran intelektual ketika masuk dalam pusaran kekuasaan. Dalam pemahaman umum, setelah intelektual masuk ke pemerintahan, peran sosialnya berubah. Mereka tidak lagi bicara dalam kapasitasnya sebagai intelektual publik untuk memahami dimensi-dimensi sosial makro yang terdalam dari sebuah realitas sosial, tetapi lebih disibukkan dengan persoalan teknis administratif ke pemerintahan.
Pandangan seperti ini tak benar, intelektual dalam pusaran kekuasaan dibutuhkan untuk memberikan navigasi wawasan sosial yang lebih luas tentang apa pengaruh situasi sosial masyarakat bagi proses penyelenggaraan negara, dan apa efek sosial yang terjadi di masyarakat dari setiap pertarungan kekuasaan, negosiasi politik dan kebijakan yang diambil.
Etos intelektual publik dalam pusaran kekuasaan harus tetap dirawat, seperti diutarakan Michael Burawoy (2004) sebagai public sociology, yakni komitmen pengetahuan dari kalangan intelektual untuk mengabdikan ilmunya bagi kesehatan kehidupan civil society, social engagement, dan political activism.
Peran intelektual dalam lingkaran presiden mensyaratkan daya nalar seperti diutarakan C Wright Mills (1959) dalam The Sociological Imagination, kapasitas untuk memahami dan menyampaikan terkait bagaimana problem yang terlihat di permukaan adalah dimensi kultural personal, secara substansial terkait dengan problem sosio historis dan struktural.
Contohnya bagaimana partisipasi sosial dan memperbesar ruang penerimaan menjadi kunci bagi solidaritas sosial bukan eksklusi dan peminggiran; bagaimana persoalan ketimpangan sosial tidak hanya memengaruhi sisi ekonomi, tetapi juga membentuk bangunan budaya di masyarakat terkait dengan etos kehendak kolaborasi atau menajamnya pembelahan sosial dan fanatisme.
Belajar dari sejarah
Belajar dari sejarah negeri lain, salah satu contoh kolaborasi antara pemimpin negara dan intelektual di AS muncul di era kepemimpinan Franklin Delano Roosevelt (1933-1945). FDR maju ke tampuk presiden diawali dengan sesuatu yang tak biasa dilakukan para pendahulunya. FDR lebih memercayai kalangan intelektual publik seperti akademisi, jurnalis, aktivis sosial dan budayawan (bukan industrialis dan pengusaha besar) sebagai pembisik dan orang-orang terdekatnya.
Tim penasihat yang kemudian terkenal dengan nama FDR Brain Trust. Di antara mereka yang brilian adalah beberapa ekonom dan akademisi ilmu politik dan hukum, seperti Raymond Molley, Rexford G Tugwell, serta Charles Edward Mirriam. Seperti diuraikan HW Brands (2008) dalam Traitor to His Class, FDR dengan program New Deal berhasil menyelamatkan perekonomian kapitalisme Amerika Serikat dari krisis sosial dengan mengabdikan kekuasaan pada kalangan marjinal dan miskin dan meminimalkan intervensi kaum oligark dalam pemerintahan.
Menariknya, skema kebijakan social welfare berjalan dengan kemampuan membangun konsensus politik lintas partai dan menjaga solidaritas sosial dari warganya.
Salah satu contoh lain dari kemitraan antara presiden dan intelektual adalah masa kepemimpinan singkat 1.000 hari John Fitzgerald Kennedy (1961-1963). Kennedy yang dikenal sebagai bukan saja politisi senator, melainkan juga pemimpin yang berasal dari lingkaran intelektual mengetahui betul peran kalangan intelektual dalam pemerintahan.
Untuk itu, ia memastikan agar the brightest minds of America menjadi penasihat sosial dan politiknya. Beberapa nama penting, seperti sejarawan Arthur M Schlesinger Jr, Ted Sorensen, dan ekonom John Kenneth Galbraith, menjadi orang-orang kepercayaan JFK.
Mereka bekerja dengan komitmen etis memperbaiki kehidupan publik dan memberi peta sosial persoalan kepada Presiden JFK. Tugas intelektual progresif di sekitar presiden, memberikan ruang-ruang saluran komunikasi agar kaum aktivis politik, intelektual publik, akademisi progresif dapat membangun saluran komunikasi dengan Gedung Putih dan memastikan bahwa arah kebijakan negara sejalan dengan tujuan-tujuan progresif dari para pendukungnya.
Dalam masa singkat kepresidenan Kennedy, ia memberikan berbagai reformasi sosial penting, mulai dari inisiasi penyelesaian rasialisme di AS, perubahan kebijakan luar negeri untuk membantu negara berkembang memerangi kemiskinan lewat program Alliance for Progress, dan penguatan berbagai kebijakan welfare state.
Kembali ke Indonesia, periode pertama kepemimpinan Jokowi memperlihatkan keberhasilan kepemimpinannya untuk melakukan percepatan pembangunan, tetapi kurang berhasil membangun arsitektural politik dan suasana sosial yang kondusif. Inilah saatnya ketika tuntutan dan tekanan politik tidak lagi menjadi beban elektoral, lingkaran intelektual di sekitar presiden perlu memberikan horizon intelektual dan lebih memberikan perhatian terhadap persoalan sosiologis dari masyarakat. Dengan demikian, komunikasi politik ke depan tak hanya berpusat pada pencitraan politik ataupun imaji advertorial yang banal dan dangkal.
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar