”Memaksakan Kehendak”
Pelajaran sejarah. Memaksakan kehendak adalah sumber segala masalah. Baik yang dilakukan orang ke orang, orang ke kelompok, maupun dari kelompok ke kelompok.
Memaksakan kehendak bisa dalam urusan pribadi, bisa juga perihal yang lebih luas: ideologi. Baik dengan cara halus, terselubung, maupun yang kasatmata, kasar, dan menekan.
Dulu Karl Marx mencetuskan tentang masyarakat utopis. Sebuah masyarakat sosialis yang menjadi idaman dan ingin dicapai. Hasil sebuah reaksi setelah Eropa mengalami revolusi Perancis dan revolusi industri.
Hanya Karl Marx tidak menuliskan dengan tepat, melainkan memperkirakan bagaimana masyarakat tersebut akan terbentuk. Ide Karl Marx dengan cepat merebut hati banyak orang. Para pengikutnya pun terdorong untuk mencapainya. Sebagian dari mereka percaya, masyarakat utopis sosialis tercapai dengan merebut kekuasaan lewat revolusi.
Dengan merebut kekuasaan, mereka bisa membentuk pemerintahan yang menguasai alat produksi. Kemudian negara akan mengatur cara alat produksi itu digunakan agar tidak terjadi eksploitasi rakyat. Contoh klasik adalah Uni Soviet.
Di ujung lain melalui evolusi. Cara ini dipakai oleh partai Demokrat di Amerika Serikat, partai Buruh di Inggris dan di Australia. Begitu juga partai-partai kiri tengah di beberapa negara Eropa Barat dan Jepang. Mereka berjuang mencapai masyarakat sosialis. Masyarakat seperti yang dibayangkan oleh Karl Marx. Berjuang tidak melalui revolusi, melainkan melalui peraturan dan pengaturan. Tidak dengan merebut kekuasaan, tetapi menang di pemilihan umum.
Konservatif vs radikal
Di negara-negara Eropa Barat, Australia, Jepang, dan Amerika Serikat ada tarik ulur antardua kubu. Satu kubu percaya kepada nilai-nilai konservatif. Bahwa kemakmuran dan kesejahteraan bersama bisa dicapai tanpa harus menafikan kelompok pemodal. Sementara kubu lain percaya kelompok pemodal harus dibatasi dengan peraturan agar tidak mengeksploitasi tenaga kerjanya. Ini diwakili dengan baik oleh partai Republik dan partai Demokrat di Amerika Serikat.
Di negara-negara Eropa Barat, Australia, Jepang, dan Amerika Serikat ada tarik ulur antardua kubu. Satu kubu percaya kepada nilai-nilai konservatif. Bahwa kemakmuran dan kesejahteraan bersama bisa dicapai tanpa harus menafikan kelompok pemodal. Sementara kubu lain percaya kelompok pemodal harus dibatasi dengan peraturan agar tidak mengeksploitasi tenaga kerjanya. Ini diwakili dengan baik oleh partai Republik dan partai Demokrat di Amerika Serikat.
Namun, sejarah mencatat, setelah alat produksi dikuasai negara ternyata tidak digunakan secara efisien. Akibatnya cara revolusi, cara kaum komunis ini gagal. Ini karena paham komunis kurang menghargai individu.
Dalam sejarah terjadi perang saudara. Atau satu negara menyerang negara tetangganya. Bisa juga menyerang negara lain yang jauh. Mereka menyerang dengan berbagai alasan, tetapi output-nya sama: negara itu memaksakan kehendaknya kepada negara lain. Perang adalah titik akhir pemaksaan kehendak. Ditentukan dengan adu senjata. Ditentukan oleh siapa yang keluar sebagai pemenang.
Umat manusia memang sudah bergerak maju. Usai Perang Dunia II, timbul kesadaran untuk hidup bersama. Memang tak ada lagi perang global. Namun, sampai dengan saat ini, setelah lewat 74 tahun, perang tetap belum lenyap. Masalahnya tetap. Perang selalu terjadi jika terbentuk polarisasi dua kubu. Setiap kubu percaya dan bersikukuh dengan kebenarannya dan mengabaikan kepentingan dan pemikiran kubu lainnya.
Setelah Perang Dunia Ke-2, memang muncul sistem demokrasi di mana rakyat bisa memilih. Negara Amerika Serikat berada di garda depan memberi contoh dunia bagaimana sistem demokrasi dijalankan. Demokrasi Amerika Serikat menjadi tolok ukur untuk menilai sistem demokrasi negara lain.
Saat ini tidak semua negara mengadopsi sistem demokrasi seperti Amerika. Jika sistem demokrasi ini diletakkan dalam satu spektrum, Amerika Serikat berada di ujung yang satu dan di ujung lain diwakili oleh China.
Peristiwa baru-baru ini adalah perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, drama keluarnya Inggris dari Uni Eropa, dan tentu saja pemilihan umum di Indonesia. Semua memberi contoh terbaru pemaksaan kehendak.
Dari contoh Amerika Serikat, pemenang pemilihan umum tidak bisa mengklaim mereka benar-benar mewakili aspirasi rakyat karena pemenang ditentukan cukup dengan suara elektoral di atas 50 persen saja, berbeda dengan suara popular. Dan, inilah masalahnya.
Misalnya dalam perang dagang AS dengan China. Sulit dikatakan kebijakan Presiden Donald Trump mewakili aspirasi seluruh rakyat AS karena dia tidak dipilih oleh seluruh rakyat Amerika Serikat. Bisa jadi yang tidak memilihnya tidak setuju tindakannya.
Drama keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Belum tentu keluar dari Uni Eropa adalah benar-benar pilihan rakyat Inggris. Itu adalah pilihan sebagian rakyat Inggris yang memberikan suara dalam referendum. Pemilihan umum di Indonesia juga masih menyisakan persoalan. Pihak yang dinyatakan kalah oleh Komisi Pemilihan Umum tidak mau menerima penetapan itu.
Bisa siapa saja
Memaksakan kehendak bisa dilakukan siapa saja. Bisa dilakukan oleh yang menang atau yang kalah dengan tidak mau menerima kekalahannya. Padahal, selalu ada pihak yang menang dan yang kalah dalam satu kontestasi. Namun, si pemenang pun tidak mewakili secara keseluruhan. Kecuali jika menang mutlak 100 persen.
Memaksakan kehendak bisa dilakukan siapa saja. Bisa dilakukan oleh yang menang atau yang kalah dengan tidak mau menerima kekalahannya. Padahal, selalu ada pihak yang menang dan yang kalah dalam satu kontestasi. Namun, si pemenang pun tidak mewakili secara keseluruhan. Kecuali jika menang mutlak 100 persen.
Sebaliknya selalu ada pihak yang mengatasnamakan semua dan memaksakan kehendak. Contoh paling ekstrem adalah kelompok minoritas yang memaksakan kehendak dengan menggunakan senjata, seperti yang dilakukan teroris.
Contoh di Amerika Serikat sebenarnya sudah baik. Kedua kubu yang bertarung kemudian memperbaiki diri. Yang menang dan yang kalah menerima ide kubu lawannya. Mengubah dan menyesuaikan program kerja. Sedemikian rupa lebih mendekat ke kubu lawan.
Program kerja adalah turunan ideologi. Karena pemilihan di AS diselenggarakan setiap empat tahun, tidak perlu terjadi pemaksaan kehendak. Namun, praktik bisa lain, terutama dicontohkan AS saat ini. Saat presiden terpilih mengabaikan aspirasi rakyat yang tidak memilihnya, terjadilah pemaksaan kehendak.
Ide masyarakat utopis sosialis yang digagas Karl Marx gagal saat diterapkan dengan cara komunis. Namun, ide masyarakat sosialisnya tetap diserap oleh banyak pihak. Juga oleh kubu yang berseberangan. Dunia usaha secara evolusi berubah karenanya. Dunia usaha berubah tidak lagi seperti pada saat Karl Marx mencetuskan ide 150 tahun lalu.
Kepemilikan usaha saat ini bisa diakses oleh semua pihak. Tidak lagi selalu menjadi monopoli pendiri perusahaan. Dalam satu spektrum dari perusahaan pribadi ke perusahaan publik. Pasar saham menjadi solusi. Muncul kalangan profesional menjalankan usaha, bukan lagi sekadar pemilik modal. Tenaga kerja mendapat kesejahteraan yang lebih baik.
Peran negara di dunia usaha menyesuaikan diri. Efek dari kegagalan cara komunis. Ada kesadaran baru. Dalam satu spektrum peran sebagai pelaku, inisiator, pemilik modal, atau regulator. Di satu ujung adalah negara yang menerapkan paling maju, di ujung lain paling terbelakang. Gagasan peran rakyat dan negara mengikuti.
Pemilihan umum menjadi ajang untuk memilih ideologi. Setiap golongan menawarkan ideologi menjadi program kerja. Ada negara yang sudah jelas perbedaan programnya. Ada negara yang belum jelas. Negara seperti ini masih bergantung pada ketokohan seseorang.
Di mana pun rakyat masih memilih berdasar bobot ketokohan dan program. Namun, ketokohan seseorang bisa menjadi masalah. Terutama apabila egonya terlalu tinggi dan mengabaikan pihak yang tidak memilihnya.
Ideologi adalah dasar. Dari ideologi diturunkan menjadi program kerja. Program kerja lebih nyata dari ideologi. Sekelompok orang bisa meyakini ideologi itu benar dan satu-satunya kebenaran. Oleh karena itu, ideologi harus bisa menjadi program kerja nyata dan bisa diuji. Jika tanpa kejelasan program dan kemudian memaksakan kehendak, tentu saja akan menjadi runyam.
Penganut ideologi tertentu yang jelas bukan komunis dapat juga menggunakan cara komunis. Pertama merebut kekuasaan untuk memaksakan kehendak. Dalam hal ini walau minoritas, penganut ideologi tersebut berjuang dengan segala cara merebut kekuasaan.
Tujuannya adalah mengubah negara dengan memaksakan kehendak, agar sesuai dengan ideologi yang diyakininya. Mereka tidak peduli apakah ideologinya diterima oleh seluruh masyarakat atau tidak. Memaksakan kehendak inilah yang menjadi sumber masalah. ***
Harry S Alim Pemerhati Sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar