Solidaritas
Bangsa
M Subhan SD ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 10 Desember
2016
Saat berjuang menggapai kemerdekaan
Tanzania yang multietnik pada 1950-an, Julius K Nyerere ditanya, ”Bagaimana
bangsamu akan mencapai persatuan karena ada perbedaan prinsip?” Nyerere
memberikan dua jawaban sederhana: selalu berbicara terbuka tanpa kebencian
dan selalu bersahabat pada orang-orang yang berbeda (fisik ataupun ideologi).
Lalu, bagaimana dengan orang India yang menguasai sektor ekonomi? ”Kami akan
buktikan bahwa Anda akan hidup di alam demokrasi dalam masyarakat yang
beraneka ragam coraknya di Afrika ini dan dapat menikmati kebahagiaan,” jawab
Nyerere pada 1958.
Nyerere, pejuang yang kemudian mengantar
Tanzania merdeka (1961) itu, tidak hanya memberi pelajaran, tetapi juga
panutan. Memang tidak ada negara yang terlahir homogen. Seperti Indonesia,
dibangun dari serpihan-serpihan perbedaan yang kemudian dirangkai seperti puzzle yang menyatu. Bhinneka Tunggal Ika!
Perbedaan justru menjadi modal politik dan modal sosial yang membentuk
menjadi kekuatan. Namun, perbedaan bisa destruktif juga ketika bergeser ke
titik negatif.
Riak-riak ancaman terhadap kemajemukan bisa
merusak manakala penghormatan terhadap kemajemukan diabaikan. Sekitar tiga
bulan negeri ini pun riuh-rendah. Masyarakat terkotak-kotak, antara mereka
yang beda pikiran, beda pandangan, beda sikap, beda ideologi. Perbedaan
seakan-akan menjadi kutukan, bukan anugerah. Dunia maya (media sosial) tak
ubahnya menjadi kubangan lumpur, tempat caci-maki, tudingan, fitnah, hoax.
Media sosial bisa menjadi kawah pertarungan pro dan kontra serta juga ladang
pembunuhan karakter.
Di kehidupan riil, muncul gelombang massa
yang sangat masif, sebagai reaksi terhadap kasus penistaan agama yang diduga
dilakukan Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama. Walaupun
kasus itu kasus penegakan hukum, tetapi sulit mengesampingkan pertautannya
dengan arena politik. Bagaimanapun juga tak lepas dari panggung Pilkada DKI
Jakarta, yang kini ada tiga pasangan calon (Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana
Murni, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, Anies Baswedan-Sandiaga
Uno). Rivalitas sengit di Pilkada DKI Jakarta terasa sangat kuat, melampaui
jauh dari 101 pilkada daerah lainnya yang akan digelar serentak.
Bisa jadi, inilah kekuatan massa luar
biasa, bahkan bisa melampaui massa pada Reformasi tahun 1998, yang
menumbangkan rezim Orde Baru. Aksi massa paling mencengangkan adalah ”Aksi
Bela Islam” pada 4 November dan 2 Desember lalu di kawasan Monas. Kemudian ada
massa melakukan ”istigasah demi keselamatan bangsa” di kawasan Monas pada 18
November dan aksi ”Kita Indonesia” di Thamrin-Sudirman pada 4 Desember lalu.
Mengacu Maurice Duverger (1972), ahli
sosiologi politik asal Perancis, dalam pergolakan politik ada dua aspek,
yaitu pertama, rebutan kuasa secara individual antara pihak-pihak yang
bertarung, dan kedua, menggunakan kelompok-kelompok massa. Aspek pertama
ditekankah oleh kelompok liberal, sedangkan aspek kedua diandalkan kelompok
sosialis dan konservatif. Ketika saluran-saluran politik resmi dianggap
mampat, kekuatan massa juga menjadi pilihan untuk mendesak pemegang
kebijakan. Bahkan, hampir banyak terjadi gerakan massa menjadi pemukul hebat
untuk menurunkan rezim-rezim otoriter.
Contoh gerakan massa paling masif dan luas
adalah revolusi di Timur Tengah. Arab Spring telah mengubah perpolitikan di
Tunisia, Libya, Mesir, Yaman, Suriah, Bahrain. Menggunakan medium media
sosial, gerakan massa menjadi cepat menyebar dan meluas sejak tahun 2010.
Penguasa-penguasa otoriter negara-negara tersebut jatuh atau kejatuhannya
makin cepat. Moammar Khadafy, penguasa Libya, saja akhirnya terbunuh pada
2011. Padahal, AS bertahun-tahun kewalahan menghadapinya. Begitu juga
lawan-lawan politiknya. Namun, gerakan massa, berkombinasi dengan kekuatan
media sosial, plus kekuatan asing, simbol perlawanan terhadap AS itu pun
tumbang juga.
Massa memang kekuatan luar biasa. Indo-
nesia menyimpan kekuatan itu seperti magma di perut bumi. Pekan-pekan lalu
sudah terlihat soliditas massa itu. Seiring dengan makin bekerjanya institusi
penegak hukum, energi bangsa ini semestinya difokuskan untuk hal-hal yang
dapat diproyeksikan pada kebersatuan bangsa. Kini, Aceh dilanda gempa.
Saatnya seluruh kekuatan massa itu digunakan untuk bahu-membahu membantu
Aceh. Tumbuhkan soliditas massa menjadi solidaritas bangsa.
Sudah cukup lama kita tersekat-sekat,
termasuk soal suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Selama itu pula
ego-kedaerahan begitu kuat. Otonomi justru membuat setiap daerah (kota/kabupaten)
egois memikirkan daerah sendiri. Karena itu, penting dirancang agar
daerah-daerah di dalam satu kawasan membangun ”koordinasi bersama”, yang akan
lebih responsif, misalnya menghadapi bencana. Sebab, Indonesia itu satu
kesatuan. Buanglah rasa berbeda, apalagi kebencian. ”Semaikanlah
persaudaraan,” kata Nyerere. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar