Apabila
Prajurit TNI Korup
Dedi Haryadi ; Deputi
Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
|
KOMPAS, 10 Desember
2016
Angin segar
berembus dari peradilan militer kita jelang selebrasi hari anti korupsi
sedunia yang jatuh setiap 9 Desember. Pada 11 November lalu, majelis hakim
pengadilan militer tingkat II memvonis Brigadir Jenderal TNI Teddy Hermayadi
(TH) terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsidalam pengadaan alat
utama sistem persenjataan (alutsista).
TH dihukumsangat berat:
penjara seumur hidup, harus mengembalikan kerugian keuangan negara senilai
sekitar 12 juta dollar AS atau sekitar Rp 162 miliar, dan dipecat dari
TNI.Korupsi sebesar dan setragis ini—pengadaan alutsista seperti pesawat
tempur F-16 dan helikopter Apache—yang dilakukan seorang prajurit menunjukkan
masih lemahnya kontrol internal dalam tubuh TNI.
Dalam lima tahun
terakhir, ini keduakali peradilan militer mengadili kasus korupsi yang
melibatkan perwira militer. Jauh hari sebelumnya (2014), Jenderal Djadja
Suparman (DS) juga terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam
penjualan aset (lahan) TNI. DS pun dihukum 4 tahun penjara.
Untuk sementara,
dua kasus ini menunjukkan bahwa pertama, prajurit TNI tidak imun, tidak kebal
terhadap tuntutan publik tentang keadilan. Kedua, peradilan militer tampaknya
masih fungsional untuk mengadili kasus korupsi yang melibatkan prajurit TNI.
Dua pertanyaan
segera mengemuka: apa implikasiputusan itu terhadap a) pengendalian risiko
korupsi di tubuh militer, b) agenda advokasi organisasi masyarakat sipil yang
menginginkan reformasi peradilan militer.
Tentu saja
perkembangan baru ini menyentak kesadaran aktivis (HAM dan anti korupsi) yang
selama ini menuntut supaya prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili
di peradilan sipil/umum. Selama ini mereka meyakini peradilan militer tidak
mungkin bebas dan independen dalam mengadili prajurit yang melakukan
kejahatan korupsi, kejahatan finansial lainnya, dan pelanggaran HAM.
Indeks korupsi
militer
Putusan itu akan
memengaruhi persepsi peneliti, pengamat, dan publik secara umum bahwa ada
kemajuan dan perbaikan dalam tubuh peradilan militer. Mungkin tumbuh perasaan
di benak publik bahwa peradilan militer kita bisa lebih bebas dan mandiri
dalam mengadili perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan prajurit TNI.
Melihat hukumannya
yang sangat berat, bisa jadi akan menimbulkan ketakutan bagi prajurit TNI
lain untuk melakukan korupsi. Kalau betul dua keadaan itu—peradilan militer
yang bebas dan mandiri plus ketakutan prajuritTNI melakukan tindak
korupsi—eksis, risiko korupsi di tubuh TNI akan mengecil dan bisa
dikendalikan.
Risiko korupsi di
tubuh militer dicerminkan dengan baik oleh Indeks Anti Korupsi Militer
(IAKM). Dalam dua tahun terakhir ini(2013-2015), IAKM kita membaik dari E
(sangat tinggi) ke D (tinggi). IAKM terdiri dari sejumlah kategori risiko
korupsi, yaitu A (sangat rendah), B (rendah), C (moderat), D (tinggi), E
(sangat tinggi), dan F (kritis).
Kita harus terus
mendorong supaya IAKM kita sampai ke B atau ke A sekalian. Kalau sudah sampai
ke B atau A, itu menunjukkan TNI makin bisa diandalkan untuk menjaga
kedaulatan negara, keamanan negara, dan keselamatan prajuritnya sendiri.
Mudah-mudahan rilis pada tahun 2017 nanti IAKM kita bergeser ke kategori C.
Reformasi
peradilan militer
Satu dua putusan
hakim peradilan militer yang baik mungkin tidak akan cukup menggoyahkan dan
memalingkan agenda advokasi masyarakat sipil untuk tetap menuntut reformasi
peradilan militer. Karena ini menyangkut prinsip yang sangat penting dan
fundamental dalam berdemokrasi: eksisnya supremasi sipil.
Tuntutan perlunya
reformasi peradilan militer itu sendiri mengalami pasang surut sejalan dengan
perkembangan dan konstelasi politik dalam masyarakat.
Selain itu,
mungkin kalangan organisasi masyarakat sipil jugamasih menunggu perkembangan
lebih lanjut apakah munculnya kebebasan dan kemandirian peradilan militer
dalam kasus TH ini asli (genuine), serius, dan berjangka panjang ataukah
gejala sementara, impulsif, dan kasuistik.
Batu ujian penting
untuk melihat apakah kebebasan dan kemandirian peradilan militer itu bukan
impulsif, sementara dan kasuistik adalah rangkaian pertanyaan berikut: apakah
peradilan militer kita tajam ke pelaku tunggal (sendirian)dan tumpul ke
pelaku berjemaah? Adakah korupsi berjemaah (kolektif) di TNI?
Ketika kontrol
politik dari parlemen masih lemah, penegak hukum (kejaksaan, kepolisian, dan
KPK) enggan mengeksekusi kewenangannya dan kontrol publik juga belum memadai,
maka jawaban atas pertanyaan tersebut, mesti datang dari komunitas prajurit
TNI sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar