Uni
Eropa di Persimpangan Jalan
Dinna Wisnu ; Pengamat
Hubungan Internasional;
Co-founder, Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 07 Desember
2016
KEMENANGAN Alexander Van der Bellen dari
Partai Hijau di Austria mengalahkan Hofer, seorang politisi dan pemimpin
Partai Kebebasan dari sayap kanan pada minggu lalu belum dapat membuat para
pejabat tinggi Di Uni-Eropa bernapas lega. Karena di hari yang sama saat
Perdana Menteri Italia, Matteo Renzi, mengalami kekalahan dari referendum
yang menuntut pengurangan wewenang parlemen di Italia.
Sejatinya apabila Matteo Renzi dapat
memenangkan referendum untuk mengurangi wewenang parlemen dalam
keputusan-keputusan eksekutif, maka Perdana Menteri dapat mengambil kebijakan
ekonomi-politik yang lebih mendukung penguatan Uni Eropa. Di sisi lain, hal
itu juga dapat mengurangi tekanan dari kelompok sayap kanan yang selalu
mengerem kebijakan-kebijakan yang Pro-Uni Eropa di Parlemen.
Gejala-gejala Eropa yang akan berubah
haluan menjadi lebih Kanan telah terjadi dalam sepuluh tahun terakhir.
Kemenangan-kemenangan kecil partai dan organisasi sayap kanan di satu negara
dikhawatirkan akan memiliki efek menambah kepercayaan diri kelompok sayap
Kanan di negara lain.
Sayap Kanan di Eropa saat ini cenderung
mendukung kebijakan ekonomi yang lebih proteksionis, lebih nasionalistik
dalam ranah politik dan cenderung anti-imigran dalam mengatasi masalah krisis
pengungsi. Selain Italia dan Austria yang secara formal menunjukkan penguatan
sayap kanan, negara-negara lain di Eropa juga memiliki kecenderungan sama
dilihat dari meningkatnya proporsi jumlah kursi dari tahun ke tahun untuk
partai Kanan.
Contoh adalah Front Perancis Bersatu di
bawah pimpinan Marine Le Pen yang meningkat perolehan kursinya dari 4,3% di
tahun 2007 menjadi 13,6% di tahun 2012. Perolehan kursi yang meningkat itu
terjadi setelah Marine Le Penn mengurangi kampanye “rasisme dan xenopobia”
sehingga mendapat tambahan suara dari golongan kiri-tengah.
Di Belanda, Party for Freedom yang dipimpin oleh Greet Wilders juga mengalami
pertumbuhan kekuatan parlemen yang signfikan. Walaupun perolehan kursinya
sempat menurun pada tahun 2010 akibat perselisihan di dalam partai, Party for
Freedom Belanda ini meningkat perolehan kursinya dari 5,9% di tahun 2006
menjadi 10,1% di tahun 2012.
Di antara dua negara tersebut, Hungaria,
Polandia dan Swiss adalah negara-negara yang memiliki partai sayap kanan yang
cenderung menguat dalam beberapa pemilihan umum terakhir selain Inggris yang
sudah keluar EU.
Saya sendiri secara pribadi belum berani
untuk menyimpulkan mengapa Eropa saat ini cenderung bergerak ke Kanan. Dari
sisi indikator ekonomi, Uni Eropa (EU) secara umum mengalami peningkatan.
Pendapatan perkapita negara-negara EU secara rata-rata adalah 28.800 Euro di
tahun 2015.
Dengan catatan, ada negara dengan
penghasilan sangat besar seperti Luxemburg dengan pendapatan per kapita
sebesar 89.900 Euro hingga Bulgaria yang terkecil sebesar 6.300 Euro.
Ada asumsi yang mengatakan bahwa sayap
Kanan menguat karena hilangnya pekerjaan akibat masuknya para pengungsi.
Namun, apabila kita lihat datanya, dari sisi pengangguran, negara-negara yang
memiliki kecenderungan menguat sayap Kanannya sangat bervariasi dalam tingkat
pengangguran.
Sehingga belum tentu pengangguran yang
tinggi menjadi faktor pemicu tumbuh dan berkembangnya partai sayap Kanan.
Contoh, secara berturut-turut tingkat pengangguran terhadap angkatan kerja
berdasarkan EuroStat, 2015: Jerman (4,6%), Inggris (ex-EU 5,3%), Prancis
(10,4%), Italia (11,9%), Belanda (6,9%), Spanyol (22,1%) dan Portugis
(12,6%). Sebagai perbandingan, angka pengangguran terhadap angkatan Kerja di
Indonesia pada tahun 2015 adalah 6,2%.
Tingkat pengangguran yang cukup tinggi di
Prancis dan Italia mungkin menjadi penyebab menguatnya sentimen anti EU.
Tetapi hal ini tidak terjadi di Spanyol dan Portugis yang bahkan memiliki
tingkat pengangguran lebih tinggi dari dua negara tersebut. Demikian pula, Jerman
dan Inggris yang memiliki tingkat pengangguran paling kecil tidak menjamin
kebal dari virus pengaruh gagasan Sayap Kanan. Inggris bahkan keluar dari EU
akibat pengaruh tersebut.
Kesimpulan sementara yang dapat diterima
saat ini terhadap menguatnya Sayap Kanan di Eropa adalah gagasan khayalan
(delusional) tentang akan lebih sejahteranya negara-negara Eropa bila berdiri
sendiri. Atau bila negara-negara anggota mendapatkan kembali wewenang mereka
untuk memerintah.
Seperti kita ketahui bersama bahwa EU bukan
sekadar forum atau asosiasi seperti ASEAN. Namun EU telah menjelma menjadi
Super-State yang memiliki tujuh lembaga sebagai tempat untuk menghasilkan
keputusan bersama yang kemudian wajib dilaksanakan oleh negara-negara anggota
EU.
Tujuh lembaga tersebut adalah European
Council, the Council of the European Union, the European Parliament, the
European Commission, the Court of Justice of the European Union, the European
Central Bank, dan the European Court of Auditors. Para pemimpin Sayap Kanan
berkampanye dan menyakinkan bahwa apabila mereka mengurangi wewenang atau
kapasitas EU atau bahkan keluar dari EU, masyarakat akan lebih sejahtera.
Partai-partai sayap kanan di Eropa mungkin
masih membutuhkan waktu 1 atau 2 kali periode pemilihan umum untuk dapat
memimpin di negaranya masing-masing. Namun secara politik kemungkinan politik
dalam negeri di kawasan itu akan bergerak dari Kiri Tengah menjadi
Kanan-Tengah demi mencegah Partai Sayap Kanan (Far-Right) semakin menguat.
Apabila hal itu terjadi ada beberapa skenario yang mungkin bisa terjadi di
dalam jangka pendek.
Skenario pertama adalah ketika terjadi
resistensi dan pembatasan bagi pencari suaka padahal solusi konflik di
negara-negara yang bermasalah belumlah terbentuk. Inggris yang sudah tidak
terikat pada EU misalnya merasa tidak perlu lagi membuka garis perbatasannya
bagi para pencari suaka.
Namun EU juga harus menelan pil pahit dari
Turki yang mengancam akan membuka perbatasannya bagi para imigran untuk masuk
ke Eropa. Pertentangan kebijakan berujung pada pengabaian masalah HAM dan
kemanusiaan, bahkan stigmatisasi pada kaum imigran dan pendatang. Hal ini
akan menyebabkan masalah atau krisis kemanusiaan di Timur Tengah akan semakin
mendalam dan membutuhkan kepemimpinan baru untuk menyelesaikannya.
Skenario kedua adalah mengingat bahwa di
Austria sudah tercetus pernyataan oleh partai sayap kanan bahwa Political
Islam adalah fasisme baru. Jika para elit politik dapat mengelola isu dengan
baik, maka pernyataan seperti itu akan ditentang melalui mekanisme pemilu,
antara lain dengan menguatkan kelompok-kelompok politik di jalur Kanan-Tengah
agar kelompok-kelompok Kanan kehilangan pendukung.
Tetapi jika isu seperti ini tidak dikelola
dengan baik, benturannya lagi-lagi akan berkembang di tataran masyarakat,
mengoyak stabilitas relasi antarkelompok-kelompok masyarakat. Pertentangan
politik yang menggunakan retorika agama adalah awal dari destabilitas sosial
yang kerap berujung pada ketegangan bahkan kehancuran rezim berkuasa.
Ini tantangan besar untuk mendidik publik
agar perkembangan negatif di belahan dunia lain tidak sampai diimpor juga ke
dalam negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar