Revitalisasi
Komite Sekolah
Doni Koesoema A ;
Pemerhati Pendidikan;
Pengajar di Universitas
Multimedia Nusantara
|
KOMPAS, 04 Februari 2017
Peraturan
Mendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah begitu disahkan
langsung menuai pro-kontra. Padahal, niat baik pemerintah adalah untuk
merevitalisasi komite sekolah yang selama ini identik dengan tukang
"stempel" kepala sekolah dalam melegalkan pungutan. Niat baik saja
ternyata belum cukup.
Memberdayakan komite sekolah merupakan amanat
dari UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pada Pasal
56 Ayat 3 dinyatakan, "Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri,
dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta
pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan."
UU
Sisdiknas menegaskan bahwa garda depan penjaga peningkatan kualitas
pendidikan di unit sekolah adalah komite sekolah. Komite sekolah merupakan
representasi kehadiran orangtua dan masyarakat. Menyuarakan kepentingan
orangtua untuk memastikan kualitas pendidikan yang baik adalah tugas utama
komite sekolah.
Kritik
publik terhadap komite sekolah yang selama ini tidak independen alias sekadar
sebagai "stempel" kepala sekolah untuk melegalkan pungutan sekolah
dari orangtua memiliki dasar faktual. Di banyak tempat, umumnya komite
sekolah hanya dilibatkan dalam rangka menarik dana dari masyarakat, terutama
dari orangtua. Inilah yang kemudian menimbulkan perdebatan tentang fungsi dan
peranan komite sekolah.
Dalam
urusan perencanaan sekolah, komite sekolah sering kali tidak dilibatkan sejak
awal dalam membahas Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
Kepala sekolah masih memegang kendali utama pengelolaan sekolah. Anggaran
kegiatan untuk komite sekolah juga tidak jelas bersumber dari mana. Komite
sekolah yang tidak taat pada perintah kepala sekolah bisa dibekukan, seperti
terjadi pada beberapa kasus. Dari sisi administrasi, kewenangan, cakupan, dan
bidang tugas serta bentuk-bentuk keterlibatan bagi pengembangan sekolah,
posisi komite sekolah lemah.
Peraturan
Mendikbud (Permendikbud) No 75/2016 merupakan jawaban pemerintah untuk
memberdayakan komite sekolah sebagai lembaga mandiri, rekan kerja setara dengan
kepala sekolah yang menyuarakan kepentingan siswa dan orangtua dalam
meningkatkan kualitas pendidikan, serta memberikan pengawasan dengan
mempergunakan prinsip gotong royong.
Kurang sosialisasi
Pro-kontra
tentang komite sekolah bergulir karena kurangnya sosialisasi sehingga muncul
kesan Mendikbud melegalkan pungutan. Publik, terutama orangtua dari keluarga
miskin, akan semakin sulit memperoleh akses pendidikan. Informasi yang keliru
ini diduplikasi melalui berbagai media tanpa klarifikasi dan tanpa pengacuan
pada Permendikbud No 75/2016.
Meluruskan
informasi keliru ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu
mengklarifikasi persoalan tentang tugas komite sekolah. Kemendikbud
menegaskan, permendikbud dibuat justru untuk memperkuat peranan komite
sekolah. Ditegaskan, komite sekolah dilarang memungut uang apa pun dari
peserta didik ataupun orangtua siswa.
Permendikbud
tentang Komite Sekolah dibuat karena ada keprihatinan tentang kualitas
pendidikan nasional. Orangtua sebagai pemangku utama pendidikan di sekolah
sudah semestinya terlibat, memantau, dan membantu melalui berbagai macam cara
dalam meningkatkan kualitas pendidikan bagi putra-putri mereka.
Peranan
komite sekolah menjadi sentral ketika pemerintah mencanangkan Gerakan
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), yang salah satu prinsip dan strateginya
adalah pelibatan masyarakat dalam pendidikan.
Implikasi praktis
Permendikbud
yang memperkuat peranan komite sekolah memang perlu didukung. Namun, kalau
kita analisis dan cermati lebih dalam, Permendikbud tentang Komite Sekolah
ini pasal per pasal, kita kaitkan dengan peraturan lain sejenis, dan
pertimbangkan praksis pemandulan komite sekolah yang terjadi di lapangan,
kita perlu memberikan beberapa catatan kritis yang bisa menjadi bahan pertimbangan
untuk penguatan komite sekolah ke depan.
Seperti
yang biasa terjadi di negara kita, undang-undang atau peraturan sering kali
sudah baik, tetapi ternyata secara operasional tidak dapat dilaksanakan
karena kurangnya petunjuk teknis lebih detail tentang bagaimana isi
pasal-pasal itu diimplementasikan atau kurang adanya pengembangan
kapasitas-baik untuk kepala sekolah maupun komite sekolah-sehingga
penyelewengan itu tetap terjadi. Untuk itu, ada beberapa catatan yang perlu
kita pertimbangkan sebagai masukan bagi pemerintah.
Pertama,
dominasi kepala sekolah ternyata tetap. Dalam permendikbud disebutkan
bahwa anggota komite ditetapkan oleh
kepala sekolah yang bersangkutan (Pasal 7 Ayat 1). Dengan pasal ini, dominasi
kepala sekolah yang selama ini "menguasai" komite sekolah tetap
akan bertahan. Bahkan, kepala sekolah bisa jadi hanya akan menyetujui anggota
komite yang bisa diajak bermufakat dalam hal-hal buruk. Dalam kaitan ini,
pemerintah perlu mendesain ruang komunikasi agar proses pemilihan komite sekolah
ini transparan dan akuntabel dengan memberikan kanal-kanal pelaporan dan
petunjuk lebih detail tentang bagaimana memilih komite sekolah secara
independen.
Kedua,
adanya disharmoni dengan peraturan lain. Dalam Permendikbud No 75/2016
ditegaskan bahwa komite sekolah, baik secara perseorangan maupun kolektif,
dilarang melakukan pungutan dari peserta didik atau orangtua/walinya (Pasal
12 Butir b). Namun, Permendikbud No 44/2012 tentang Sumbangan dan Pungutan
Pendidikan masih memperbolehkan pungutan sekolah oleh sekolah dengan
sepengetahuan komite sekolah asal sesuai dengan persyaratan yang berlaku.
Permendikbud No 44/2012 belum dicabut sehingga masih berlaku.
Ketiga,
komite sekolah menyusun anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (Pasal 7
Ayat 2) serta dapat menggalang dana dari masyarakat untuk pengembangan
pendidikan. Dalam Permendikbud No 75/2016 tidak dijelaskan mekanisme dan
prosedur penggalangan dana, mekanisme transparansi dan akuntabilitasnya.
Faktanya,
selama ini komite sekolah hanya menggalang dana melalui orangtua siswa lewat
pungutan yang berkedok sumbangan. Kita masih sering mendengar siswa tidak
dapat mengambil rapor karena belum membayar uang sekolah, iuran ini, iuran
itu, dan lain sebagainya. Selain itu, komite sekolah selama ini tidak pernah
memperoleh pelatihan tentang bagaimana mendesain sebuah tata organisasi yang
baik, membuat proposal penggalangan dana, dan membangun kolaborasi yang sehat
dengan sekolah, terutama dengan kepala sekolah.
Integritas moral
Sebagus
apa pun sebuah peraturan, tidak akan ada maknanya jika para pelakunya adalah
individu penelikung moralitas. Banyak aturan yang baik menjadi distorsif saat
dipraktikkan karena integritas para pelaku di sekolah dipertanyakan. Maka,
memilih pemimpin yang memiliki visi pendidikan baik, unggul dalam integritas
moral dan kebaikan, akan menjadi kata kunci utama pengembangan kualitas
pendidikan.
Demikian
juga orangtua siswa, mereka perlu memilih anggota-anggota komite sekolah yang
mau berjuang untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak mereka.
Caranya, tentu saja dengan memilih mereka yang memiliki integritas moral
tinggi, tidak memanfaatkan jabatan, kedudukan, dan posisinya untuk memperkaya
diri sendiri.
Apabila
kultur moral dalam lembaga pendidikan tidak ada, akan sangat sulit bagi
sekolah tersebut untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebab, pendidikan
pada hakikatnya adalah pembentukan manusia seutuhnya, baik secara fisik,
sosial, emosional-psikologis, akademik, maupun moral dan spiritual.
Niat
baik mengembangkan komite sekolah melalui permendikbud saja belumlah
mencukupi. Kemendikbud perlu membuat mekanisme dan sistem yang transparan,
akuntabel, dan memberdayakan para pelaku degan keterampilan yang dibutuhkan.
Namun, lebih dari sekadar keterampilan teknis, revitalisasi komite sekolah
pertama-tama harus berfokus pada penguatan komitmen moral kepala sekolah dan
anggota komite sekolah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar