Balada
Orang-orang Besar
M Subhan SD ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 04 Februari 2017
Ucapan
Abraham Lincoln (1809-1865) seperti mantra. ”Hampir semua orang bisa kuat
menghadapi penderitaan. Namun, jika ingin menguji watak seseorang, berilah ia
kekuasaan,” kata presiden ke-16 Amerika Serikat itu. Kekuasaan ibarat sihir,
membuat para pemburu dan pemegangnya ”lupa daratan”. Sejarah pergulatan umat
manusia boleh dikata didominasi perebutan kekuasaan. Dan, perburuan kekuasaan
selalu menimbulkan kegaduhan, kegemparan, konflik, dan perang. Padahal,
kekuasaan bisa dua wajah: keagungan sekaligus tragedi. Kekuasaan bisa membuat
orang jadi terhormat jika amanah. Namun, kekuasaan bisa membuat seseorang
ternista manakala berkhianat.
Pertarungan
antar-”orang besar” itu menimbulkan kegaduhan tanpa henti, seperti di
panggung politik negeri ini, terlebih sejak kontestasi Pilpres 2014. Bahkan,
saat media sosial menjadi sarana komunikasi efektif di era digital saat ini,
politik menjadi isu sentral yang dipertengkarkan, bukan hanya oleh orang
besar (elite politik), melainkan juga orang kecil (publik). Kegaduhan semakin
menjadi. Gonjang-ganjing politik pun menjadi pemandangan lumrah. ”Orang
besar” tak kapok-kapoknya berulah. Bisa lewat ujaran sarkastis, perilaku
tercela, hingga perilaku korup.
Contoh
paling gres Jumat (3/2) kemarin. Dua anggota DPR, Yudi Widiana (PKS) dan Musa
Zainuddin (PKB), ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Keduanya
diduga terlibat suap proyek jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat yang semula melibatkan kolega mereka, Damayanti Wisnu Putranti (sudah
dipecat PDI-P). Yudi dan Musa menyusul dua anggota DPR lainnya, Budi
Supriyanto (Golkar) dan Andi Taufan Tiro (PAN). Kasus tersebut juga menyeret
elite birokrasi di daerah.
Akhir
2016, KPK juga menangkap Bupati Klaten Sri Hartini terkait suap pengisian
jabatan. KPK juga menangkap Wali Kota Cimahi (nonaktif) Atty Suharti dan
suaminya yang mantan wali kota, M Itoc Tochija. Pasangan itu ditangkap
terkait kasus suap proyek pembangunan pasar. Kalau dikalkulasi selama tahun
2016, ada 11 bupati/wali kota menjadi tersangka korupsi. Selain korupsi,
kegaduhan politik juga terkait dugaan perbuatan tercela. Kabupaten Katingan
di Kalimantan Tengah terguncang ketika Bupati Ahmad Yantenglie digiring ke
kantor polisi. akibat hubungannya dengan seorang perempuan. Mencuatlah wacana
pemakzulan bupati.
Pekan
ini, kita juga dikagetkan dengan tertangkap tangannya ”Yang Mulia” Hakim
Konstitusi Patrialis Akbar. Patrialis diduga terlibat suap terkait uji materi
undang-undang. MK pun berada di ujung tanduk setelah kasus sama menimpa
ketuanya, Akil Mochtar, pada 2013. Akil dihukum seumur hidup karena menerima
hadiah dan pencucian uang terkait sengketa pilkada.
Namun,
kegaduhan tiada tara adalah kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Kasus ini
tak lepas dari rivalitas di pilkada. Ahok adalah gubernur petahana yang
nyalon lagi. Namun, ditolak sebagian publik, antara lain menyangkut sentimen
religi dan etnik serta perangainya. Bahkan, sampai menimbulkan gerakan massa
luar biasa. Kohesivitas sosial pun retak. Setelah Ahok menjadi tersangka
penodaan agama terkait ucapannya di Kepulauan Seribu, kegaduhan tak berhenti.
Persidangannya selalu gaduh. Terakhir saat menghadirkan saksi Ketua Umum MUI
KH Ma’ruf Amin. Pertanyaan soal komunikasi Kiai Ma’ruf dengan mantan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengarah pada isu penyadapan.
Sampai-sampai
SBY pun memberi klarifikasi. Kembali terlihat hubungan SBY dan Presiden Joko
Widodo tidak akrab. Seperti menyimpan misteri: tidak ada apa-apa, tetapi
seperti ada apa-apa. Entah mengapa dua tokoh ini belum bisa bertemu juga.
Padahal, SBY ingin blakblakan, terlebih seakan menjadi ”tertuduh” di balik
beberapa gerakan politik akhir-akhir ini. Sebaliknya, Presiden Jokowi merasa
tak punya masalah. Soal pertemuan, hanya soal waktu saja sih. Namun, DPR
kadung gaduh karena ada wacana pengajuan hak angket soal isu penyadapan.
Kegaduhan
tiada henti di negeri ini akibat ulah orang-orang besar. Saya jadi teringat
sepenggal puisi KH Mustofa Bisri (Gus Mus) ”Orang Kecil Orang Besar”
Orang besar jujur-tak
jujur makmur
Benar-tak benar dibenarkan
Lalim-tak lalim dibiarkan
Orang besar boleh bicara
semaunya
Orang kecil paling jauh
dibicarakan saja
Orang kecil jujur dibilang
tolol
Orang besar tolol dibilang
jujur
Orang kecil berani dikata
kurangajar
Orang besar kurangajar
dikata berani.
Orang
besar gaduh sendiri demi kuasa. Di pelosok-pelosok negeri rakyat adem-adem
saja. Mereka merajut sendiri nasib dan kehidupannya. Barangkali jika tak
diributkan media massa, terpidana pencucian uang Rp 1,3 triliun, yaitu PNS
Batam, Niwen Khairiah, bisa jadi belum ditangkap. Sebab, orang-orang besar
tak benar-benar serius mengurus hukum dan membenahi negeri ini. Padahal,
putusan kasasi MA sudah keluar setahun silam. Begitulah orang-orang besar:
boleh bicara semaunya. Kalau pun jujur-tak jujur tetap saja makmur. Kalau
sudah begini, negeri ini dalam tragedi besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar