Mengawal
Momentum Penurunan Ketimpangan
Razali Ritonga ;
Kapusdiklat BPS RI;
Alumnus Georgetown University, AS,
Jurusan Kependudukan dan Ketenagakerjaan
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Februari 2017
BADAN
Pusat Statistik, Rabu (1/2), mengumumkan ketimpangan pendapatan berdasarkan
proksi pengeluaran menunjukkan penurunan. Hal itu terekam dari penurunan
rasio Gini dari 0,397 pada Maret 2016 menjadi 0,394 pada September 2016.
Angka rasio Gini berkisar 0-1 dengan nilai 0 berarti setiap orang memiliki pendapatan
sama dan nilai 1 berarti hanya satu orang memiliki seluruh pendapatan.
Penurunan
rasio Gini Maret-September 2016 itu sekaligus menunjukkan penurunan
ketimpangan yang terjadi periode sebelumnya (September 2015-Maret 2016) terus
berlanjut. Atas dasar itu, sangat diharapkan penurunan ketimpangan akan terus
berlangsung hingga ke masa datang.
Patut
dicatat, hadirnya momentum penurunan ketimpangan periode September 2015-Maret
2016, antara lain, berkat gencarnya pembangunan infrastruktur di Tanah Air.
Maka, upaya sama perlu terus dilakukan secara intensif sehingga pendapatan
masyarakat, khususnya pada kelompok terbawah, semakin meningkat.
Soal aksesibilitas
Pembangunan
infrastruktur menyebabkan aksesibilitas penduduk meningkat, terutama mereka
yang selama ini sulit berusaha dan bekerja. Umumnya, mereka yang termasuk
dalam kelompok ini ialah masyarakat pada kelompok terbawah.
Maka,
dengan meningkatnya aksesibilitas penduduk kelompok terbawah dalam berusaha
dan bekerja menyebabkan pendapatan mereka meningkat. Dengan meningkatnya
pendapatan, khususnya kelompok terbawah, pada gilirannya pengeluaran mereka
turut meningkat. Tercatat, selama September 2015–September 2016 pengeluaran
penduduk 40% terbawah meningkat sebesar 4,56%.
Diperkirakan,
dengan diberlakukannya program pemerintah dalam mendistribusikan aset, lahan,
dan modal kerja, selain pembangunan infrastruktur, aksesibilitas penduduk
kelompok terbawah untuk berusaha dan bekerja akan kian meningkat sehingga
ketimpangan semakin menurun. Diharapkan, pemerintah dapat mengawal berbagai
program itu sehingga tepat sasaran khususnya pada daerah-daerah yang selama
ini tertinggal, seperti perdesaan, terluar, terpencil, dan pedalaman.
Bahkan,
agar berhasil optimal, pemerintah perlu memadukan berbagai program itu
(redistribusi aset, lahan, dan modal) dengan berbagai program lainnya,
seperti pengembangan kegiatan ekonomi mikro, kecil, dan menengah. Selain itu,
pemerintah perlu memastikan Paket Kebijakan Ekonomi yang telah digulirkan
berjalan efektif dalam mendukung penduduk berusaha dan bekerja.
Pemangkasan
dan penertiban berbagai peraturan daerah (perda) yang menghambat
berkembangnya kegiatan ekonomi perlu terus dilakukan meski diketahui bahwa
sebagian dari perda itu diberlakukan untuk meningkatkan pendapatan asli
daerah (PAD).
Soal kapabilitas
Namun,
aksesibilitas penduduk dalam berusaha dan bekerja pada waktunya akan
mengalami kejenuhan dan sulit untuk ditingkatkan lagi. Hal itu terjadi karena
faktor kapabilitas yang rendah sehingga tak mampu memanfaatkan terbukanya
peluang untuk berusaha dan bekerja. Rendahnya kapabilitas penduduk, antara
lain, akibat pendidikan, pengetahuan, dan pengalaman, serta derajat kesehatan
yang rendah.
Ketimpangan
kapabilitas penduduk, khususnya pada aspek pendidikan yang paling menonjol
ialah antara perdesaan dan perkotaan. Rendahnya pendidikan di perdesaan,
antara lain, terekam dari rata-rata lama sekolah (mean years of
schooling/MYS) yang hanya sebesar 6,8 tahun atau setara tamat SD, sedangkan
MYS di perkotaan sebesar 9,4 tahun atau selevel tamat SMP (BPS, 2013).
Rendahnya
pendidikan di perdesaan diperkirakan sebagai salah satu faktor penyebab
rendahnya pendapatan mereka. Secara faktual, hal itu terekam dari tingginya
angka kemiskinan di perdesaan bila dibandingkan dengan angka kemiskinan di
perkotaan. Tercatat, angka kemiskinan di perdesaan menurut hasil Susenas
September 2016 sebesar 13,96%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka
kemiskinan di perkotaan sebesar 7,73%.
Namun,
terbukanya peluang bekerja dan berusaha tidak serta-merta meningkatkan
pendapatan. Artinya, angka pengangguran rendah bukan berarti kesejahteraan
tinggi. Meski angka pegangguran di perdesaan, misalnya, lebih rendah bila
dibandingkan dengan angka pengangguran di perkotaan, nyatanya angka
kemiskinan di perdesaan lebih tinggi. Hasil Sakernas Agustus 2016 menunjukkan
angka pengangguran di perkotaan sebesar 6,60%, sedangkan angka pengangguran
di perdesaan sebesar 4,51%.
Maka,
atas dasar itu, untuk mengawal momentum penurunan ketimpangan terus
berlanjut, pemerintah masih perlu memberlakukan bantuan subsidi di samping
pembangunan infrastruktur dan program redistribusi aset, lahan, dan modal
usaha. Bantuan dan subsidi perlu diberikan bagi mereka yang bekerja tapi
berpendapatan rendah dan bagi mereka yang sama sekali tidak mampu berusaha
dan bekerja.
Meski
selama ini pemerintah telah berupaya memberlakukan bantuan dan subsidi, serta
belakangan dengan membangun infrastruktur dan meredistribusi aset, lahan, dan
modal, penurunan ketimpangannya masih terbilang rendah. Selama September
2015-September 2016, berdasarkan rasio Gini, penurunannya hanya sebesar 0,008
poin, yakni dari 0,402 pada September 2015 menjadi 0,394 pada September 2016.
Sementara
itu, dengan upaya penurunan ketimpangan yang hampir sama, pemerintah Brasil
dapat menurunkan angka rasio Gini sebesar 0,2 poin per tahun sejak 1995.
Secara kumulatif angka rasio Gini di Brasil menurun sebesar setengahnya bila
dibandingkan dengan kondisi awal selama 1995-2004 (Soares, et al, 2006).
Maka,
dengan mencermati pengalaman Brasil itu, masih terbuka ruang cukup lebar
untuk menurunkan ketimpangan yang jauh lebih besar lagi di Tanah Air. Upaya
itu barangkali bisa berhasil jika pemerintah secara konsisten melaksanakan
berbagai program untuk meningkatkan aksesibilitas penduduk dalam berusaha dan
bekerja serta menghindari berbagai bentuk penyimpangan.
Di
masa mendatang, untuk mengatasi kejenuhan dalam aksesibilitas berusaha dan bekerja,
pemerintah perlu fokus pada peningkatan kapabilitas penduduk, khususnya
pendidikan dan kesehatan. Dengan cara itu diperkirakan, momentum penurunan
ketimpangan akan terus berlangsung, bahkan dengan level penurunan yang jauh
lebih besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar