Meredam
Efek Trump
Tri Winarno ; Peneliti
Ekonomi Senior
Departemen Kebijakan Ekonomi dan
Moneter Bank Indonesia
|
KOMPAS, 13 Desember
2016
Dunia seperti pendulum jam gantung, tidak
stasioner namun dinamis antisipatif: kadang berat ke kiri, kadang mengarah ke
kanan. Selalu mencari keseimbangan baru, begitulah ”mantra” Laksamana TNI
(Purn) Sudomo, mantan Pangkopkamtib era Orde Baru dalam menggambarkan
kecenderungan suatu zaman. Petuah tersebut sampai kini masih terasa relevan
jika dikaitkan dengan kondisi global saat ini, apalagi setelah kemenangan
Donald Trump, di mana dunia cenderung ”memihak ke kanan” alias anti
kemapanan.
Kelompok anti kemapanan AS telah membuat
masyarakat dunia terkaget-kaget dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden
ke-45 AS, yang akan menggantikan Barack Obama efektif pada 20 Januari 2017.
Tahun 2016, yang ditandai dengan kelesuan ekonomi global, terutama di negara
berkembang, mendapat dua kejutan signifikan, yaitu Brexit dan ”USxit”
(konsekuensi terpilihnya Trump). Kebijakan Trump yang disampaikan dalam masa
kampanye relatif akan mudah diimplementasikan mengingat penguasa AS saat ini
adalah republiken. Mulai dari presiden, Senat, dan Kongres AS didominasi
Partai Republik.
Di samping itu, satu hakim MA AS yang
kosong karena meninggal beberapa waktu lampau sudah dapat dipastikan akan
diisi kandidat hakim agung ”rasa” republiken. Maka trias politikanya
Montesquieu, yang membagi kekuasaan atas tiga pilar, yaitu eksekutif,
legislatif, dan yudikatif, mengalami pejoratif di kancah tata negara AS saat
ini. Walaupun berbeda personel, hakikatnya terjadi satu pemusatan kekuasaan,
yaitu pada republiken.
Setelah USxit dunia semakin dihadapkan pada
ketidakpastian, terutama prospek perekonomian global ke depan. Dengan demikian,
konsekuensi apa yang akan terjadi setelah terpilihnya Donald Trump sebagai
presiden AS? Setidaknya terdapat 10 konsekuensi utama dengan hadirnya Trump
sebagai presiden.
Konsekuensi
Pertama, pertumbuhan ekonomi AS akan melaju
di atas pertumbuhan ekonomi rata-rata selama periode kedua kepresidenan
Barack Obama, lebih tinggi dari 2,2 persen per tahun. Ini terjadi karena
keengganan republiken terhadap ekspansi belanja publik dan kebijakan
pemberlakuan batas utang publik untuk menutupi defisit fiskal, hanya berlaku
tatkala demokrat yang memerintah.
Namun dengan presiden dari republiken,
kongres ataupun senat akan meningkatkan belanja publik dan merelaksasi batas
utang publik, sebagaimana terjadi pada masa Presiden Ronald Reagan dan George
W Bush. Dengan demikian, Trump akan mudah mengimplementasikan stimulus fiskal
ala Keynesian untuk mendongkrak perekonomian AS sebagaimana Obama sering
usulkan, tetapi kandas dihadang kongres.
Defisit fiskal yang terjadi akibat
kebijakan itu lebih menyerupai supply-side economics daripada stimulus
Keynesian. Namun, dampaknya sama berupa pertumbuhan ekonomi ataupun inflasi.
Tatkala perekonomian AS melaju mendekati batas pemakaian tenaga kerja penuh
(full employment), tambahan pertumbuhan akan mendorong laju inflasi lebih
cepat. Berita buruk akan terjadi tahun 2018 dan setelahnya.
Kedua, reformasi perpajakan seperti
kebijakan pengampunan pajak untuk perusahaan multinasional agar merepatriasi
pendapatan luar negerinya dipastikan akhirnya menjadi undang-undang. Dominasi
republiken akan memudahkan persetujuan pemotongan pajak yang akan
dikompensasi dengan pinjaman publik. Reformasi perpajakan akan menciptakan
defisit anggaran jauh lebih besar, yang pada gilirannya akan memstimulasi
pertumbuhan dan inflasi lebih tinggi lagi.
Ketiga, peningkatan laju pertumbuhan
ekonomi AS akan dipercepat adanya deregulasi. Ketika perdebatan tentang
undang-undang lingkungan dan energi mendominasi berita utama, dampak ekonomi
terbesar akan datang dari deregulasi perbankan. Deregulasi mengarah pada
standar yang lebih longgar untuk penyaluran pinjaman, khususnya untuk rumah
tangga kelas menengah. Maka akan terjadi lonjakan pembangunan permintaan
properti dan lonjakan konsumsi masyarakat yang didanai oleh pinjaman. Terjadi
peningkatan leverage. Deregulasi berlebihan akan mendorong terulangnya krisis
keuangan global 2008, yang tanda-tandanya muncul pada 2007. Perlu dicatat,
risiko akan muncul tahun 2018 dan setelahnya.
Stabilitas
geopolitik
Keempat, kehadiran Trump akan membawa
stabilitas geopolitik global setidaknya jangka pendek. Preferensi Trump atas
realitas politik yang ada—dibanding dengan intervensi liberal Obama—akan
menstabilkan hubungan AS dengan Rusia ataupun dengan Tiongkok ketika realitas
politik dunia terbagi atas berbagai pengaruh. Trump akan tutup mata atas
kontrol Rusia terhadap Ukraina dan Suriah, ditukar dengan pengendalian AS
atas Eropa tengah dan kawasan Baltik.
Dominasi Tiongkok atas Asia adalah suatu
keniscayaan asal Tiongkok menghindari perang terbuka dengan Jepang, Taiwan,
dan negara-negara Asia lain yang keamanannya didukung AS.
Timur Tengah akan tetap menjadi kancah
pertikaian geopolitis, tetapi preferensi Trump akan kontrol pemimpin lokal
yang kuat daripada sistem demokrasi akan menjamin pemulihan stabilitas, dengan
mengorbankan prinsip HAM.
Kelima, terpilihnya Trump akan memaksa
warga AS menyadari adanya kelemahan sistem demokrasinya. Sebab, walaupun
Trump terpilih, Trump kalah suara lebih dari 2 juta suara, Trump hanya menang
dalam sistem pemilihan elektoral. Ini akan memaksa perubahan dari sistem
pemilihan elektoral (electoral college) ke sistem yang berdasarkan jumlah
suara terbanyak (popular vote). Untuk itu, diperlukan setidak-tidaknya
persetujuan dari sejumlah negara bagian yang mewakili 61 persen suara pemilih
menuju perubahan sistem pemilihan presiden AS.
Adanya oposisi kuat terhadap kebijakan
Trump di negara-negara bagian utama, seperti California dan New York, akan
menyemangati pemilih untuk mereduksi kebijakan konservatif federal dengan
undang-undang negara bagian yang lebih progresif, seperti UU tentang kualitas
udara, kesehatan, aborsi, imigrasi, dan pengendalian senjata.
Keenam, ini berita buruknya. Untuk pertama
kali sejak 1930, AS memiliki presiden yang berpandangan proteksionis terhadap
perdagangan internasional. Walaupun tidak dapat dimaknai secara literal,
apabila Trump gagal memperkecil defisit neraca perdagangannya sebagaimana
yang ia janjikan, republiken akan ditinggalkan konstituennya, terutama
pemilih di daerah dan industri yang sedang mengalami penurunan kinerja.
Dengan demikian, warna kebijakan AS ke
depan akan cenderung mereduksi perdagangan bebas, globalisasi, dan pasar
terbuka. Tak satu pun dapat memprediksi besarnya dampak pasti karena adanya
perubahan rezim tata pengelolaan ekonomi global sejak tahun 1980 tersebut.
Yang jelas, dampaknya akan negatif terhadap negara-negara emerging economies
dan perusahaan-perusahaan multinasional, yang model pembangunan dan strategi
bisnisnya bertumpu pada pasar bebas dan aliran modal yang bebas.
Ketujuh, ini dampaknya lebih segera, yaitu
berasal dari kebijakan yang terkait dengan pemotongan pajak dan peningkatan
belanja publik di suatu ekonomi yang telah mendekati full employment. Ini
berarti mengakselarasi inflasi, meningkatkan tingkat bunga, dan kombinasi
keduanya. Ditambah dengan proteksi perdagangan dan kebijakan penghapusan
pekerja migran, akselerasi inflasi dan peningkatan tingkat bunga jangka
panjang akan lebih dramatis. Ini akan berdampak negatif terhadap pasar
keuangan internasional, terlepas dari apakah Fed akan melakukan kebijakan
moneter yang lebih konstraktif untuk mengantisipasi akselerasi inflasi,
ataupun Fed membiarkan perekonomian AS memanas hingga inflasi meningkat dalam
1-2 tahun ke depan.
Kedelapan, dengan ekspektasi percepatan pertumbuhan
ekonomi AS yang disertai peningkatan tingkat bunga jangka panjang, penguatan
dollar AS yang berlebihan akan menjadi risiko besar yang mengemuka. Meskipun
dollar AS saat ini telah mengalami apresiasi jauh melebihi nilai
fundamentalnya, dampak dari ekspektasi tersebut akan menjadikan dollar AS
lebih ”perkasa”.
Kesembilan, dengan adanya kombinasi
menipisnya suplai dollar AS di pasar internasional dan proteksi nasional,
negara-negara berkembang akan mengalami masalah perekonomian serius; kecuali
bagi negara-negara yang strategi pembangunannya kurang bergantung pada
perdagangan internasional dan pembiayaan yang bersumber dari dana asing,
seperti Brasil, Rusia, dan India.
Terakhir, konsekuensi paling berbahaya dari
kemenangan Trump adalah efek tular pada Eropa. Kemenangan Trump seperti
Brexit yang tak diperkirakan. Saat ini Trump merupakan penanda kuat yang
dapat memicu krisis di kawasan Eropa dan mengancam bubarnya Uni Eropa.
Berdasarkan jajak pendapat, kemungkinan yang akan terjadi dalam waktu dekat adalah
kemenangan referendum konstitusi Italia, pemilihan presiden Austria, serta
keunggulan Le Pen di Perancis. Semua mengarah pada senjakalaning Uni Eropa.
Meredam
efek Trump
Mengingat konsekuensi di atas yang secara
keseluruhan berdampak negatif, ada beberapa hal yang perlu dicermati untuk
meredam Trump’s effect.
Pertama, harus ada negara yang berinisiatif
mengambil alih komando tata perekonomian global baru yang ditinggalkan AS.
Dalam hal ini kandidat terkuat adalah Tiongkok. Tiongkok akan mampu mengambil
peran karena telah mencapai upper middle income country, negara dengan
perdagangan luar negeri terbesar dunia, perekonomian terbesar kedua dunia,
bahkan dengan tingkat perekonomian terbesar jika menggunakan ukuran paritas
daya beli (purchasing power parity).
Tiongkok, tahun 2014 PDB-nya mencapai 10,3
triliun dollar AS, naik dari hanya 2,3 triliun dollar AS tahun 2005. Maka,
PDB per kapitanya telah mencapai 14.000 dollar AS. Bahkan beberapa tahun lagi
akan naik ke high income country jika tidak terjebak middle income trap.
Karena itu, Tiongkok akan terus menjadi mesin ekonomi utama dunia, yang
berkontribusi sekitar 30 persen dari pertumbuhan global setidaknya sampai
tahun 2020.
Agar Tiongkok mampu mengambil peran
tersebut, harus ada inisiatif lain yang menggabungkan peran Tiongkok, Korea
Selatan, dan Jepang dalam kepemimpinan perekonomian global. Setidak-tidaknya
tiga macan tersebut mampu meredam efek Trump agar tidak menjalar ke Asia
Timur atau bahkan Asia. Peran tersebut akan semakin mulus jika ASEAN
memperkuat posisinya.
Kedua, Indonesia harus cepat mengubah
orientasi ekonominya yang menekankan pertumbuhan ekonomi pada kekuatan
domestik. Ini mengingat Indonesia yang berlimpah dengan sumber daya alam
sebagai input dan jumlah penduduk yang besar—250 juta—sebagai pasar
potensial. Komposisi penduduk muda karena bonus demografi juga menjadi modal
dasar untuk menggerakkan mesin perekonomian nasional; bukan malah menjadi
beban pembangunan.
Oleh karena itu, penekanan pada akselerasi,
baik konsumsi maupun investasi domestik, harus dimaksimalkan dengan tumpuan
pada investasi infrastruktur serta kebijakan yang mengarah pada reformasi
struktural, sebagaimana visi Presiden Jokowi.
Terakhir, bagi negara yang tidak memiliki
cadangan devisa berlimpah seperti Indonesia, cadangan devisa harus dihemat
sehemat mungkin. Cadangan devisa yang memadai secara psikologis memberikan
rasa aman dan nyaman bagi warganya sehingga tidak mudah menjadi bulan-bulanan
spekulator. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar