Meredam
Trump’s Effect
Tri Winarno ; Peneliti
Ekonomi Senior Bank Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
07 Desember 2016
KELOMPOK antikemapanan Amerika Serikat
telah membuat masyarakat dunia semakin terkaget-kaget dengan terpilihnya
Donald Trump sebagai presiden. Tahun 2016 yang ditandai dengan lesunya
perekonomian global telah mengalami dua kejutan signifikan yaitu Brexit dan
‘Usxit’. Dipastikan kebijakan Trump yang dijanjikan dalam masa kampanye mudah
diimplementasikan mengingat penguasa AS saat ini ialah republikan, mulai
presiden, senat, dan kongres. Pasca-‘Usxit’ dunia dihadapkan pada
ketidakpastian yang semakin mendalam dalam berbagai aspek. Dengan demikian,
konsekuensi apa yang akan terjadi setelah terpilihnya Donald Trump?
Konsekuensi
terpilihnya Trump
Pertama, pertumbuhan ekonomi AS akan melaju
di atas pertumbuhan ekonomi rata-rata jika dibandingkan dengan masa
pemerintahan kedua Barack Obama, yaitu lebih tinggi daripada 2,2% per tahun.
Ini terjadi karena keengganan republikan terhadap ekspansi belanja publik dan
kebijakan pemberlakuan batas utang publik untuk menutupi defisit fiskal,
hanya berlaku tatkala demokrat seperti Obama yang memerintah di Gedung Putih.
Namun, dengan presiden dari republikan, kongres akan menyetujui peningkatan
belanja dan relaksasi batas utang publik, sebagaimana yang dilakukan semasa
Presiden Reagan dan Bush. Dengan demikian, Trump akan dengan mudah
mengimplementasikan stimulus fiskal untuk mendongkrak perekonomian. Stimulus
fiskal ala Keynesian tersebut akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan
ekonomi dan inflasi.
Kedua, kebijakan pengampunan pajak untuk
perusahaan multinasional dipastikan akan diundangkan. Dominasi republikan
akan dengan mudah menyetujui pemotongan pajak yang akan dikompensasi dengan
pinjaman publik. Reformasi ini akan membuat defisit anggaran semakin
membesar, semakin menstimulasi percepatan pertumbuhan dan inflasi. Ketiga,
akselerasi pertumbuhan ekonomi AS akan dipercepat dengan deregulasi perbankan
yang melonggarkan penyaluran pinjaman sehingga akan terjadi lonjakan konsumsi
masyarakat. Deregulasi itu akan mendorong terulangnya kembali krisis keuangan
global seperti yang pernah terjadi pada 2008.
Keempat, untuk pertama kali sejak 1930, AS
memiliki presiden yang mempunyai pandangan proteksionis terhadap perdagangan
internasional. Walaupun tidak dapat dimaknai secara literal, apabila Trump
gagal memperkecil defisit neraca perdagangannya sebagaimana yang ia janjikan,
republikan akan ditinggalkan konstituennya, terutama pemilih yang berada di
daerah dan industri yang sedang mengalami penurunan. Dengan demikian, warna
kebijakan AS ke depan dapat dipastikan mereduksi perdagangan bebas,
globalisasi, dan pasar terbuka. Tak satu pun bisa memprediksi besarnya dampak
secara pasti karena adanya perubahan rezim tata pengelolaan ekonomi global
tersebut. Namun, dampaknya pasti negatif terhadap emerging economies dan
perusahaan multinasional, yang model pembangunan dan strategi bisnisnya
bertumpu pada pasar dan aliran modal yang bebas.
Kelima, dampak kebijakan yang terkait
dengan pemotongan pajak dan peningkatan belanja publik akan mengakselerasi
inflasi, meningkatkan tingkat bunga, dan kombinasi keduanya. Ditambah dengan
proteksi perdagangan dan kebijakan penghapusan pekerja migran, akselerasi
inflasi dan peningkatan tingkat bunga jangka panjang akan lebih dramatis.
Dengan demikian, itu akan berdampak negatif terhadap pasar keuangan
internasional. Terlepas dari apakah The Fed akan melakukan kebijakan moneter
kontraktif, ataupun The Fed membiarkan perekonomian AS memanas sehingga
inflasi meningkat selama satu atau dua tahun ke depan.
Keenam, dengan adanya ekspektasi percepatan
pertumbuhan ekonomi AS yang disertai dengan peningkatan tingkat bunga jangka
panjang, penguatan dolar AS akan menjadi risiko besar yang mengemuka. Menurut
IMF, Juni 2016 dolar AS telah mengalami overvalue 10%-20%. Meskipun dolar AS
mengalami apresiasi melebihi nilai fundamentalnya, dampak ekspektasi tersebut
akan mengubah dolar AS semakin ‘perkasa’ sebagaimana pernah terjadi pada 1980
dan 1990.
Ketujuh, dengan menipisnya suplai dolar dan
proteksionisme, negara berkembang akan menghadapi masalah perekonomian yang
serius. Kecuali bagi negara yang strategi pembangunannya kurang bergantung
pada perdagangan internasional dan pembiayaan yang bersumber dari dana asing,
seperti Brasil, Rusia, dan India. Terakhir, konsekuensi paling berbahaya dari
kemenangan Trump ialah efek tular pada kawasan Eropa. Kemenangan Trump, tepat
seperti Brexit yang semula tak pernah diperkirakan, tapi hasilnya
mengagetkan. Saat ini Trump merupakan penanda kuat yang dapat memicu krisis
lanjutan dan mengancam stabilitas kawasan Uni Eropa yang sudah goyah.
Meredam
Trump’s effect
Mengingat konsekuensi itu, ada beberapa hal
yang perlu dicermati dalam upaya meredam Trump’s Effect. Pertama, harus ada
suatu inisiatif untuk mengambil alih komando tata perekonomian global yang
baru. Tiongkok akan mampu mengambil peran tersebut karena telah mencapai
upper middle income country. Perdagangan luar negeri mereka terbesar di
dunia, tingkat perekonomian mereka terbesar di dunia jika menggunakan ukuran
paritas daya beli. PDB mereka telah mencapai U 11,3 triliun. PDB per kapita
mereka telah mencapai U$14 ribu. Tiongkok akan terus berkontribusi sekitar
30% dari pertumbuhan global setidaknya sampai 2020.
Kedua, Indonesia harus bertumpu pada
kekuatan domestik karena berlimpah dengan sumber daya alam, jumlah penduduk
yang besar, dan komposisi penduduk muda sebagai modal penggerak mesin
perekonomian nasional. Terakhir, bagi negara yang tidak memiliki cadangan
devisa yang berlimpah, mereka harus menggunakan cadangan devisa sehemat
mungkin. Prinsip besar pasak dari pada tiang harus dihindari dalam
pengelolaan cadangan devisa. Cadangan devisa hanya digunakan untuk hal-hal
penting yang terkait dengan pembiayaan impor dan pembayaran pinjaman karena
dengan cadangan devisa yang memadai akan memberikan rasa aman sehingga tidak
mudah menjadi bulan-bulanan spekulator. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar