Efektivitas
Kelola Dana Desa
Trisno Yulianto ; Koordinator
Forum Kajian dan Transparansi Anggaran
(Forkata) Magetan
|
KOMPAS, 13 Desember
2016
Pemerintah pusat merencanakan menambah
alokasi anggaran dana desa untuk tahun 2017 jadi Rp 60 triliun. Alokasi
anggaran Rp 60 triliun merupakan peningkatan signifikan dari volume anggaran
Rp 46,7 triliun yang diperuntukkan bagi 74.000 desa selama tahun 2016. Belum
cukup dengan rencana anggaran Rp 60 triliun, Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi atau PDTT juga menebar janji akan
mengalokasikan dana desa Rp 120 triliun tahun 2018.
Janji manis peningkatan besaran transfer
fiskal dana desa merupakan simalakama politik. Pemerintah pusat terlampau
menganggap mudah implementasi pengelolaan dana desa yang di tingkat bawah
masih banyak kelemahan dalam hal teknis dan orientasi kepatuhan pada
regulasi. Belum lagi, kucuran dana desa meningkatkan tendensi korupsi di
lingkup pemegang kuasa pengelolaan dana desa.
Dalam realitas, pengelolaan dana desa yang
diatur dalam Permendagri Nomor 113 Tahun 2015 banyak dimensi kelemahan.
Kelemahan ini membuat efektivitas pengelolaan dana desa tidak sesuai harapan.
Dana desa yang diperuntukkan bagi 74.000 desa, di mana masing-masing
mendapatkan ”jatah” rata-rata Rp 550 juta-Rp 750 juta, tidak mampu untuk
memfasilitasi program pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat, dan
penanggulangan kemiskinan.
Kelemahan dalam pengelolaan dana desa
selama periode 2015 dan 2016 adalah pertama, egosentrisme kepala desa selaku
pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa (PKPKD). Kepala desa lebih
banyak berperan dan bermain dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan
pengelolaan keuangan desa, kepala desa kurang mampu mengefektifkan kerja sama
tim (team building) dalam memformulasikan Rencana Kerja Pemerintah Desa
(RKPDes) dan melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes)
dengan berdasarkan prinsip akuntabilitas dan transparansi.
Kedua, ketidakpahaman regulasi dan
kebijakan kelola dana desa. Banyak desa—pemerintah desa—yang tidak paham
tentang substansi dan imperatif teknikalitas tentang aturan hukum dan panduan
komprehensif dalam pengelolaan dana desa, sehingga pemahaman pengelolaan dana
desa terbatas hanya seputar pengajuan pencairan dana desa, perumusan alokasi
kegunaan dana desa, dan pelaporan administratif. Tidak memahami substansi
dana desa sebagai media penguatan fungsi dan kinerja pemerintahan desa dan
serangkaian program pemberdayaan masyarakat.
Ketiga, lemahnya pengawasan publik. Dalam
eksekusi dana desa selama 2015 dan 2016, banyak ditemukan praktik kecurangan
dan tendensi penyimpangan. Hal ini akibat lemahnya pengawasan publik.
Masyarakat desa, terutama pelbagai organisasi sektoral dan organisasi
masyarakat sipil, belum memiliki kesadaran pengawasan anggaran. Standar melek
anggaran masyarakat desa masih rendah sehingga tidak mengerti bahwa desa
mereka memiliki alokasi dana yang besar yang seharusnya cukup untuk
menjalankan program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Angka
kemiskinan meningkat
Ketidakefektifan pengelolaan dana desa
tecermin dari hadirnya realitas sosiologis berupa meningkatnya angka
kemiskinan di desa. Angka kemiskinan di desa meningkat karena ketidakmampuan
desa dalam mendorong peningkatan aktivitas ekonomi produktif bagi masyarakat
miskin. Desa tidak mampu memfasilitasi program jaminan pendidikan dan
kesehatan bagi masyarakat miskin yang idealnya dianggarkan dalam skema dana
desa (APBDes).
Dana desa justru lebih cenderung menjadi
instrumen fiskal yang membawa kemakmuran atau peningkatan pendapatan aparatur
pemerintah desa melalui pos belanja operasional dan formula tunjangan
penghasilan tetap. Dana desa hanya efektif untuk pembiayaan belanja rutin
pemerintah desa dan bukan untuk fasilitasi kebutuhan masyarakat desa.
Untuk meningkatkan efektivitas kelola dana
desa, pemerintah pusat—Kementerian Desa dan PDTT—dituntut untuk membuat
evaluasi menyeluruh tentang implementasi dana desa sepanjang 2015 dan 2016.
Menemukan kegagalan sistemik, budaya dan aplikasi kelola dana desa.
Selanjutnya, menetapkan skema regulasi teknis sebagai handbook (buku panduan)
dalam pengelolaan dana desa yang jumlahnya kian meningkat dari tahun ke
tahun.
Program pengawasan terpadu kelola dana desa
juga perlu dibuatkan landasan regulasi yang tegas dan jelas sehingga
komunitas pendamping desa, organisasi masyarakat sipil di desa, dan
representasi masyarakat desa bisa melaksanakan pengawasan tata kelola dana
desa. Mereka memiliki posisi tawar untuk mengkritik dan mengoreksi
penyimpangan kelola dana desa. Sangat sulit pengawasan kelola dana desa
diserahkan kepada institusi penegak hukum dan lembaga pengawas birokrasi,
seperti inspektorat atau BPKP.
Efektivitas kelola dana desa juga
membutuhkan inovasi, seperti pelaksanaan program sistem informasi keuangan
desa (Siskeudes), E-budgeting dana desa (APBDes), ataupun penguatan sistem
informasi desa, sehingga tata kelola desa bisa terakses dan termonitor oleh
masyarakat desa. Dana desa sangat penting menjadi piranti sosial untuk
kesejahteraan masyarakat desa dan merealisasikan konsepsi membangun dari desa
(pinggiran). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar