Merayakan
Kebinekaan
Romanus Ndau Lendong ; Dosen
Binus Jakarta;
Program Doktor Politik
Universitas Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
06 Desember 2016
AKSI 212 berakhir sudah. Jauh dari yang dikhawatirkan, aksi
berjalan aman, tertib, dan lancar. Bayang-bayang kekerasan yang sebelumnya
terasa mengerikan tak terbukti. Indonesia sekali lagi menegaskan diri sebagai
bangsa beradab, toleran, dan demokratis. Kepada rakyat kita patut berterima
kasih. Pandangan yang mengecilkan rasa kritis dan kesadaran rakyat tak lagi
relevan. Sebaliknya, rakyat kini menjadi role model pengembangan demokrasi.
Demokrasi, bagi rakyat, tak lagi sekadar jargon, tetapi perilaku hidup yang
memancarkan kejujuran, kesantunan, saling menghormati, dan toleransi.
Ini kabar baik bagi masa depan Indonesia. Pendidikan membuat
rakyat semakin cerdas, kritis, dan mandiri. Nelson Mandela menegaskan
pendidikan membuat rakyat maju, bisa menolong diri sendiri, dan mampu memilah
serta memilih informasi. Pidato-pidato elite dan gempuran informasi beraroma
kebencian dan balas dendam yang tersebar masif di media sosial tak membuat
rakyat gelap mata. Tak sudi mereka bertaruh hidup untuk sesuatu yang tidak
jelas, apalagi sekadar memuluskan gairah politik rendahan segelintir elite.
Meski demikian, demokrasi sejati masih memerlukan perjuangan
terus-menerus sebab ada saat demokrasi harus memasuki fase-fase gawat,
terutama menyongsong Pilkada Serentak 2017 dan Pemilu 2019. Sudah lazim
hasrat akan kekuasaan membuat para elite terjebak dalam praktik-praktik
menghalalkan segala cara. Jadi, demokrasi tidak bergantung pada kesadaran
elite, tetapi lahir atas inisiatif rakyat. Pendidikan dan penyadaran rakyat
akan luhurnya demokrasi mesti terus dilanjutkan. Ini langkah strategis untuk
menjauhkan bangsa ini dari ancaman disintegrasi sosial dan politik.
Pribadi
multiwajah
Konflik hari-hari ini seakan menjustifikasi benturan peradaban
yang dikemukakan Samuel P Huntington. Dalam bukunya The Clash of Civilization
and the Remaking of the World Order (1996), Huntington menebarkan tesis
benturan antarperadaban. Inti tesis itu ialah benturan antarperadaban akan
menjadi sumber ketegangan baru pascaberakhirnya perang dingin. Kekeliruan
besar yang dilakukan Huntington ialah menempatkan agama sebagai sumber tunggal
nilai peradaban. Seturut analisisnya, jumlah peradaban paralel dengan jumlah
agama. Setidaknya ada empat peradaban utama yang akan saling bersaing, yakni
Islam, Hindu, Kristen, dan Buddha.
Betul agama menjadi sumber penting nilai peradaban, tetapi bukan
satu-satunya. Sumber nilai lain yang tidak boleh diabaikan ialah adat
istiadat, norma sosial, ras, sistem kerja, organisasi sosial, pilihan
politik, dan seterusnya. Tegasnya, manusia bukan makhluk beridentitas
tunggal, pribadi multiwajah. Tesis Huntington benar-benar keliru sehingga
sudah semestinya dikaji ulang.
Tidak sulit rasanya membuktikan manusia ialah pribadi
multiwajah. Contohnya, selain sebagai orang Katolik, saya orang Flores,
seorang dosen, penulis, Kader Partai Golkar, Kader Kosgoro 1957, aktivis LSM,
dan masih banyak lagi. Di atas segalanya, saya warga negara Indonesia yang
memiliki hak politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Atas dasar itu, saya
berhak mendapatkan perlakuan yang sama di segala bidang kehidupan.
Tidak tepat kalau saya diperlakukan berbeda semata-mata karena
saya beragama Katolik. Di luar organisasi keagamaan, tidak ada posisi yang
menjadikan agama sebagai preferensi. Saya juga tidak bisa diperlakukan
semena-mena atau menanggung risiko semata-mata karena ada orang Katolik yang
melakukan kesalahan. Hukum nasional kita mengajarkan setiap orang
diperlakukan sesuai dengan tindakannya. Pemilahan ini penting agar kita
terhindar dari fanatisme dangkal yang kerap kali menjadi sumber amarah dan
darah.
Indahnya
keragaman
Seorang filsuf mengatakan manusia seakan dilempar begitu saja ke
tengah dunia. Dia tidak berhak memilih ayah dan rahim ibu yang melahirkannya.
Dia juga tidak berhak merekomendasikan warna kulit, agama, dan tanah airnya.
Itulah keterbatasan eksistensial manusia yang harus diterima secara sadar dan
wajar. Bagi bangsa Indonesia, keragaman suku, agama, budaya, dan ras ialah
kekayaan sehingga harus diterima dan dikembangkan. Keragaman itulah yang
membentuk Indonesia ibarat taman raksasa yang indah dan memesona. Keragaman
membuat kita saling belajar, bertoleransi, dan hormat-menghormati. Di atas
segalanya, keragaman itu menjadi dasar kita untuk membangun mimpi besar
menjadi bangsa Indonesia yang bersatu, maju, mandiri, adil, dan sejahtera.
Toleransi dan tolong-menolong antarumat berbeda agama
sesungguhnya sudah lama dipraktikkan rakyat di berbagai daerah. Di Larantuka,
Flores, rakyat berbeda agama sudah terbiasa saling membantu. Saat Natal dan
Paskah, umat Islam menjadi panitia dan menjaga keamanan. Demikian sebaliknya.
Saat Lebaran, tanpa pamrih orang Katolik menjamin keamanan dan ketertiban.
Semua terasa indah. Pengalaman serupa tentu saja terjadi di tempat lain di
negeri ini. Hidup di antara sesama dengan keyakinan keagamaan yang sama tidak
selamanya berjalan harmonis. Selama kuliah di Fakultas Filsafat UGM pada
1990-an, saya mempunyai pengalaman menarik. Awalnya, saya tinggal di rumah
indekos yang pemiliknya beragama Islam. Orangnya rajin beribadah, ramah, dan
baik hati. Kalau terlambat kiriman uang dari orangtua, pemilik rumah indekos
menyediakan makanan secara layak tanpa menanyakan kapan bisa membayarnya.
Padahal pemilik rumah indekos itu hanya berjualan di pasar dan hidup
sederhana.
Inilah pengalaman terbaik selama saya di Yogya. Di waktu lain,
saya tinggal di rumah indekos yang pemiliknya satu agama dengan saya. Awalnya
saya membayangkan pasti pemilik rumah indekos ini lebih baik. Ternyata itu
hanya ilusi. Orangnya jarang senyum dan bertegur sapa. Bayaran indekos tidak
boleh terlambat. Aturannya sangat ketat. Di mana-mana tertempel tulisan:
‘Dilarang Ribut’, ‘Dilarang Menerima Tamu’, ‘Tamu Dilarang Kencing’, dan
sebagainya. Karena jengkel, di suatu malam saya mencopot semua tulisan
tersebut dan menempelkan tulisan baru: ‘Dilarang Melarang!’
Saat hari raya tiba, saya membayangkan akan ikut merasakan
nikmatnya hidangan ketika pemilik rumah indekos yang kaya raya ini merayakan
‘Natal Bersama’ atau ‘Paskah Bersama’. Namun, lagi-lagi itu tidak terjadi.
Semua hidangan hanya nikmat di mata karena tak pernah ditawarkan ke anak-anak
indekos. Bahkan, saat ke gereja setiap pagi di Kapel Kolese de Brito, pemilik
rumah indekos ini naik motor sendirian, sementara saya susah payah berjalan
kaki. Contoh ini tentu tidak memadai. Apa yang hendak saya katakan ialah
keindahan hidup bersama tidak dengan sendirinya didapatkan saat kita berada
di antara sesama dengan keyakinan keagamaan yang sama. Sebaliknya, hidup di
antara orang yang berbeda keyakinan keagamaan belum tentu berbuah konflik.
Semua bergantung pada kualitas individu. Karena itu, tidak ada alasan bagi
kita untuk menolak kebinekaan selain merayakannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar