Kamis, 07 Oktober 2021

 

Kasus Evergrande, Terlalu Besar Untuk Gagal

Aprilian Hermawan  ;   Wartawan Bisnis Indonesia

BISNIS INDONESIA, 25 September 2021

 

 

                                                           

Seruan too big to fail yang terus menggema dalam pekan ini kiranya berhasil meluluhkan sikap bank sentral China setelah People’s Bank of China (PBOC), mengguyur 120 miliar yuan atau US$18,6 miliar (Rp266 triliun kurs Rp14.300 per dolar AS) ke dalam sistem perbankan.

 

Tindakan tersebut diambil menyusul intensitas kekhawatiran pasar yang meningkat atas kasus gagal bayar Evergrande Group yang menjadi sorotan pemberitaan media di China karena begitu tingginya risiko kebangkrutan perusahaan.

 

Suntikan PBOC dilakukan dalam bentuk reverse repurchase agreements atau reverse repo yang menghasilkan pendanaan bersih senilai 90 miliar yuan atau setara US$13,9 miliar.

 

Adapun pernyataan ‘terlalu besar untuk gagal’ tersebut terkait dengan risiko efek berantai yang timbul dari kebangkrutan konglomerasi yang memiliki lebih dari 1.300 proyek di lebih dari 280 kota di seluruh negeri.

 

Imbauan agar Beijing melakukan bailout mengemuka dari sebagian besar analis di Negeri Naga itu agar dampak negatif yang lebih besar bisa terhindarkan.

 

Betapa tidak. Dengan utang senilai US$300 miliar atau setara dengan Rp4.200 triliun itu, perusahaan pengembang realestat milik pengusaha Hui Ka Yan telah menjadi salah satu korporasi dengan utang paling banyak di China saat ini.

 

Sebagai catatan, Hui mendirikan Evergrande yang dikenal sebagai Grup Hengda pada tahun 1996 di Guangzhou, China selatan. Bisnis Evergrande kemudian berkembang pesat. Tidak hanya berkutat di sektor properti saja tetapi juga menggurita ke bidang usaha lain seperti pengelola kekayaan, pembuat mobil listrik, manufaktur makanan dan minuman.

 

Bahkan Evergrande juga menjadi pemilik salah satu tim sepak bola terbesar di negara itu, Guangzhou FC.

 

Klub tersebut merupakan sang juara bertahan Liga Super China yang kini diasuh oleh eks punggawa timnas Italia, Fabio Cannavaro.

 

Tidak heran dalam kiprahnya, Hui bahkan pernah menjadi orang terkaya di Asia sebelum kekayaannya anjlok dalam beberapa bulan terakhir. Menurut BBC.com yang mengutip laporan Forbes, Hui memiliki kekayaan pribadi sekitar US$10,6 miliar.

 

Masih menurut Forbes, Hui tercatat sebagai orang terkaya di China pada 2020 dengan kekayaan pribadi sebesar 3 miliar yuan. Sebagai gambaran, Jack Ma, pendiri Alibaba Group pada tahun itu berada di posisi kelima dengan kekayaan 1,12 miliar yuan.

 

Ada beberapa alasan mengapa risiko default ini begitu serius buat China sehingga seruan too big to fail muncul. Kekhawatiran ini telah menimbulkan ketidakpastian yang membuat harga saham Evergrande jatuh sekitar 80% tahun ini. Obligasinya juga telah diturunkan oleh lembaga pemeringkat kredit global.

 

Pertama, banyak orang membeli properti dari Evergrande di depan, sebelum pekerjaan pembangunan dimulai. Animo masyarakat yang begitu besar ini karena iming-iming Evergrande yang melakukan terobosan penawaran harga properti dengan diskon besar-besaran. Mereka yang telah membayar DP itu, berisiko kehilangan uangnya jika Evergrande bangkrut.

 

Kedua, selain dampak terhadap masyarakat, banyak perusahaan lain yang berbisnis dengan Evergrande. Korporasi yang terlibat itu meliputi perusahaan konstruksi, desain hingga pemasok material. Gagal bayar ini tentunya akan berdampak pada risiko kerugian sektor lain hingga kebangkrutan massal.

 

Ketiga, dampak negatif terhadap sistem keuangan China. Evergrande dilaporkan telah berutang kepada sekitar 171 bank domestik dan 121 perusahaan keuangan lain.

 

Dari sisi iklim investasi, mega-kasus Evergrande ini juga dinilai dapat membuat sinyal negatif terhadap para pemodal. China bisa dianggap sebagai negara yang tidak mampu memberikan kepastian usaha dan tempat yang kurang menarik untuk menaruh uang para investor.

 

Alhasil, risiko kejatuhan yang memiliki imbas sangat serius ini mendorong beberapa analis merekomendasikan Beijing untuk turun tangan memberikan bantuan. Akan tetapi, gagasan bailout ini tersebut bukan tanpa pertentangan. Sebaliknya, mereka yang menyerukan anti-bailout menilai Evergrande tidak boleh bergantung pada dana talangan pemerintah dan harus bisa mengurus dirinya sendiri. Langkah bailout hanya akan memberikan preseden buruk bagi perusahaan lain.

 

***

 

Kasus Evergrande mengingatkan kejadian serupa 14 tahun silam ketika terjadi ledakan kredit macet hipotek murah (subprime mortgage) di Amerika Serikat pada pertengahan 2007. Sebagai imbas dari krisis pada saat itu, gagasan dana talangan pun muncul untuk tidak membiarkan nama-nama bank papan atas kelas dunia pailit begitu saja.

 

Too big to fail adalah istilah yang menjadi kalimat perdebatan di AS menjelang kejatuhan Lehman Brothers, bank investasi terbesar keempat di AS (setelah Goldman Sachs, Morgan Stanley, dan Merrill Lynch). Bank yang berusia 158 tahun ini dinilai perlu mendapat uluran pemerintah karena begitu besarnya efek berantai yang bisa timbul jika ditutup.

 

Program bailout ini tidak diberikan begitu saja kepada Lehman dan bank-bank lain, tetapi terlebih dulu diwajibkan mengikuti stress test. Uji daya tahan itu bertujuan untuk mengukur risiko yang muncul bila krisis berlarut-larut.

 

Uji ini merupakan bagian dari episode program bailout yang kala itu diluncurkan pada kuartal III/2008 untuk membeli aset dan ekuitas dari institusi keuangan yang dibantu. Dalam program itu, Pemerintah AS mengalokasikan kocek US$700 miliar untuk menjaga kepercayaan pasar dan mencegah kejatuhan pasar lebih dalam.

 

Lagi-lagi, silang pendapat pun menyeruak karena dana talangan yang digunakan berasal dari publik. Sebagian elemen masyarakat menegaskan program pinjaman sementara, bantuan, talangan atau apa pun itu namanya, dianggap memiliki konsekuensi negatif karena sumber dana yang digunakan berasal dari rakyat.

 

Para senator bahkan mengkritik istilah too big to fail sebagai kebijakan yang merugikan para pembayar pajak. Kebijakan itu dianggap preseden buruk karena seakan negara membiarkan pebisnis melenggang dari risiko bisnis.

 

US Federal Deposit Insurance Corp (FDIC), semacam lembaga penjamin simpanan di AS juga berteriak lantang kepada pemerintah untuk mengakhiri penggunaan istilah too big to fail. Lembaga khawatir ungkapan ini bisa membuat perbankan terlena dan merasa akan selalu dilindungi.

 

Sikap tegas FDIC itu tidak lepas dari kritik pedas karena pemerintah memakai uang pembayar pajak untuk menyuntik institusi keuangan. Dalam perkembangannya, FDIC meminta pemerintah fokus kepada pengawasan agar bank yang mendapat bailout kembali sehat dan bisa mengembalikan dana talangan.

 

Dan pada akhirnya, krisis subprime mortgage yang semula terjadi di Negeri Paman Sam itu akhirnya menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru dunia. Tak ayal, perekonomian dunia akhirnya ikut terpapar dan ikut merasakan pelemahan.

 

***

 

Di Indonesia, ungkapan too big to fail juga pernah menggema dan mengingatkan pada kasus Bank Century dalam memutuskan kebijakan dana talangan sebesar Rp6,7 triliun. Akan tetapi, istilah yang dipakai saat itu adalah risiko sistemik.

 

Secara definisi, risiko sistemik merupakan risiko gangguan terhadap layanan keuangan yang disebabkan menurunnya fungsi seluruh atau sebagian sistem keuangan dan berpotensi berdampak negatif bagi perekonomian. Risiko sistemik itu dapat timbul dan menyebar cepat jika terdapat hubungan saling terkait antar elemen sistem keuangan.

 

Bagi pemerintah, ancaman risiko sistemik itulah yang dijadikan alasan berani mengucurkan suntikan dana Rp 6,7 triliun. Tujuannya, agar kegagalan bank ini jika ditutup tidak menimbulkan risiko sistemik, yakni merembet ke bank-bank lain sehingga membuat sistem keuangan runtuh.

 

Akan tetapi dalam hasil auditnya Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan pemerintah tidak memberikan informasi sesungguhnya secara lengkap pada saat menyampaikan Bank Century sebagai bank gagal—yang ditengarai berdampak sistemik—kepada Komite Stabilitas Sektor Keuangan.

 

Meskipun kasus Bank Century menjadi perdebatan pada waktu itu, lembaga tinggi negara tersebut menilai Bank Indonesia dan KSSK belum memiliki kriteria terukur dalam menetapkan dampak sistemik. Dalam hasil auditnya BPK juga menyebutkan proses penanganan bank tersebut kepada Lembaga Penjamin Simpanan tidak dilakukan berdasarkan data kondisi bank yang lengkap serta tidak berdasarkan pada kriteria terukur.

 

Pada akhirnya, kasus Bank Century menjadi bola panas setelah mantan gubernur Bank Indonesia dan sejumlah orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Keputusan penyelamatan tersebut menimbulkan kontroversi atas layak tidaknya bank ini diselamatkan. Salah satu kontroversi yang mencuat adalah soal dampak sistemik tidaknya bank ini ketika bail out dilakukan.

 

Kembali ke peristiwa Evergrande. Meskipun beberapa analis menyatakan kasus ini tidak akan membuat kejatuhan parah seperti Lehman Brothers pada, Bagaimanapun berulangnya kasus gagal bayar korporasi besar seakan memberikan peringatan betapa rapuhnya sistem keuangan dunia, bahkan di negara-negara maju sekalipun.

 

Peristiwa tersebut sekaligus seakan menunjukkan kepada siapapun bahwa kebijakan akselerasi pembangunan yang dihasilkan dari sistem keuangan modern ternyata tidak bisa lepas dari risiko kejatuhan beruntun.

 

Perusahaan yang ukuran, kompleksitas, keterkaitan, dan fungsi kritisnya yang begitu besar, memiliki risiko yang tak kalah besar bila secara tak terduga dilikuidasi. Dampaknya tentu saja dapat mengganggu sistem keuangan dan perekonomian suatu negara yang kawasan sehingga pemerintah perlu memberikan dukungan kepada perusahaan yang masuk dalam kriteria too big to fail.

 

Akan tetapi, keputusan itu harus dilakukan bukan karena pilih kasih apalagi motif mencari keuntungan, tetapi karena otoritas menyadari bahwa ada konsekuensi yang lebih luas terhadap perekonomian.

 

Sumber :  https://bisnisindonesia.id/article/ekspresi-kasus-evergrande-terlalu-besar-untuk-gagal

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar