Konflik
Panjang Sri Mulyani dan Bakrie, dari Lapindo hingga BLBI Felix Nathaniel ; Jurnalis Tirto |
TIRTO.ID, 21 September 2021
Sri Mulyani
Indrawati menggambarkan bagaimana hubungannya dengan Aburizal Bakrie pada
2009 lalu kepada Wall Street Journal. Ketika itu ia menjabat menteri keuangan
era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak 2005, posisi yang
ditempati lagi di masa Joko Widodo mulai 2016. Sementara Ical, panggilan
Aburizal, saat itu berstatus Ketua Umum Partai Golkar. Dua tahun
sebelumnya, Sri Mulyani mengatakan hendak memaksimalkan pendapatan negara
terutama dengan menggenjot perusahaan-perusahaan untuk melunasi pajak.
Pekerjaan rumah agar hal itu dapat terjadi adalah menciptakan pemerintahan
yang bersih dan akuntabel. Menurutnya, perusahaan bisa santai tak melunasi
pajak karena mereka terlibat kongkalikong dengan petugas. “Saya harus
membenahi kantor pajak dulu sebelum bisa menyalahkan pihak lain,” katanya.
“Banyak orang [Indonesia] berpikir akan mudah untuk negosiasi [dengan petugas
pajak] dan membayar suap.” Dalam konteks
itu, pada akhir 2009 Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengungkap
tiga nama perusahaan tambang yang mengemplang pajak sampai Rp 2,1 triliun.
Perusahaan tersebut adalah PT. Kaltim Prima Coal, PT. Bumi Resources Tbk.,
dan PT. Arutmin Indonesia, yang semuanya berada dalam naungan Bakrie Group.
“Tekniknya bermacam-macam. Intinya tidak melaporkan penjualan sebenarnya,
biayanya,” kata Tjiptardjo, mengutip Tempo. Ada yang
menduga temuan ini adalah serangan dari Sri Mulyani kepada Ical yang ketika
itu sudah ramai diberitakan tengah berseteru. Sri Mulyani tidak mau
berkomentar apa pun terkait temuan ini, sementara Tjiptardjo membantah dugaan
tersebut. “Pisahkan dengan politik,” katanya. Setahun
sebelum ramai soal pengemplangan pajak, Sri Mulyani dan Ical juga berselisih
tentang penjualan saham. Ical, yang
masuk dalam jajaran 40 orang terkaya Indonesia versi Forbes dengan harta 850
juta dolar AS saat itu, tiba-tiba kelimpungan karena terjadi krisis finansial
skala dunia subprime mortgage yang berawal dari macetnya pembayaran perumahan
di Amerika Serikat. Bursa saham di Indonesia terdampak, pun dengan salah satu
perusahaan Bakrie Group, PT. Bumi Resources Tbk atau PT. BUMI. Saham mereka
rontok, dari sekitar Rp8.000-an selembar menjadi hanya Rp425. Perusahaan
Bakrie lain juga terkena masalah, seperti PT. Bakrie & Brothers Tbk
(BNBR), PT. Bakrieland Development Tbk (ELTY), PT. Bakrie Sumatera
Plantations Tbk (UNSP), PT. Bakrie Telecom Tbk (BTEL), dan PT. Energi Mega
Persada Tbk (ENRG). Sri Mulyani
mengatakan Ical kesal karena dia menolak menutup perdagangan ketika harga
saham Bakrie Group tengah jatuh. Ketika Bursa Efek Indonesia (BEI) mengatakan
akan membuka kembali perdagangan, ada intervensi dari pemerintah agar itu
tidak terjadi. BEI enggan mengungkap siapa “pemerintah” yang melakukan campur
tangan, tapi Sri Mulyani menyebut sosok itu tak lain adalah Ical. Daftar
keributan bertambah panjang ketika pada Agustus 2008 Departemen Keuangan
meminta Imigrasi mencekal 14 pengusaha batu bara, termasuk petinggi di Grup
Bakrie, karena menunggak pembayaran royalti kepada negara. Selama 7 tahun,
utang itu mengendap hingga Rp3,9 triliun. Masih pada
tahun yang sama, Sri Mulyani yang ketika itu menjabat Pelaksana Tugas Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian menolak manuver Bakrie yang hendak membeli
14% saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara. Sri Mulyani memilih
memprioritaskan perusahaan negara PT. Aneka Tambang untuk mendapat saham
tersebut. Perusahaan itu tidak kuat menyetor modal dan pada akhirnya Bakrie
berhasil mendapat 75% dari 14% saham tersebut. Ditarik jauh
ke belakang, pada 2006 Sri Mulyani sudah sedikit menyentil Ical karena kasus
luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo. Sri Mulyani tidak mau uang negara
digunakan untuk mengganti rugi kesalahan swasta. Pada akhirnya APBN 2006
memang disisihkan untuk membantu korban terdampak kelalaian tersebut, tapi
tetap saja setidaknya Bakrie harus merogoh kocek Rp4 triliun. Panas Dingin di Century Di antara
sekian banyak perseteruan, barangkali yang paling bernuansa politik adalah
perkara Bank Century. Kasus ini juga bisa dibilang pukulan paling kuat dari
kubu Bakrie kepada Sri Mulyani. Bank Century
yang bermasalah mendapat kucuran dana Rp6,7 triliun dari pemerintah karena
dianggap jika tidak dibantu mereka bakal memberikan dampak sistematis
terhadap perbankan. Sebagai Menkeu sekaligus Ketua Komite Stabilitas Sistem
Keuangan (KSSK) kala itu, Sri Mulyani tentu berperan penting dalam menetapkan
Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistematis. Keputusan
tersebut belakangan membuat Sri Mulyani jadi bulan-bulanan para politikus.
DPR kemudian membentuk panitia khusus (pansus) hak angket Century untuk
investigasi lebih lanjut. Kebijakan ini dianggap keliru, sementara Sri
Mulyani bersikeras itu “adalah benar untuk negara.” Sri Mulyani
heran karena dalam rapat kerja dengan DPR pada Februari 2009 kasus Century
tidak dibahas sama sekali, tapi tiba-tiba saja dipermasalahkan pada Agustus
2009, sebelum rapat kerja lagi antara DPR dengan Kementerian Keuangan. Menurut Sri
Mulyani, pembentukan pansus adalah usaha lawan politik untuk menjungkalkan
dirinya dari posisi Menteri Keuangan. Lebih jauh, Sri Mulyani menuding Ical,
saat itu Ketua Umum Partai Golkar, adalah otak di balik pembentukan hak
angket. Dalam konteks inilah pernyataan “Aburizal Bakrie is not happy with
me” keluar. Dalam kesempatan yang sama dia juga mengatakan bahwa “tidak
berharap seorang pun di Golkar akan adil atau baik kepada saya.” Ada pihak yang
menganggap bahwa pembentukan pansus memang hanya upaya Ical “membereskan
masalah” bernama Sri Mulyani Indrawati. Sementara seorang politikus bilang “
Ical menyuruh menyerang Sri Mulyani dari belakang.” Tempo
mengungkap ada pertemuan antara Ical dengan Maruarar Sirait (PDIP), Bambang
Soesatyo (Partai Golkar), Andi Rakhmat dan Misbakhun (PKS), Chandra Tirta
Wijaya (PAN), Lily Wahid (PKB), Kurdi Moekri (PPP), dan Akbar Faisal (Partai
Hanura). Sembilan orang ini, kata mereka, “yang sejak awal getol” menuding
bahwa ada masalah dengan bailout Rp 6,7 triliun Bank Century. Semua yang
hadir ditunjuk fraksi sebagai anggota pansus. “Dalam
pertemuan di rumahnya, Aburizal segera menegaskan dukungannya,” catat Tempo. Ical tentu
membantah semua tudingan. “Rumornya memang begitu, tapi itu cuma rumor. Yang
jelas, kasus Bank Century adalah masalah nasional yang harus jelas kasusnya,”
katanya. “Jadi tidak ada dendam. Itu cuma rumor.” Sebelum
pertemuan pansus, Tempo mencatat sebenarnya Presiden SBY meminta Sri Mulyani
menemui Ical di kediamannya di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Tujuannya agar
Partai Golkar tidak memberikan dukungan terhadap pembentukan pansus. Seorang
Politikus Partai Golkar, Harry Azhar, mengaku mendengar kabar bahwa SMI
sampai mencium tangan Ical agar permintaan SBY terkabul. Dipaksa Mundur Hingga Serangan Balik Pansus Century
akhirnya dibentuk pada 1 Desember 2009. Setelah pansus berjalan, DPR dan Ical
mendorong agar Sri Mulyani diberhentikan sementara dari jabatannya. Tak heran
jika asumsi bahwa semua ini hanya usaha politik “untuk mengusir dua teknokrat
(SMI-Boediono)” semakin menguat. Dua orang itu punya banyak musuh di kalangan
anggota DPR cum pebisnis. Vishnu Juwono,
kala itu asisten profesor bidang Administrasi Publik di Universitas
Indonesia, mengatakan SBY selama periode pertama “menggunakan teknokrat sebagai
proksi untuk membendung pengaruh oligark yang punya pengaruh politik dan
menumbuhkan kredibilitas internasional bagi kebijakan ekonominya.” Tapi SBY
akhirnya harus memilih. Karena dekat dengan Ical, apalagi Partai Golkar
adalah salah satu kekuatan politik besar di parlemen, SBY memilih mendepak
Sri Mulyani. Detik melaporkan–berdasarkan sumber anonim dari Partai
Golkar–SBY sepakat dengan Ical untuk mencopot Sri Mulyani. Posisinya
kemungkinan akan diganti oleh Anggito Abimanyu–kendati pada akhirnya diganti
oleh Agus Martowardojo. Tapi secara
resmi Sri Mulyani tidak dipecat. Ia menyatakan diri mundur untuk menerima
jabatan baru sebagai salah satu Direktur Bank Dunia. Bertahun-tahun kemudian
SBY mengatakan Sri Mulyani adalah “ekonom terbaik yang kita pinjamkan ke Bank
Dunia.” Posisi baru
Sri Mulyani memang bergengsi, tapi bagi sebagian orang itu tetap saja
merupakan bentuk kekalahan dan kematian kaum reformis. SMI dianggap sebagai
simbol harapan agar negara lebih bertaji menagih pajak dari pengusaha-pengusaha
yang selama ini mengemplang pajak. Dalam
tulisannya di WSJ, Hal Hill, profesor di Universitas Nasional Australia,
menulis mundurnya Sri Mulyani bukan perkara sepele. “Itu menunjukkan kepada
kita di mana kekuatan negeri ini berada,” katanya. Keresahan sebagian orang
Indonesia yang kehilangan Sri Mulyani digambarkan dengan sangat baik oleh
Hill. Baginya, “reformis macam Sri Mulyani sangat jarang di negara
berkembang” dan “Indonesia akan lebih miskin karena kepergiannya.” “Kaum reformis
yang lain juga akan lebih berhati-hati. Mereka mungkin berkesimpulan: jangan
mencari masalah dengan orang paling berpengaruh di Indonesia, terutama ketika
kepentingan bisnis mereka ikut disenggol,” catat Hill lagi. Setelah Sri
Mulyani pergi, pengusutan kasus Bank Century tidak lagi berjalan intensif.
Meski dalam laporan terakhir yang dibacakan pada Maret 2010 pansus
menyimpulkan bahwa “mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono serta mantan
Ketua KSSK Sri Mulyani serta pemilik dan manajemen Bank Century dipandang sebagai
pejabat dan pihak-pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus Bank
Century,” kedua orang itu tak ada yang dituntut tanggung jawab. KPK juga telah
memproses kasus ini pada 2012 dan sempat memanggil Sri Mulyani, namun dia
lolos dari segala tuduhan. Komisi antirasuah hanya menetapkan Budi Mulya
selaku Deputi Gubernur BI Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa serta Siti
Chalimah Fadjrijah sebagai Deputi Gubernur BI Bidang VI Pengawasan Bank Umum
dan Bank Syariah sebagai tersangka. Kasus ini kemudian tak dilanjutkan lagi. Terulang Kembali Sejarah
panjang konflik Sri Mulyani dengan Bakrie ternyata belum berakhir. Pada 2020,
Sri Mulyani menagih utang PT. Lapindo milik Bakrie sebesar Rp 773,78 miliar. Kemudian,
belum lama ini, pada September 2021, giliran perkara Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) yang dijadikan alasan untuk menyasar keluarga Bakrie. BLBI adalah
bantuan dari pemerintah untuk bank yang mengalami masalah saat krisis moneter
1997-1998. Sebagaimana skema bantuan, uang tersebut haruslah dikembalikan ke
negara. Tapi sampai sekarang belum juga dilunasi. Satgas BLBI,
yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021, baru-baru ini
memanggil dua anggota keluarga Bakrie, yakni Nirwan Dermawan Bakrie dan Indra
Usmansyah Bakrie, yang termasuk obligor (penerima utang) BLBI, untuk melunasi
utang yang jumlahnya mencapai Rp22,7 miliar. Dengan
perkembangan terbaru ini, kita mungkin akan kembali melihat drama perseteruan
antara kedua belah pihak untuk kesekian kali. ● |
Sumber : https://tirto.id/konflik-panjang-sri-mulyani-dan-bakrie-dari-lapindo-hingga-blbi-gjEz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar