Standar
Pendidikan yang Memberdayakan Anindito Aditomo ; Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen
Pendidikan Kemendikbud-Ristek |
MEDIA INDONESIA,
21 September 2021
SEJAK
berlakunya UU Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional, Indonesia
menganut rezim pendidikan berbasis standar. UU tersebut memandatkan adanya
penjaminan mutu yang mengacu pada delapan komponen standar nasional
pendidikan. Setelah hampir dua dekade, sudah saatnya kita merefleksikan
dampak dan relevansi dari rezim pendidikan berbasis standar ini. Banyak bersekolah, sedikit belajar Secara
kelembagaan, penjaminan mutu yang diamanahkan UU 20/2003 mulai menemukan
bentuk pada 2005. Melalui Peraturan Pemerintah 19/2005, pemerintah membentuk
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang bertugas merumuskan standar
nasional pendidikan dan melaksanakan ujian nasional. Standar
nasional yang dirumuskan BSNP punya peran strategis karena menjadi acuan
berbagai kebijakan penting seperti kurikulum, pemenuhan sarana-prasarana, dan
tata kelola guru. Standar tersebut juga menjadi acuan bagi akreditasi
sekolah/madrasah oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN), dan bagi pemetaan mutu
yang dilakukan pemerintah. Bagaimana
potret kualitas pendidikan di Indonesia semenjak penerapan sistem penjaminan
mutu berbasis standar nasional pendidikan? Secara singkat dapat dikatakan
bahwa sistem pendidikan kita berhasil membuka akses pada bangku sekolah,
tetapi belum berhasil memberi pengalaman belajar yang berkualitas. Hal ini
terlihat jelas dari data PISA, survei tiga tahunan yang mengukur literasi
membaca, matematika, dan sains murid berusia 15 tahun di berbagai negara.
Indonesia telah mengikuti survei ini sejak 2000 sampai siklus terakhir pada
2018. Dalam kurun waktu tersebut, skor rata-rata murid Indonesia praktis
tidak berubah secara signifikan. Pada 2018, masih ada lebih dari 70% murid
yang belum memiliki literasi yang cukup untuk berpartisipasi secara efektif
dalam masyarakat modern. Data ujian
nasional juga memperlihatkan bahwa pemahaman murid atas materi kurikulum
tidak mengalami peningkatan dan bahkan cenderung menurun. Sebagai ilustrasi,
skor rata-rata bahasa Indonesia SMP/MTS hanya meningkat dari 62,3 pada 2005
menjadi 69,2 pada 2014. Pada kurun waktu yang sama, skor matematika justru
menurun dari 65,4 menjadi 61,5. Setelah penerapan UN berbasis komputer (sejak
2015), skor UN mengalami penurunan tajam untuk semua mata pelajaran. Hal ini
terjadi pada sekolah/madrasah baik yang menggunakan UN berbasis komputer
maupun yang masih ujian tertulis (kertas). Artinya, penurunan ini bukan
akibat perubahan moda ujian. Dalam
melengkapi hal ini, analisis para peneliti RISE juga memperlihatkan bahwa
banyak murid naik kelas tanpa mengalami peningkatan kemampuan numerasi. Dalam
makalah yang baru saja terbit di International Journal of Educational
Development, para peneliti tersebut menemukan bahwa selama periode 2000
sampai 2014, kompetensi matematika murid justru mengalami penurunan
signifikan. Sebagai ilustrasi, skor rata-rata murid kelas 7 pada 2014 hanya
setara dengan skor rata-rata murid kelas 4 pada 2000. Data-data di
atas menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia tampaknya banyak bersekolah,
tetapi sedikit belajar. Potret buram ini tidak menjadi lebih cerah setelah
pendidikan kita menerapkan penjaminan mutu berbasis standar nasional selama
lebih dari 15 tahun. Korelasi antara standar dan kualitas Tentu, ada
banyak faktor yang turut membuat kualitas pendidikan kita jalan di tempat.
Mulai rumitnya tata kelola sampai persoalan distribusi dan kompetensi guru.
Namun, rezim penjaminan mutu berbasis standar juga berkontribusi dalam
stagnannya kualitas pendidikan. Hal itu tampak dari lemahnya korelasi antara
pemenuhan standar nasional dan hasil belajar murid. Setidaknya,
ada dua data yang mencerminkan pemenuhan standar nasional. Pertama ialah
akreditasi sekolah/madrasah yang dilakukan oleh BAN. Kedua ialah survei
pemetaan mutu pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Data BAN
menunjukkan bahwa hanya sekitar 5,5% SD/MI, 3,4% SMP/MTs, dan 3,5% SMA/MA
yang terakreditasi A atau B pada 2010. Pada 2015, jumlahnya berlipat menjadi
sekitar 35% untuk SD/MI, 33% untuk SMP/MTs, dan 28% untuk SMA/MA. Pada 2020,
sekolah/madrasah yang terakreditasi A atau B telah mencapai sekitar 80% untuk
SD/MI, 71% untuk SMP/MTs, dan 73% untuk SMA/MA. Berlipat gandanya
sekolah/madrasah yang memenuhi standar nasional sangat kontras dengan
stagnannya hasil belajar murid pada kurun waktu yang sama. Gambaran
serupa juga tampak pada data pemetaan mutu oleh pemerintah pusat. Peta mutu
yang dihasilkan mencerminkan pemenuhan standar nasional pada tingkat
sekolah/madrasah dan daerah. Peta mutu tersebut ternyata tidak sinkron dengan
hasil ujian nasional. Daerah-daerah dengan peta mutu yang bagus belum tentu
memiliki skor ujian nasional yang tinggi. Beberapa daerah yang peta mutunya
unggul justru jeblok dalam ujian nasional. Lemahnya korelasi
antara pemenuhan standar dan kualitas hasil belajar sebenarnya tidak terlalu
mengejutkan. Baik borang akreditasi maupun borang pemetaan mutu cenderung
mereduksi kualitas pembelajaran menjadi urusan format dan kelengkapan
dokumen. Sebagai
contoh, untuk mengukur kualitas pembelajaran, yang dilihat ialah dokumen
silabus dan rencana pembelajaran. Sekolah/madrasah harus menunjukkan bahwa
dokumen silabusnya sudah memuat semua komponen yang diwajibkan standar.
Sekolah juga diminta menunjukkan bahwa dokumen rencana pembelajaran sudah
lengkap dan selalu divalidasi kepala sekolah. Padahal, kelengkapan dokumen
tidak mencerminkan pengalaman belajar yang dirasakan murid. Borang
akreditasi dan pemetaan mutu juga banyak berfokus pada pemenuhan standar
sarana/prasarana serta pembiayaan. Misalnya, sekolah harus melaporkan apakah
jumlah dan ukuran ruang kelas, ruang guru, dan ruang pimpinan mereka sudah
sesuai dengan ketentuan. Sampai tahun lalu, sekolah/madrasah dianggap baik
jika ruang kepala sekolahnya berukuran minimal 12 meter persegi, dan ruang
gurunya 32 meter persegi. Kaitan antara ukuran ruangan dan kualitas
pembelajaran tentu layak dipertanyakan. Di sisi lain,
pemenuhan standar terkait dengan hasil belajar hanya diukur secara sepintas
lalu. Misalnya, salah satu butir dalam borang akreditasi meminta kepala
sekolah/madrasah melaporkan persentase siswa yang 'memiliki pengetahuan: (1)
faktual, (2) konseptual, (3) prosedural, (4) metakognitif dalam setiap tema'.
Butir lainnya meminta laporan tentang persentase guru yang 'mengembangkan
perangkat pembelajaran pada kompetensi sikap sosial siswa'. Sulit
membayangkan ada kepala sekolah/madrasah yang mengaku gagal dalam
mengembangkan pengetahuan dan karakter muridnya jika pengakuan itu berpotensi
merugikan sekolah/madrasahnya. Nuansa
administratif, dalam pemenuhan standar, juga diungkap pemimpin sekolah
inovatif dari seluruh Nusantara yang diundang untuk memberi masukan kepada
Kemendikbud-Ristek. Mereka menyatakan bahwa para asesor akreditasi kerap
lebih peduli pada bukti berupa kelengkapan dokumen dan kesesuaian format,
daripada melihat kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar murid. Sebagai
ilustrasi, salah satu kepala sekolah tersebut bercerita bahwa para guru di
sekolahnya rutin berkolaborasi dalam menyusun rencana pembelajaran. Namun,
praktik baik itu tidak diterima sebagai indikator kualitas pembelajaran,
semata-mata karena dokumennya tidak disertai dengan daftar hadir. Akibatnya,
kegiatan penjaminan mutu justru dirasa sebagai kerepotan administratif yang
tidak berdampak pada peningkatan mutu. Mencari standar yang memberdayakan Dampak buruk
pendidikan berbasis standar sebenarnya sudah lama disuarakan para kritikus.
Menurut mereka, standar mengabaikan keunikan konteks dan kebutuhan, baik di
tingkat individu murid maupun sekolah dan daerah. Sebuah metode belajar yang
efektif untuk seorang murid belum tentu cocok untuk murid yang lain. Sebuah
strategi perubahan yang berhasil di satu sekolah mungkin tidak cocok untuk
sekolah lain. Standardisasi
juga dikatakan memiskinkan inisiatif guru dan kepala sekolah. Standar yang
rinci tentang isi kurikulum dan tujuan pembelajaran membatasi guru dalam
menerapkan otoritas profesionalnya sebagai pendidik. Adanya ujian nasional
dan ujian sekolah berstandar nasional lebih tegas lagi menyatakan bahwa guru
harus tunduk pada pemerintah dalam menentukan kelulusan murid mereka. Kritik-kritik
tersebut ada benarnya. Namun, dari perspektif praktis, standar diperlukan
sebagai acuan untuk merumuskan arah kebijakan. Standar juga diperlukan,
sebagai landasan evaluasi keberhasilan (atau kegagalan) sistem pendidikan.
Tidak adanya standar juga berbahaya karena dapat menyamarkan kesenjangan dan
melanggengkan praktik buruk yang merugikan murid. Singkat kata, pengelolaan
pendidikan memerlukan standar yang jelas. Karena itu,
pertanyaannya bukan apakah standar masih diperlukan. Yang perlu dirumuskan
adalah standar yang tidak sekadar mendorong tertib administrasi, tetapi juga
memberdayakan dan memantik inovasi. Yang harus dicari ialah standar memberi
ruang bagi guru untuk mengambil keputusan profesional demi kemajuan belajar
murid mereka. Dengan demikian, mekanisme penjaminan mutu dapat benar-benar
mendorong perbaikan mutu. Pemerintah
telah memulai upaya ini dengan menerbitkan PP Nomor 57/2021 tentang Standar
Nasional Pendidikan, yang semangatnya ialah mengurangi sifat administratif
dan menguatkan orientasi pada pembelajaran. Selain itu, Kemendikbud-Ristek
akan menerapkan asesmen nasional yang dirancang untuk memetakan mutu serta
mendorong sekolah/madrasah, dan pemda, berpikir lebih serius tentang cara
meningkatkan kualitas dan mengurangi kesenjangan. Dengan semangat yang sama,
BAN juga tengah merevisi mekanisme dan instrumen akreditasinya. Tentu, ini
baru langkah-langkah awal. Masih banyak yang perlu dilakukan oleh pemerintah
dan masyarakat untuk bersama-sama memperbaiki sistem penjaminan mutu
pendidikan. Yang jelas, melanjutkan tanpa melakukan perubahan mendasar bukan sebuah pilihan". ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/opini/434053/standar-pendidikan-yang-memberdayakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar