Kebenaran
Konsensus Agama Lukas Luwarso ; Jurnalis Senior, Kolumnis |
WATYUTINK, 17 September 2021
Fanatisme
berlebihan terhadap agama harus dihindari, sebab semua agama benar di mata Tuhan. Pernyataan ini bukan
dilontarkan agamawan, tapi dikemukakan Panglima Komando Cadangan Strategis
Angkatan Darat (Pangkostrad), Letjen TNI Dudung Abdurrachman. Lontaran
yang ditujukan pada jajarannya, di acara internal TNI AD. Pesan ditujukan
kepada prajurit TNI AD agar lebih bijak bermedia sosial, khususnya menyangkut
ekspresi keyakinan agama. Namun pernyataan yang terekspose media itu segera
mengundang pro-kontra. Yang kontra menganggap petinggi militer tidak perlu
berbicara urusan agama, karena bukan wilayahnya. Tentara sebaiknya bicara
soal teknis militer dan isu pertahanan. Yang
setuju, tentu mendukung pernyataan jenderal yang mengajak sikap toleransi
beragama. Fanatisme berlebihan, dalam hal apapun tidak akan baik, tak
terkecuali dalam urusan beragama. Apalagi jika ekspresi fanatisme itu diumbar
ke ruang publik, atau untuk menilai dan menghakimi kepercayaan agama lain. Lazimnya,
agama mengajarkan kedamaian, harmoni, sikap menahan diri, dan toleransi.
Dalam konteks itu pernyataan normatif Pangkostrad valid dan patut didukung.
Khususnya ketika beberapa tahun terakhir semakin marak ekspresi fanatisme
agama yang cenderung merusak harmoni sosial, baik secara verbal maupun aksi
kekerasan. Aspek
lain pernyataan Pangkostrad yang dipersoalkan adalah menyangkut poin “semua agama benar, sama di
mata Tuhan.” Pernyataan tautologis ini
juga benar. Bagi penganutnya, masing-masing agama adalah benar. Setidaknya
benar secara kontekstual, sebagai konsensus internal pemeluk agama tertentu.
Kebenaran ajaran satu agama tidak bisa dipersoalkan oleh penganut agama lain.
Kebenaran keyakinan hanya berlaku mengikat secara internal. Dengan
demikian, apakah kebenaran agama bersifat parsial, bukan universal? Ada
sejumlah aspek kebenaran universal agama, terkait prinsip-prinsip nilainya,
seperti sikap toleransi, harmoni, menahan diri, rendah hati, penghormatan
pada martabat manusia, dedikasi, dan pemujaan pada keagungan dunia spiritual.
Ini aspek inklusif agama. Perbedaan
dalam beragama seringkali bersifat superficial, simbolik atau ritual. Ini
aspek kebenaran parsial dan kontekstual agama yang erat kaitannya dengan
pengaruh budaya dan proses sejarah munculnya agama tertentu. Ini aspek
eksklusif agama. Dalam
kajian filsafat, kebenaran sedikitnya dapat dipilah menjadi beberapa
kategori. Kebenaran bisa berbasis korespondensi, koherensi, performatif,
konsensus, atau pragmatis. Berbasis lima kategori kebenaran (filosofis) itu,
Kebenaran agama tergolong dalam kebenaran konsensus. Artinya benar sejauh
konsensus pemeluknya. Dalam konteks konsensus inilah agama menjadi beragam,
memunculkan berbagai mazhab dan aliran bahkan dalam satu agama. David
Hume, filsuf empiris Inggris, dalam “The Natural History of Religion” (1757)
menyatakan bahwa keyakinan agama yang beragam sebenarnya tidak masalah.
Menjadi masalah saat fanatisme pada agama, yang ia istilahkan sebagai “teror
takhayul”, berlebihan manifestasinya. Fanatisme membuat pikiran manusia
terjerembab pada keyakinan buta, irasionalitas, dan degradasi hakekat
kemanusiaan. Keyakinan
agama yang dipenuhi klaim merasa paling benar, bagi Hume, akan mendegradasi
moral dan nilai-nilai kemanusiaan. Jika itu diekspresikan melalui kekerasan
verbal, apalagi fisikal. Sikap ini menegasikan “kebajikan kaum beriman”
(monkish virtue). Kebajikan yang mengutamakan norma kepasrahan, penebusan
kesalahan, rendah-hati dan pasif-suffering pada Tuhan. Menurut
Hume norma tersebut, jika berlebihan, bisa tidak kondusif bagi moralitas individu
yang fanatik, juga bagi harmoni publik. Di balik sikap submisif dan ketaatan
pada agama, ada dorongan sikap beriman yang intoleran dan merasa selalu dalam
ancaman (agama lain). Hal ini terbukti dari sejarah intoleransi dan kekerasan
agama. Pernyataan
Pangkostrad soal agama jelas lebih ditujukan pada praktik beragama. Spesifik
pada prajuritnya, yang pasti memiliki beragam latar belakang agama. Ia ingin
prajurit tetap kompak dan bersatu, menanggalkan agama sebagai wilayah privat.
Tidak mengumbar ekspresi keyakinannya di media sosial. Namun,
pesan tersurat Pangkostrad juga ingin menegaskan adanya masalah intoleransi
beragama, yang sering muncul belakangan ini di Indonesia. Keyakinan kebenaran
parsial -- kontekstual agama tidak akan menjadi soal jika tidak digunakan
untuk ekspresi verbal, pemaksaan, kekerasan, atau apalagi aspirasi politik
praktis. Karena,
di tangan manusia, apapun bisa menjadi persoalan, tak terkecuali pemahaman
agama. Agama bisa memiliki dua karakter: (1) sikap muram, geram, dan dogmatisme
yang menindas kreativitas dan kebebasan; (2) sikap jernih, tenang dan terbuka
yang mendorong pengabdian, introspeksi, dan kreativitas. Kaum
agamawan yang berpikiran tenang, terang, dan terbuka pasti sepakat dengan
ajakan bersikap toleran. Juga mempersoalkan dan berupaya membuang karakter
muram dan dogmatisme agama. Dan tidak akan mempersoalkan kebenaran pernyataan
normatif Pangkostrad. ● Sumber : https://www.watyutink.com/topik/berpikir-merdeka/Kebenaran-Konsensus-Agama |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar