Membaca
Adalah Memaknai dengan Menafsir Mudji Sutrisno ; Budayawan |
MEDIA INDONESIA,
30 September 2021
MEMBACA ialah
menafsir. Pokok ini saya tulis di buku saya berjudul Membaca Rupa Wajah Kebudayaan (Kanisius, 2014: 12 dst). Mengapa?
Karena manusia sebagai subjek ialah a
signifying actor, pemberi makna dari apa yang dilihatnya, yang dibacanya.
Ungkapan latinnya lebih bernuansa lagi karena jelas menunjuk kerja untuk
memberi makna dalam hidupnya. Manusia ialah homo significans: manusia yang memberi
makna atau arti dalam hidupnya. Dimanakah tempat beradanya makna itu? Tempat
pertama, makna yang dihurufkan oleh pengarang dari peristiwa kehidupan, dan
pengalaman hidupnya dalam aksara. Yang kedua, makna berada di perbandingan
antarteks yang ditafsir. Adapun yang ketiga, sediakah si penafsir dengan
sadar sebagai sikap untuk mau rendah hati, membuka cakrawala mata bacanya
pada semesta makna teks, hingga saling dibuahi, dalam peleburan cakrawala
(fusion of horizons) untuk menemukan makna baru. Gadamer-lah yang membuka
pemahaman tentang membaca merupakan kerja menafsir (Truth and Methods, 1980).
Dari sini,
dikenal adanya 2 cara membaca yaitu, membaca dari ‘dalam’ proses penulis teks
itu, yang disebut pendekatan ‘intrinsik’. Contohnya: bila mau mencari makna
teks sastra, dekati dan hampirilah dengan membaca melalui kode sastra tema
misalnya. Yang kedua, membaca dari luar (ekstrinsik), yang menafsir sastra
melalui ilmu-ilmu di luar teks sastra, misalnya sosiologi sastra, mendekati
sastra dengan maknanya dari ilmu sosiologi. Misalnya, religiositas yang
menyumbang toleransi keagamaan, dan perekat saling hormat melalui penokohan,
alur kisah dari novel sastra. Konsekuensinya,
secara logis kerja membaca teks bisa menafsir menurut makna (meaning)
penulisnya sebenar aslinya (value as quality of text’s meaning) atau kita
membacanya untuk menemukan kepentingan penulisan teks itu lewat disiplin ilmu
diluar teks. Contohnya, kepentingan ideologis teks sejarah dengan membongkar
relasi kuasa dengan hegemoni makna oleh penguasa dengan buku sejarah, demi
pembenaran atau legitimasi rezim penguasa dan bukan ‘makna’ pencerahan bagi
pencerdasan kehidupan bangsa. Karena itu,
bagaimana membaca secara benar? Gadamer menaruh proses baca membaca dengan
tafsir ini, hanya mungkin dilakukan melalui bahasa. Bahasa tulis yaitu teks
tulis, yang secara linguistik mengaksarakan (baca: pula menghurufkan)
komunikasi lisan, atau wacana dalam logika bahasa tulis menjadi teks secara
logis atau nalar. Bahasa Indonesia teknis penalaran ini, untuk pembuatan
kalimat yang bisa di mengerti punya nalar dan makna, bila berstruktur SPOK,
yaitu ada subjek, lalu predikat, kemudian objek dan keterangan. Secara
singkat: bahasa tulis adalah rumusan tertulis logis rasional untuk komunikasi
antarpelaku-pelaku dalam memaknai realitas hidup. Ketika tulisan
terlalu sistematis, rasional, ia cenderung kering dibaca. Karena itu
muncullah tulisan-tulisan yang dimuati makna imajinatif, kalimat-kalimat
bertobat inspiratif dan simbolik. Teks itu lalu ditambahi awalan kata sandang
‘su’ untuk ‘sastra’ jadilah susastra, yaitu bahasa tulis sastrawi yang
dimuati makna inspiratif dan disusun indah menjadi misalnya prosa susastra.
Ketika prosa, meski ditulis indah bertema, kurang mampu tuntas menuliskan pengalaman
merenungi hidup, atau pengalaman hidup penyair dalam naskah pujangganya, maka
ditulislah puisi liris, puisi kakawin ataupun puisi sunyi, saat nyanyi senyap
penghayatan hidup mau dituliskan dalam aksara. Bahasa tulis,
muncul dalam peradaban sesudah bahasa lisan setelah ditemukannya huruf-huruf
aksara yang dicetak melalui penemuan teknologi cetak. Karena itu, pertanyaan
yang melanjut adalah bagaimana membaca bahasa sebagai wacana atau lisan?
Seperti sudah dipapar di depan, membaca bahasa tertulis sebagai teks ialah
menafsirkannya menurut pokok makna saat teks ditulis. Maka, ada yang memberi
bingkai situasi hidup saat itu (sitz im leben), ada yang mengambil konsesnus
teks sebagai tempat atau lokasi tafsir makna, saat teks ditulis. Membaca bahasa
lisan, sebagai wacana dan tulisan, membawa kita pada Ferdinand de Saussure
yang merumuskan cara membaca bahasa sebagai ‘penanda’ (signifier), dan yang
ditandai atau ‘tinanda’ (signified). Yang pokok ialah dibangkitkannya
kesadaran pembaca untuk memahami bahasa sebagai kode tanda, dan sistem tanda
yang disepakati oleh komunitas bahasa mengenai maknanya, dan pilihan
semiotika sistem tandanya. Misalnya, dalam bahasa Inggris, kata mawar ditulis
dengan rose sedang dalam bahasa Indonesia ditulis sebagai mawar. Konsensus
makna berdasarkan alfabetisasi aksara, seturut konsensus pemakai bahasa, yang
dari penanda maupun yang ditandai, seakan sewenang-wenang dan simbolik
tandanya juga mesti masuk ke makna simbolik bahasa Indonesia. Misalnya, mawar
pertiwi, secara semiotika memuat makna simbolik harum wangi perempuan (yang
jadi pejuang seperti Cut Nyak Dien, menjadi pengharum Tanah Air karena
kegigihannya berjuang di Aceh untuk pertiwi). Proses menafsir Membaca yang
merupakan proses menafsir untuk memaknai itu, akan dicoba untuk membaca
buku-buku sejarawan peradaban manusia: Yuwal Noah Harari mutakhir yang kurun
dekade ini ramai ditafsir dan dibaca cendekiawan, mahasiswa lintas ilmu. Buku
pertama Sapiens: A Brief History of
Humankind (2014) dan dilanjutkan buku berikutnya Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2016). Keduanya menjadi
buku paling laku secara internasional, menjadi best seller yang terjual lebih dari 12 juta eksemplar. Hasrat untuk
ingin membacanya dan memaknai kedua buku ini, membuat buku-buku ini sampai
diterjemahkan ke lebih dari 45 bahasa. Lalu, apa maknanya untuk peradaban
manusia? Bagaimana akan dipraktikkan membaca ialah menafsirkan itu! Buku
Sapiens (2014) berisi narasi evolusi manusia dari sosok kera, terus
berkembang menjadi homo sapiens, jenis spesies yang paling berkuasa di bumi
karena akal budinya, yang menguasai semesta dengan mengolahnya dalam
teknologi, hingga menjadi satu-satunya penguasa di semesta ini dari masa lalu
puncak perkembangannya akalnya kini sebagai homo sapiens. Jenis spesies,
yang sejak dahulu memiliki kemampuan selalu mecipta narasi dengan
mitos-mitos, agama dan ideologi yang ia pakai untuk menjalani, mengolah dan
memaknai realitas hidupnya. Dua tahun setelah Homo Sapiens, terbitlah buku
Homo Deus (2016). Yang satu, homo sapiens dengan judul catatan ringkas
berbunyi: A Brief history of humankind,
yakni homo sapiens menelusuri deskriptif sejarah umat manusia, mencapai
tingkatan spesies tinggi semesta sebagai homo
sapiens. Buku kedua
diberi pula kilas sejarah pendek dari masa depan umat manusia sebagai Homo Deus: A Brief History of Tomorrow.
Memberi contoh bahwa membaca ialah menafsir dan menafsir itu memaknai
sehingga membaca merupakan kerja memaknai dari manusia sebagai homo
significans, sang pemberi makna hidupnya dan realitasnya dari homo sapiens
menjadi homo dues, yaitu manusia Tuhan. Homo Deus
mendeskripsi situasi aktual kini dengan tantangan-tantangan yang dihadapi
manusia. Terutama, setelah menjadi homo sapiens dengan masalah pokok, yaitu
krisis ekologi akibat penguasaan, dan pemercayaan pada fiksi kemajuan dan
modernitas, yang ternyata, menghancurkan semesta dan membuahkan distrupsi
teknologi, justru karena manusia menghayati diri dan memercayai narasi
fiksionalnya sebagai ‘Tuhan’, ya manusia-Tuhan. Tantangan semesta Fiksi besar
tantangan semesta, yang selalu dicipta sebagai kebutuhan menjalani hidup di
bumi, ciri khas watak dasar ‘sapiens’ untuk dipercayai ternyata krisis dengan
rusaknya alam, dan distrupsi teknologi. Lalu bagaimana manusia sebagai the
signifying actor atau homo significans melanjutkan hidup setelah menjadi
Tuhan: Homo Deus? Yuwal Noah Harari memberi panduan jawab dalam krisis narasi
ini, dalam bentuk pelajaran dan pertanyaan-pertanyaan mendasar berjumlah 21,
untuk abad ke-21 dalam buku berjudul 21 Lessons for the 21st Century (2018). Intinya
setelah narasi fiksi global dunia dalam ideologi fasisme, komunisme dan
liberalisme, yakni Perang Dunia II meruntuhkan fasisme, maka hanya tinggal
komunisme dan liberalisme sebagai narasi fiksional global. Itulah fase
sejarah perang dingin 1940-an sampai 1980 akhir, antara komunisme dan
liberalisme. Lalu, seperti lagu Wind of
Change (Scorpion) dengan diruntuhkannya simbol tembok Berlin, maka hanya
tinggal liberalisme yang mendominasi dunia sebagai pemenang. Ironinya,
menurut Yuwal, liberalisme membuahkan anomali dengan problem yang
bertentangan dengan semangat liberalisme sendiri, yaitu kembalinya fasisme
dan konservatisme. Persoalannya, ini tidak bisa diselesaikan dengan narasi
fiksional lokal seperti fundamentalisme agama, atau cita-cita ultra
nasionalis, yang menutup diri dari luar, semisal membuat lagi Amerika berjaya
saat Trump yang nostalgia dengan kejayaan Amerika 1950 dan 1980-an. Fundamentalisme
agama lokal dengan fiksi kebangkitan kembali sistem khilafah Islam, hingga
kekhalifahan dipercayai sebagai solusi untuk krisis demokrasi liberal. Harus
ditemukan bersama lagi narasi fiksi global (pandangan dunia global), sebagai
solusi untuk yang masalah global kini, yaitu krisis ekologi, ya krisis
kemanusiaan dan distrupsi teknologi, yang berdampak dahsyat pada ‘kesombongan
Homo Deus’ sebagai konsekuensi pengembangan iptek penguasaan alam dan bukan
penyejahteraan semesta dan manusia. Dari membaca
sekilas buku-buku Yuwal Noah Harari, terbaca jelas kaitan erat membaca dan
menafsir yang sejak awal tulisan ini sudah disorot. Richard J Bernstein (Hermeneutics and Its Anxieties dalam Dahlstrom (ed), Hermeneutics and the
Tradition, Washington DC, 1988, hlm58), menegaskan bahwa waktu kita ini
ialah abad intrepretasi, sebab pertanyaan mendasar tiap kebudayaan adalah
mengenai hakikat, strategi, dan konsekuensi-konsekuensi interpretasi. Makna
hermeneutika menarik saat abad ke-19 muncul soal watak dan hubungan antara
ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu kehidupan. Wilhelm Dilthey-lah yang mampu
menunjukkan ilmu-ilmu kehidupan/humaniora (Geisteswissenschaften) mempunyai
metode dan fungsi interpretasi yang kemudian bernama hermeneutika untuk
fungsi memberi pemahaman. Jadi, penelitian suku Baduy misalnya ialah ilmu
humaniora, yang membawa kita lebih memahami ada Baduy dalam dan Baduy Luar. Sebaliknya,
ilmu-ilmu kealaman (Naturwissenschaftler)
berfungsi memberi penjelasan, penerangan, misal: air yang dimasak sampai
100°C akan mendidih. Dalam tradisi Yunani kuno, istilah hermeneuein digunakan
dalam 3 makna, yaitu: a) mengatakan; b) menjelaskan; dan c) menterjemahkan.
Ini oleh Richard E Palmer, Hermeneutics, Northwestern University Press,
Evanston, USA, 1969, hal.13-14. Ditunjukkanlah tugas tafsir atau interpretasi
dalam 3 hal penting, yaitu oral
reaction = resitasi lisan; a
reasonable explanation = penjelasan yang masuk akal; dan a translation from another language =
terjemahan dari bahasa lain. Kebenaran koherensi Jadi, Dilthey
merumuskan hermeunetika, sebagai metodologi humanistik bagi ilmu-ilmu
kemanusiaan (humaniora). Metode pemahaman ini atau Verstehen dipandang
sebagai metode yang cocok untuk mengungkap kembali pengalaman dan pemikiran
pengarang secara autentik. (Bleicher, Contemporary Hermeneutics, London,
1980). Ketika
‘kebenaran pengetahuan’ (mengenai informasi, realitas, harap pengetahuan
dibaca sebagai hasil proses mengetahui sesuatu) sebagai bermakna, maka
dikenallah teori (baca+ abstraksi atas pengalaman ‘benar’ dalam rumusan
sistematis logis) kebenaran tradisional korespondensi, sebagai kesesuaian
antara makna yang diungkap sebuah pernyataan dengan faktanya, antara halnya
(Kattsoff, Element of Philosophy,
1954, diterjemahkan Soejono Soemargo, 1986, Pengantar Filsafat, Yogya, Tiara Wacana). Terus ada
teori kebenaran koherensi, yaitu sebuah pernyataan atau proposisi itu benar,
bila ia berada dalam kondisi berhubungan dengan proposisi lain, misal fakta
17 Agustus 1945 ialah hari Jumat, maka kebenaran ini harus dicari dalam
peristiwa, sumber orang atau teks yang koheren (berkait dengan) fakta itu. Teori
kebenaran pragmatis mengukur nilai/makna kebenaran pada manfaat praktis,
sedang benar sintaksis kalau pernyataan itu mematuhi aturan bahasa sintaksis
yang baku (di antara para filsuf bahasa) kebenaran fungsional bila memenuhi
fungsinya. Kebenaran logis bila pernyataan itu masuk akal sehat dan dapat
dibaca jalan nalar bernilai benar dan bisa diadu argumentasi dengan
rasionalitas. Dari membaca
buku Homo Sapiens, Homo Deus, dan 21 Lesson for 21st Century – nya
Yuwal Noah Harari, plus deskripsi makna dan nilai (teori) kebenaran, maka
masih ada satu kebenaran yang dipandang mutlak karena bersumber pada Kitab
Suci yang diimani atau diyakini sebagai sabda Allah, wahyu-Nya, yang hanya
bisa diiyakan dalam iman. Lalu, persoalan mendasar dan konklusi terbuka
tulisan ini berupa pertanyaan: siapa penentu makna benar yang paling tinggi
hierarkinya? Bila pemahaman
manusia kebenaran itu berjenjang, bertingkat-tingkat, berlapis-lapis seperti
simbolik piramida? Siapa penentu ini benar dan itu tidak benar di relasi
horizontal lawan dari vertikal piramida? Sudah kita baca sebagai homo
significan, kita manusia sebagai pemberi nilai makna (benar)nya, pada
buku-buku Noah Harari, jelas penulisnyalah yang punya power legitimasi
penelitian sejarahnya, mau menyatakan buku-bukunya itu bermakna dan bernilai
benar. Bila ada sanggahan, maka silakan otoritas subjek Anda sebagai pembaca
atau penanggap menuliskan bahkan membuat buku tanggapan, hingga, tesis Noah
Harari berhadapan dengan antitesis Anda akan membuahkan ‘sintesis’ yang makin
mencerahkan. Dalam
kesadaran tahu bahwa power atau
kuasa, untuk mengatakan ini benar, di situ masih harus dikritisi dengan
pertanyaan untuk kepentingan apa atau siapa buku-buku itu ditulis? Demi
pencerahan dan penyejahteraan masyarakat manusia atau demi kepentingan
‘penguasaan’ dan pemilikan? Dengan demikia,n dalam membaca sebagai menafsir
sebagai laku budaya (baca: memaknai demi peradaban) tantangan nyata di depan
kita adalah: pertama, konflik/benturan antara kepentingan versus ‘value’ atau
nilai? Antara kepentingan dominasi penguasaan semesta, melalui iptek yang
bersekongkol dengan kapital pasar, untuk menguasai hajat hidup semesta
manusia versus peradaban nilai pemanusiawian hidup bersama, lewat
pengembangan iptek demi peradaban. Tantangan
kedua, ketika kuasa penentuan kebenaran sudah menyebar (sejak diteliti Michel
Foucault dalam geneloginya), dan kini revolusi-revolusi digital komunikasi
penentu kebenaran ada di penguasaan-penguasaan medsos, yang tega menternakan
kebohongan atas nama pasca kebenaran (post
truth), yakni bila homo significans
tak mendasarkan diri lagi pada kewarasan akal sehat rasionalitas, tetapi pada
kemutlakan keyakinanku dan yang saya percayai sebagai benar, tanpa peduli
yang lain, maka di sini persoalan membaca dan menafsir dunia virtual dan
dunia maya digital menjadi PR kita semua, yang jalan keluar satu-satunya
ialah melalui pendidikan. Bukankah omo ialah cita-cita pendiri bangsa untuk
proses mencerdaskan kehidupan bangsa, yang dalam segitiga ‘instansi’ antara
masyarakat, pasar dan negara-lah diletakkan diskresi kebijakan yang humankind matters demi kesejahteraan
bersama. ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/opini/436425/membaca-adalah-memaknai-dengan-menafsir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar