Indonesia
dan Narasi Asia Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar FEB Universitas Brawijaya, Ekonom
Senior Indef, Deputi Pembangunan Ekonomi Sekretariat Wakil Presiden RI |
KOMPAS, 29 September 2021
Data
menarik ini tidak banyak diketahui publik. Pada 1700-1850, kontribusi Asia
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dunia nyaris mencapai 60 persen. Setelah
itu perekonomian Asia terus melemah dan puncaknya terjadi pada 1950 ketika
donasinya cuma tinggal 15 persen terhadap ekonomi global. Usai
tempo itu, aktivitas ekonomi Asia secara perlahan mulai menggelembung lagi.
Saat ini angkanya telah mendekati 40 persen, persis kembali ke masa dekade
1850-an. Proyeksi berikutnya, pada 2050 kontribusi ekonomi Asia akan menuju
periode emas tersebut (abad 18-19), di mana sumbangannya terhadap
perekonomian dunia mencapai 52 persen (Azis, 2021). Mencermati
perkembangan mutakhir rasanya kalkulasi itu akan menjadi kenyataan, karena
perekonomian Tiongkok, Jepang, India, Korsel, dan Indonesia terus merangsek
secara meyakinkan meninggalkan pertumbuhan ekonomi AS dan negara Eropa
lainnya. Pendeknya, saat ini merupakan abad Asia, di mana Indonesia merupakan
salah satu pemain vital. Geoekonomi politik global Penemuan
mesin uap dan listrik menjadi arang pembakar bergeliatnya revolusi industri.
Pembabakan masa revolusi industri memang tidak terlalu jelas, karena banyak
sumber yang memberikan periodesasi berbeda. Namun, zaman itu kurang lebih di
antara tahun 1750 – 1850. Bermula
dari Inggris Raya, revolusi industri lantas menyebar ke seantero Eropa via
eksekusi mekanisasi pabrik, misalnya industri tekstil. Proses itu diperdalam
lewat pembuatan infrastruktur perdagangan, seperti rel kereta api, agar
produksi mudah ditransaksikan, bahkan antarnegara (Haradhan, 2019). Pendalaman
kapitalisme, yang oleh Wallerstein (2000) dinukilkan bermula sejak 1450,
merupakan penyangga pokok dari revolusi industri tersebut. Proses evolusi
inilah yang menjadi penanda kapitalisme modern dan sumber pertumbuhan ekonomi
di negara Eropa. Pendapatan ekonomi negara (PDB) melesat berkat mekanisasi,
pasar (bebas), dan pengenalan sistem kontrak. Hak kepemilikan privat juga
diperkenalkan secara massif. Sejarah
revolusi industri bertepatan dengan pudarnya Asia dalam perekonomian karena
tekanan Eropa. Secara perlahan perekonomian di wilayah tersebut mengambil
alih Asia yang tertatih berhadapan dengan perkembangan teknologi dan
mekanisasi. Jadi, revolusi industri bukan hanya simbolisasi atas penggunaan
mesin produksi, namun juga bahan baku pengetahuan yang menjadi sumbu inovasi. Di
Inggris, misalnya, pada 1660 telah didirikan “The Royal Society of England”
(royalsociety.org). Lembaga yang sama ditegakkan pula di Perancis. Institut
semacam itu yang memberi pengaruh besar terhadap percepatan pembangunan
ekonomi. Riset
menjadi tulang punggung inovasi dan identitas kebaruan ekonomi di negara
Eropa (dan belakangan AS). Hal itu masih ditambah dengan maraknya pembukaan
kampus (sebagian bahkan berdiri sebelum masa 1750) sebagai mata air
peradaban. Pengetahuan dan perekonomian menyatu dalam dua sisi mata uang. Puncaknya
adalah kemenangan Blok Barat (AS dan Eropa Barat) berhadapan dengan Blok
Timur (yang dipimpin oleh Uni Soviet) saat perang Dunia II. Masa itu tidak
hanya distempel oleh hegemoni politik yang makin kukuh oleh Blok Barat, namun
juga sidik jari keunggulan ekonomi pasar (kapitalisme) yang disokong oleh
pemanfaatan pengetahuan, teknologi, dan mekanisme pasar. Sejak
itu pula didirikan tiga lembaga multilateral yang menjadi promotor
liberalisasi, yakni World Bank, IMF, dan GATT/WTO (Kloby, 1997). Ideologi
pertumbuhan ekonomi berbasis pasar menjadi kampiun pengelolaan ekonomi,
termasuk proyek liberalisasi. Teori
tahapan pembangunan (Rostow), konsep pertumbuhan ekonomi beralas
tabungan-investasi (Harrod-Domar), big-push theory (Rosenstein-Rodan), dan
model akumulasi modal (Joan Robinson) menjadi berhala pembangunan ekonomi.
Teori para ekonom pembangunan itu dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru dunia,
termasuk Asia. Empat penopang Asia Di
luar Jepang, sejak dekade 1990-an banyak negara Asia yang telah bangkit
mengejar ketertinggalannya. Singapura, Taiwan, Hong Kong, dan Korsel dikenal
sebagai Macan Asia yang mengaum di pentas global. Korsel (yang berbeda
selisih hari kemerdekaannya dari Indonesia) secara konsisten menjadi negara
industri yang amat tangguh bersamaan investasi manusia sejak 1970-an. Industri
elektronika dan otomotif merupakan salah satu kisah Korsel, persis mengikuti
yang pernah dilakukan Jepang. Setelah itu Tiongkok melaju dan Indonesia
sendiri pasca-krisis 1997/1998 terus berbenah menuju trayek stabilitas
ekonomi sekitar 2005. Tiongkok
menjadi negara pengolah banyak produk (broad-based) tanpa melupakan industri
teknologi menengah-tinggi. Singkatnya, sejarah keberhasilan Asia (Timur)
jamaknya ditopang oleh empat hal: memanfaatkan krisis negara maju,
berselancar di atas gelombang globalisasi, penguatan basis ekonomi, dan
menyokong nasionalisme domestik. Fenomena
negara industri baru di Asia Timur itu sebetulnya keluar dari pakem
kapitalisme global yang menempatkan negara berkembang (terbelakang) sebagai
pasar barang (olahan/jasa) negara maju. Demikian pula, pola ini berpunggungan
dengan teori dependensia yang menganggap selamanya negara terbelakang menjadi
pinggiran: terbelit dari negara maju dalam relasi yang asimetris. Ternyata,
dalam perjalanannya negara berkembang tidak selalu menjadi “getah ekonomi”
dari negara mapan dalam merancang pembangunan. Bahkan, mereka memberikan
pukulan ekonomi yang keras kepada negara maju dalam perdagangan internasional
(Jepang, Korsel, dan Tiongkok). Tiongkok
sejak 2010 menjadi eksportir terbesar dunia, mengambil alih posisi Jerman.
Penguasaan pengetahuan/teknologi dan adopsi ekonomi pasar (tanpa melupakan
peran pemerintah yang efektif) menjadi kata kunci kemajuan perekonomian
negara Asia Timur. Inilah narasi yang diusung Asia. Berikutnya,
sampai 2030 setidaknya akan ada lima perkembangan global. Pertama, tidak lama
lagi Tiongkok akan menjadi negara dengan ukuran ekonomi terbesar dunia.
Ekonomi (PDB) akan dikuasai oleh 5 negara pada 2030: Tiongkok, AS, Jepang,
India, dan Jerman. Kedua,
AS dan beberapa negara Eropa lebih banyak memakai instrumen politik (dan
militer) dan lembaga multilateral (Bank Dunia, IMF) sebagai daya gugah
ekonomi di fora internasional. Jumlah penduduk negara maju menyusut pula
sehingga makin sulit menambah bobot perekonomian. Ketiga,
tiga isu pokok menjadi pusat pertempuran: demokrasi, globalisasi, dan
digitalisasi. Seluruh negara akan berperang memenangkan tiga laga tersebut.
Keempat, terjadi persaingan sengit antara uang konvensional dengan digital
(cryptocurrency). Uang digital akan segera diakui oleh otoritas. Kelima,
kawasan Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin belum memberikan gebrakan
besar perekonomian dunia. Mereka akan menyodok setelah 2035. Instabilitas perekonomian Indonesia
sampai 1960 masih menjadi negara paria dunia. Pada saat yang sama Tiongkok
telah berada di posisi keempat ukuran ekonomi terbesar global, setelah AS,
Inggris, dan Perancis. Baru pada 1979 pertama kalinya ekonomi Indonesia masuk
peringkat 20 dunia. Itu pun tidak selalu konsisten dipertahankan karena
setelah 1987 Indonesia terlempar dari jajaran 20 besar. Baru
pada 1997 Indonesia kembali masuk “kasta 20 besar dunia”, tetapi naasnya pada
tahun berikutnya (1998) jatuh lagi (akibat krisis moneter). Peringkat
Indonesia menyembul lagi pada 2008 (10 tahun pasca-krisis) dan terus
merangkak perlahan sampai urutan 16 pada 2020. Tiongkok
sendiri setelah periode 1960 mengalami kemerosotan ekonomi hingga jatuh ke
posisi 11 pada 1979. Usai itu posisinya terus meroket hingga pada 2010
menempati ranking 2 dunia (mengambil alih Jepang) sampai kini. Hal yang sama
juga terjadi pada India, besaran ekonomi terus membusung ke posisi 6 (2020)
[GoodStats, 2021]. Bisa
dikatakan posisi Indonesia belum stabil seperti yang dicapai Tiongkok.
Stabilitas ekonomi baru dialami sejak 2005, itu pun dengan pertumbuhan
ekonomi yang punya kecenderungan menurun (akibat situasi dunia yang juga
murung). Kondisi ekonomi Indonesia mirip Brazil yang pernah berada di posisi
7 dan sekarang turun ke peringkat 12. Sebaliknya,
sejak dekade 1980-an perekonomian Tiongkok tidak goyah sehingga ukuran
ekonominya terus membesar. Pada 2020 Indonesia pertama kalinya menjadi negara
pendapatan menengah-atas. Namun, akibat dihajar pandemi posisi itu tidak
dapat dipertahankan pada 2021. Perekonomian minimal harus tumbuh 5% agar
pendapatan bisa kembali seperti situasi sebelum pandemi. Jika
perbaikan sekarang bisa dipertahankan, maka pada 2022 pendapatan
menengah-atas itu bisa direbut lagi. Awalnya, Indonesia diprediksi pada 2030
akan bisa menempati peringkat 7 dunia, namun variabel pandemi menyebabkan
kesukaran menggapai target tersebut. Sungguh
pun begitu, posisi tawar Indonesia di fora internasional tetap kuat karena
beberapa hal. Pertama, sekitar 20% warga negara lapis paling atas memiliki
pendapatan per kapita rata-rata sekitar 10.000 dolar AS (hampir setara
pendapatan per kapita Malaysia). Jumlah penduduk ini sekitar 55 - 60 juta (2
kali populasi Malaysia). Mereka bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Kedua,
infrastruktur yang dibangun secara konsisten selama 7 tahun terakhir bakal
menggelindingkan perputaran ekonomi yang gegas di masa depan. Investasi di
Indonesia makin menggoda, baik PMDN maupun PMA. Salah satu buktinya, saat
pandemi menghajar kinerja investasi masih tumbuh berdasarkan data BKPM
(2021). Ketiga,
Indonesia akan menikmati dividen/bonus demografi sekurangnya sampai 2030 –
2035. Kelompok usia produktif ini, ditambah tingkat pendidikan dan akses
teknologi yang kian bagus, menjadi lokomotif perekonomian berbasis nilai
tambah. Proposal Indonesia Mencermati
pencapaian yang dilakukan oleh negara-negara Asia (Timur) di atas, perubahan
dan perkembangan ekonomi nasional juga mesti mendasarkan beberapa syarat
pokok tersebut, meski tentu saja diperlukan adaptasi sesuai karakteristik
ekonomi domestik. Proposal
trimatra pembangunan yang mesti dikawal dengan sungguh-sungguh ialah:
literasi teknologi, inklusi investasi, dan demokrasi ekonomi. Jepang, Korsel,
Singapura, Taiwan Hong Kong, dan Tiongkok kemajuannya dihela oleh pengetahuan
dan teknologi. Korsel mengurus pendidikan secara serius sejak dekade 1970-an
dan Tiongkok mengirim para mahasiswa ke negara-negara maju sejak dekade
1990-an. Literasi
menjadi kata kunci pengembangan produk olahan yang memiliki nilai tambah.
Jepang, Singapura, Korsel, dan Tiongkok memiliki kampus dengan mutu terbaik
(masuk 25 terbaik dunia). Pengetahuan yang direlasikan dengan dunia usaha
(industri) menjadi daya ledak Asia yang melantakkan dominasi negara maju. Pekerjaan
rumah inklusi investasi adalah memastikan watak penanaman modal yang bertumpu
kepada lima ciri: partisipasi, ekologi, teknologi, stabilisasi, dan
kontinuitas. Partisipasi dan ekologi merupakan sayap pemerataan investasi.
Sementara itu teknologi, stabilisasi, dan kontinuitas ialah sayap pertumbuhan
investasi. Kedua sayap itu yang akan menerbangkan perekonomian. Pada
ujungnya, perekonomian akan kehilangan marwah bila kian menjauh dari amalan
demokrasi ekonomi. Ini bukan semata diktum konstitusi, namun lokus kesejatian
ekonomi. Perkara genting nasional adalah membagi alat-alat produksi sehingga
rakyat punya nadi dan energi masuk ke arena ekonomi (pemerataan menjadi
konsensus suci). Pada
level domestik rute paling mudah yang bisa ditempuh ialah mengarusutamakan
koperasi/UMKM dan pelaku usaha di sektor basis (petani, peternak, pekebun,
nelayan). Soalnya di sini bukan semata menata batu bata kebijakan, namun
nyali menggali sumur keberpihakan. Selebihnya,
separuh urusan ekonomi berkutat perkara basis produksi. Pembesaran ekonomi
sebagian besar terbuka dari pintu investasi. Pemerintah tentu saja perlu
memahami perubahan lanskap ekonomi yang memengaruhi karakteristik investasi. Pertama,
investasi akan makin pekat modal dan teknologi sehingga kebutuhan tenaga
terampil menjadi keniscayaan. Kedua, investasi domestik fokus kepada
penguatan daya saing agar bisa menaklukkan pasar internasional (yang makin tertutup).
Ketiga, investasi di Indonesia Bagian Timur lebih mudah didongkrak setelah
dibangun infrastruktur, sekaligus mengurangi tensi ketimpangan. Keempat,
penetrasi korporasi asing (PMA) yang berbasis teknologi informasi (digital)
kian besar, sehingga negara seyogyanya menyusun regulasi yang sangkil dan
mangkus. Kelima, pengusaha didominasi usia muda dengan pengetahuan dan akses
informasi yang jembar. Literasi teknologi dan pemerataan akses digitalisasi
menjadi tugas bangsa yang paling menantang. Indonesia mesti menjadi salah
satu penyuluh andal narasi Asia. ● Sumber
: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/29/indonesia-dan-narasi-asia/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar