Munir
dalam Revelasi Mochtar Pabottingi ; Pemikir Kebangsaan dan Demokrasi |
KOMPAS, 21 September 2021
Sudah
17 tahun Munir Said Thalib, pejuang HAM terkemuka bangsa kita, dibunuh secara
keji. Makin kemari makin terasa pihak berwewenang seperti hendak mengubur
kasusnya. Dari
segi kultur, Munir berasal dari sub-etnis Arab-Jawa bernuansa egaliter.
Sistem nilai dan karakter Munir terbentuk di dunia pasar tradisional multi
suku dalam tradisi tawar-menawar terbuka dan sukarela. “Interpretasi
hubungan manusia yang saya miliki, ya mengacu pada pasar.” Sepeninggal
ayahnya saat Munir masih di kelas lima SD, ibunya dengan tegar memikul
sendiri tanggung jawab membesarkan ketujuh anaknya dengan berjualan di pasar.
Ia gemar menolong, senang menjamu puluhan teman anak-anaknya sekampung untuk
menonton TV pada hari Minggu siang di rumahnya, dan mengecam perlakuan tak
adil terhadap etnis China. Munir
dibesarkan kedua orangtuanya dalam prinsip “hidup dan memperkenankan hidup” –to live and let live. Menyatu dengan
budaya pasar, semua ini mengajari Munir muda dasar-dasar prinsip keadilan dan
bagaimana “menegakkan timbangan” dalam arti sedalam-dalam dan seluas-luasnya.
Menegakkan timbangan dalam arti sekomplet itu adalah salah satu perintah
termulia di Al Quran. Dari
segi agama yang berjalin erat dengan budaya, Munir disadarkan oleh dosennya
di Malang, Abdul Malik Fadjar, yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan dan
Menteri Agama. Ia meluruskan keimanan Munir dari bersifat eksklusif menjadi
inklusif. Lewat penjernihan tauhid, menguat pulalah keberpihakannya ke kaum
lemah dan tertindas, mula-mula kepada kaum buruh dan tani, dan meningkat pula
keberaniannya. Di
situ dia menangkap laku shalat sebagai tuntunan sekaligus tuntunan iman ke
arah pemihakan demikian. Transendensi keimanan itulah yang agaknya membuat
inklusivisme, cahaya iman, dan kepekaan besar pada keadilan memperkuat etika
pribadi dan etika publik Munir. Ia
berpantang tergiur, apalagi terperangkap, ke dunia kemewahan. Dia menolak
dibelikan kendaraan berkesan mahal dan di tahun 2000 menyerahkan sebagian
besar dana istimewa yang menyertai anugerah The Human Rights Livelihood Award
kepadanya. Di sepanjang 16 tahun kiprahnya sebagai pejuang HAM (1989-2004),
tak sekalipun terbetik Munir beranjak dari hidup bersahaja, jujur,
bermartabat. Dalam
hal itu, kendati terpisah dalam jarak dua-tiga generasi, etika pribadi dan
etika publik Munir memiliki afinitas yang kuat dengan padanannya pada
sejumlah figur teladan pemerintahan di masa Demokrasi Parlementer (1950-1958)
–bukti betapa kuat determinasi dan daya jangkau sistem nilai. Bisa
dikatakan, dari lingkup perjuangan nasionalnya untuk menegakkan HAM, Munir
sepenjunjungan sistem nilai dengan ko-proklamator dan mantan Wakil Presiden,
Mohammad Hatta. Atau kedua mantan perdana menteri, Sutan Sjahrir dan Muhammad
Natsir. Juga
mantan Menteri Sosial Maria Ulfah Santoso, mantan Menteri Tenaga Kerja SK
Trimurti serta Ignatius J Kasimo dan Syafruddin Prawiranegara yang sama-sama
beberapa kali menjadi menteri. Mereka semua tetap sederhana, mulia, dan
terpuji hingga di akhir hayat – rata-rata tulus hidup prihatin di usia
pensiun dan tak menuntut fasilitas dari negara. Ini
menunjukkan bahwa sejarah awal negara-bangsa kita diisi putra-putri terbaik
yang kokoh meneladankan etika pribadi maupun etika publik. Itu suatu anugerah
akbar bagi Indonesia. Tertempa di zaman Pergerakan Kebangsaan dan di masa
Revolusi Kemerdekaan, jauh hari para Pendiri Bangsa tampaknya sudah sangat
menyadari betapa besar keburukan yang bisa menulari para penguasa atau
pelaksana negara lewat sifat kemaruk harta dan kuasa. Mengembalikan ideal kemerdekaan Munir
lahir 8 Desember 1965 bertepatan dengan awal Orde Baru yang memperparah
tikungan politik buruk Demokrasi Terpimpin. Kita tahu duumvirate Soekarno-TNI
mencampakkan sistem demokrasi dan memulai otoritarianisme enam tahun
sebelumnya. Orde
Baru menyempurnakan otoritarianisme itu dengan sekalian mencampakkan prinsip
kebangsaan setara dan setumpuan dengan membangun dan memperbesar elitisme
militer sebagai warga negara kelas satu. Demokrasi Terpimpin dan lebih-lebih
Orde Baru ditandai luruhnya duo negara-bangsa, yaitu saat bangsa tak lagi
diindahkan oleh pelaksana negara. Dengan
militerisme, mereka menerapkan prinsip machtstaat atas rakyat, bukan
rechtstaat. Prinsip “saling cek saling imbang” di pemerintahan umumnya
ditinggalkan. Makna otoritatif perjuangan reformasi yang turut gigih
diperjuangkan Munir tak lain dari kembali pada ideal-ideal kemerdekaan sejati
sebagaimana termaktub di Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta pasal-pasal
inti yang lolos dari keempat momen amandemen atasnya. Konfrontasi
Munir khususnya dengan militerisme Orde Baru sudah bermula di penghujung
1980-an kala menjadi relawan LBH Surabaya (1989) dan kemudian menjadi
ketuanya (1991). Melanjutkan dua tahun aktivismenya di bidang organisasi
kemahasiswaan (HMI) dan keislaman (Sekretaris Al Irsyad cabang Malang, 1988),
Munir menapaki pendakian jenjang-jenjang karier di LBH dari daerah ke
Jakarta. Dia
kemudian memasuki berpuluh kegiatan advokasi dan posisi-posisi profesional di
bidang hukum serta pembelaan atas kalangan warga negara tertindas dan
terzalimi pada pelbagai kasus dalam tempo dan intensitas yang sangat tinggi.
Kiprah perjuangan Munir ibarat roller coaster. Dan selama 16 tahun tak
sedikit di antara kita yang tiada henti merasakan getaran dan gemuruhnya. Munir
melaksanakan pelbagai tanggung jawab profesional. Dia antara lain menjadi
koordinator Komite Solidaritas untuk Buruh Surabaya, 1994; anggota Presidium
Nasional Komisi Independen Pemantauan Pemilihan Umum, 1997- 2000; pendiri dan
koordinator Komisi Independen Pemantauan Pelanggaran HAM, 1996; anggota
Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur di sekitar kerusuhan 1999;
dan anggota Tim Penyusunan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, 2000. Munir
juga menjadi penasihat hukum pada sekitar 15 kasus, antara lain mengenai
kemelut Timor Timur (1992- 1994); warga Nipah di Madura (1993); keluarga
Marsinah (1994); serta mahasiswa dan petani di Pasuruan (1995). Begitu
pula untuk sejumlah mahasiswa aktivis dan tokoh-tokoh nasional oposisi
(1994-1997); 22 buruh PT Maspion (1993); korban dan keluarga korban
penghilangan paksa 24 aktivis politik dan mahasiswa di Jakarta, 1997-1998.
Juga korban Tragedi Tanjung Priok, 1984-1988; keluarga korban penembakan
Semanggi I dan Semanggi II, 1998-1999; hingga pelanggaran HAM berat
berkepanjangan di Aceh dan Papua. Munir
penerima tujuh penghargaan, tiga dari dalam negeri dan empat dari mancanegara,
di antaranya The Human Rights Livelihood Award, Stockholm (2000) dan UNESCO
Mananjeet Singh Prize, Paris (2000). Di
sepanjang 16 tahun advokasi dan aktivisme bertempo dan bertegangan tinggi
itu, Munir tiada henti menegaskan dirinya sebagai pembela HAM di pelbagai
daerah dan kalangan warga negara serta minoritas, termasuk kalangan prajurit
TNI (dalam penyusunan UU menyangkut kemiliteran). Pada
keseluruhan kiprah advokasi dan aktivismenya, sesungguhnya Munir secara utuh
dan gamblang mengaktualisasikan ideal-ideal Pancasila. Kelima silanya
tersusuri dan terjunjung secara integral di dalam korpus perjuangannya. Maka
amat sulit dibantah bahwa Munir merupakan teladan dan pejuang teguh dalam
aktualisasi nyata Pancasila. Di
sepanjang 16 tahun perjuangannya membela dan menjunjung hak-hak asasi bangsa
kita, praktis tak sekalipun Munir jeda “beramal dan bersaksi untuk menegakkan
keadilan.” Dan itu dilakukan dengan tetap santun –“melawan api dengan air”.
Dia seperti menangkap kata-kata Paolo Freire bahwa “proses pembebasan [dari
penindasan] mestilah bersih dari cara-cara dehumanisasi”. Perjuangan
Munir berada dalam konteks di mana negara sudah diambil-alih oleh kekuasaan
yang bukan hanya tak lagi mengutamakan penjunjungan pada bangsa, melainkan
sudah dipenuhi oleh pelbagai kepentingan bercokol Rezim Orde Baru yang
kemudian “bablas” dan/atau menitis ke Rezim Reformasi. Keduanya memangsa
rakyat/bangsa dan Tanah Air demi memuaskan dan melestarikan laku penghalalan
cara dan pelampiasan laku tumpuk harta dan kuasa. Pelanggaran HAM berat Maka
dari sini kita bisa mengajukan tiga argumen krusial untuk menekankan bahwa
pembunuhan keji terhadap Munir merupakan suatu pelanggaran HAM berat. Pertama,
sebagai representasi sejati dari perjuangan penegakan HAM bangsa kita, sulit
untuk dibantah bahwa tindakan membunuh Munir punya kaitan dengan penerusan
percokolan atau persambungan kepentingan buruk dan/atau laku-laku represif
negara di tengah bangsa kita. Solusi
diabolik untuk menghentikan kiprah luhur tanpa dendam dan kebencian dari
seorang putra utama bangsa kita buat melestarikan penerusan kepentingan atau
laku-laku buruk demikian pastilah suatu pelanggaran HAM berat. Itu merupakan
pengingkaran terbuka dan serangan langsung terhadap prinsip negara hukum. Kedua,
Munir telah menjelma jadi salah seorang simbol terkemuka dari upaya reformasi
untuk mengoreksi pelbagai kesalahan, bahkan pengkhianatan, Orde Baru terhadap
bangsa dan ideal-ideal kemerdekaan kita, khususnya dalam rangkaian
pelanggaran HAM berat. Maka
menghabisi Munir sulit dipisahkan dari kehendak untuk meruntuhkan legitimasi
reformasi beserta segenap imperatifnya. Bukankah makna otoritatif reformasi
tak lain dari kembali ke ideal-ideal kemerdekaan kita? Pembunuhan keji atas
Munir dan penelantaran penyelesaian terhormat atas kasusnya mesti dibaca
panjang sebagai kehendak telanjang untuk mengembalikan bangsa kita ke alam
penjajahan. Ketiga,
segenap laku negara yang meminggirkan upaya penyelesaian terhormat atas kasus
Munir berarti menafikan rangkaian bukti “terang benderang” –meminjam istilah
Usman Hamid (Kompas, 8/9/2021)—perihal “keterlibatan negara” di sepanjang
upaya dan proses peradilan terdahulu menyangkut kasus pembunuhan Munir. Keterlibatan
itu sudah self-evident: jauh, serius, dan rincinya keterlibatan aparat Badan
Intelijen Negara (BIN) serta kentalnya laku evasif-eskapis penguasa untuk
tidak membuka Laporan Tim Pencari Fakta (TPF) plus penunda-nundaan penuntasan
peradilan ini praktis ad infinitum. Itu
pertanda keangkuhan kekuasaan, sekaligus pelecehan prinsip pro justitia atau
apa yang disebut John Rawls “justice as fairness” —keadilan sebagai
kesetimbangan. Telah gamblang betapa pembunuhan Munir kumulasi rancang
angkara yang sedari awal sudah dirisikokan secara sadar. Pembunuhan
keji atas Munir jelas pelanggaran HAM berat. Itulah totalitas “revelasi”
perihal sosok dan kasus Munir. Sampai kapan pun, aksi dan tuntutan perlakuan
adil bagi Munir dan keluarganya dengan mengungkap aktor intelektual
pembunuhnya merupakan kewajiban tiap aparat dan pelaksana negara yang patuh
hukum. ● |
Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/21/munir-dalam-revelasi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar