Kamis, 07 Oktober 2021

 

Munir dalam Revelasi

Mochtar Pabottingi ;  Pemikir Kebangsaan dan Demokrasi

KOMPAS, 21 September 2021

 

 

                                                           

Sudah 17 tahun Munir Said Thalib, pejuang HAM terkemuka bangsa kita, dibunuh secara keji. Makin kemari makin terasa pihak berwewenang seperti hendak mengubur kasusnya.

 

Dari segi kultur, Munir berasal dari sub-etnis Arab-Jawa bernuansa egaliter. Sistem nilai dan karakter Munir terbentuk di dunia pasar tradisional multi suku dalam tradisi tawar-menawar terbuka dan sukarela.

 

“Interpretasi hubungan manusia yang saya miliki, ya mengacu pada pasar.” Sepeninggal ayahnya saat Munir masih di kelas lima SD, ibunya dengan tegar memikul sendiri tanggung jawab membesarkan ketujuh anaknya dengan berjualan di pasar. Ia gemar menolong, senang menjamu puluhan teman anak-anaknya sekampung untuk menonton TV pada hari Minggu siang di rumahnya, dan mengecam perlakuan tak adil terhadap etnis China.

 

Munir dibesarkan kedua orangtuanya dalam prinsip “hidup dan memperkenankan hidup” –to live and let live. Menyatu dengan budaya pasar, semua ini mengajari Munir muda dasar-dasar prinsip keadilan dan bagaimana “menegakkan timbangan” dalam arti sedalam-dalam dan seluas-luasnya. Menegakkan timbangan dalam arti sekomplet itu adalah salah satu perintah termulia di Al Quran.

 

Dari segi agama yang berjalin erat dengan budaya, Munir disadarkan oleh dosennya di Malang, Abdul Malik Fadjar, yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan dan Menteri Agama. Ia meluruskan keimanan Munir dari bersifat eksklusif menjadi inklusif. Lewat penjernihan tauhid, menguat pulalah keberpihakannya ke kaum lemah dan tertindas, mula-mula kepada kaum buruh dan tani, dan meningkat pula keberaniannya.

 

Di situ dia menangkap laku shalat sebagai tuntunan sekaligus tuntunan iman ke arah pemihakan demikian. Transendensi keimanan itulah yang agaknya membuat inklusivisme, cahaya iman, dan kepekaan besar pada keadilan memperkuat etika pribadi dan etika publik Munir.

 

Ia berpantang tergiur, apalagi terperangkap, ke dunia kemewahan. Dia menolak dibelikan kendaraan berkesan mahal dan di tahun 2000 menyerahkan sebagian besar dana istimewa yang menyertai anugerah The Human Rights Livelihood Award kepadanya. Di sepanjang 16 tahun kiprahnya sebagai pejuang HAM (1989-2004), tak sekalipun terbetik Munir beranjak dari hidup bersahaja, jujur, bermartabat.

 

Dalam hal itu, kendati terpisah dalam jarak dua-tiga generasi, etika pribadi dan etika publik Munir memiliki afinitas yang kuat dengan padanannya pada sejumlah figur teladan pemerintahan di masa Demokrasi Parlementer (1950-1958) –bukti betapa kuat determinasi dan daya jangkau sistem nilai.

 

Bisa dikatakan, dari lingkup perjuangan nasionalnya untuk menegakkan HAM, Munir sepenjunjungan sistem nilai dengan ko-proklamator dan mantan Wakil Presiden, Mohammad Hatta. Atau kedua mantan perdana menteri, Sutan Sjahrir dan Muhammad Natsir.

 

Juga mantan Menteri Sosial Maria Ulfah Santoso, mantan Menteri Tenaga Kerja SK Trimurti serta Ignatius J Kasimo dan Syafruddin Prawiranegara yang sama-sama beberapa kali menjadi menteri. Mereka semua tetap sederhana, mulia, dan terpuji hingga di akhir hayat – rata-rata tulus hidup prihatin di usia pensiun dan tak menuntut fasilitas dari negara.

 

Ini menunjukkan bahwa sejarah awal negara-bangsa kita diisi putra-putri terbaik yang kokoh meneladankan etika pribadi maupun etika publik. Itu suatu anugerah akbar bagi Indonesia. Tertempa di zaman Pergerakan Kebangsaan dan di masa Revolusi Kemerdekaan, jauh hari para Pendiri Bangsa tampaknya sudah sangat menyadari betapa besar keburukan yang bisa menulari para penguasa atau pelaksana negara lewat sifat kemaruk harta dan kuasa.

 

Mengembalikan ideal kemerdekaan

 

Munir lahir 8 Desember 1965 bertepatan dengan awal Orde Baru yang memperparah tikungan politik buruk Demokrasi Terpimpin. Kita tahu duumvirate Soekarno-TNI mencampakkan sistem demokrasi dan memulai otoritarianisme enam tahun sebelumnya.

 

Orde Baru menyempurnakan otoritarianisme itu dengan sekalian mencampakkan prinsip kebangsaan setara dan setumpuan dengan membangun dan memperbesar elitisme militer sebagai warga negara kelas satu. Demokrasi Terpimpin dan lebih-lebih Orde Baru ditandai luruhnya duo negara-bangsa, yaitu saat bangsa tak lagi diindahkan oleh pelaksana negara.

 

Dengan militerisme, mereka menerapkan prinsip machtstaat atas rakyat, bukan rechtstaat. Prinsip “saling cek saling imbang” di pemerintahan umumnya ditinggalkan. Makna otoritatif perjuangan reformasi yang turut gigih diperjuangkan Munir tak lain dari kembali pada ideal-ideal kemerdekaan sejati sebagaimana termaktub di Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta pasal-pasal inti yang lolos dari keempat momen amandemen atasnya.

 

Konfrontasi Munir khususnya dengan militerisme Orde Baru sudah bermula di penghujung 1980-an kala menjadi relawan LBH Surabaya (1989) dan kemudian menjadi ketuanya (1991). Melanjutkan dua tahun aktivismenya di bidang organisasi kemahasiswaan (HMI) dan keislaman (Sekretaris Al Irsyad cabang Malang, 1988), Munir menapaki pendakian jenjang-jenjang karier di LBH dari daerah ke Jakarta.

 

Dia kemudian memasuki berpuluh kegiatan advokasi dan posisi-posisi profesional di bidang hukum serta pembelaan atas kalangan warga negara tertindas dan terzalimi pada pelbagai kasus dalam tempo dan intensitas yang sangat tinggi. Kiprah perjuangan Munir ibarat roller coaster. Dan selama 16 tahun tak sedikit di antara kita yang tiada henti merasakan getaran dan gemuruhnya.

 

Munir melaksanakan pelbagai tanggung jawab profesional. Dia antara lain menjadi koordinator Komite Solidaritas untuk Buruh Surabaya, 1994; anggota Presidium Nasional Komisi Independen Pemantauan Pemilihan Umum, 1997- 2000; pendiri dan koordinator Komisi Independen Pemantauan Pelanggaran HAM, 1996; anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur di sekitar kerusuhan 1999; dan anggota Tim Penyusunan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, 2000.

 

Munir juga menjadi penasihat hukum pada sekitar 15 kasus, antara lain mengenai kemelut Timor Timur (1992- 1994); warga Nipah di Madura (1993); keluarga Marsinah (1994); serta mahasiswa dan petani di Pasuruan (1995).

 

Begitu pula untuk sejumlah mahasiswa aktivis dan tokoh-tokoh nasional oposisi (1994-1997); 22 buruh PT Maspion (1993); korban dan keluarga korban penghilangan paksa 24 aktivis politik dan mahasiswa di Jakarta, 1997-1998. Juga korban Tragedi Tanjung Priok, 1984-1988; keluarga korban penembakan Semanggi I dan Semanggi II, 1998-1999; hingga pelanggaran HAM berat berkepanjangan di Aceh dan Papua.

 

Munir penerima tujuh penghargaan, tiga dari dalam negeri dan empat dari mancanegara, di antaranya The Human Rights Livelihood Award, Stockholm (2000) dan UNESCO Mananjeet Singh Prize, Paris (2000).

 

Di sepanjang 16 tahun advokasi dan aktivisme bertempo dan bertegangan tinggi itu, Munir tiada henti menegaskan dirinya sebagai pembela HAM di pelbagai daerah dan kalangan warga negara serta minoritas, termasuk kalangan prajurit TNI (dalam penyusunan UU menyangkut kemiliteran).

 

Pada keseluruhan kiprah advokasi dan aktivismenya, sesungguhnya Munir secara utuh dan gamblang mengaktualisasikan ideal-ideal Pancasila. Kelima silanya tersusuri dan terjunjung secara integral di dalam korpus perjuangannya. Maka amat sulit dibantah bahwa Munir merupakan teladan dan pejuang teguh dalam aktualisasi nyata Pancasila.

 

Di sepanjang 16 tahun perjuangannya membela dan menjunjung hak-hak asasi bangsa kita, praktis tak sekalipun Munir jeda “beramal dan bersaksi untuk menegakkan keadilan.” Dan itu dilakukan dengan tetap santun –“melawan api dengan air”. Dia seperti menangkap kata-kata Paolo Freire bahwa “proses pembebasan [dari penindasan] mestilah bersih dari cara-cara dehumanisasi”.

 

Perjuangan Munir berada dalam konteks di mana negara sudah diambil-alih oleh kekuasaan yang bukan hanya tak lagi mengutamakan penjunjungan pada bangsa, melainkan sudah dipenuhi oleh pelbagai kepentingan bercokol Rezim Orde Baru yang kemudian “bablas” dan/atau menitis ke Rezim Reformasi. Keduanya memangsa rakyat/bangsa dan Tanah Air demi memuaskan dan melestarikan laku penghalalan cara dan pelampiasan laku tumpuk harta dan kuasa.

 

Pelanggaran HAM berat

 

Maka dari sini kita bisa mengajukan tiga argumen krusial untuk menekankan bahwa pembunuhan keji terhadap Munir merupakan suatu pelanggaran HAM berat.

 

Pertama, sebagai representasi sejati dari perjuangan penegakan HAM bangsa kita, sulit untuk dibantah bahwa tindakan membunuh Munir punya kaitan dengan penerusan percokolan atau persambungan kepentingan buruk dan/atau laku-laku represif negara di tengah bangsa kita.

 

Solusi diabolik untuk menghentikan kiprah luhur tanpa dendam dan kebencian dari seorang putra utama bangsa kita buat melestarikan penerusan kepentingan atau laku-laku buruk demikian pastilah suatu pelanggaran HAM berat. Itu merupakan pengingkaran terbuka dan serangan langsung terhadap prinsip negara hukum.

 

Kedua, Munir telah menjelma jadi salah seorang simbol terkemuka dari upaya reformasi untuk mengoreksi pelbagai kesalahan, bahkan pengkhianatan, Orde Baru terhadap bangsa dan ideal-ideal kemerdekaan kita, khususnya dalam rangkaian pelanggaran HAM berat.

 

Maka menghabisi Munir sulit dipisahkan dari kehendak untuk meruntuhkan legitimasi reformasi beserta segenap imperatifnya. Bukankah makna otoritatif reformasi tak lain dari kembali ke ideal-ideal kemerdekaan kita? Pembunuhan keji atas Munir dan penelantaran penyelesaian terhormat atas kasusnya mesti dibaca panjang sebagai kehendak telanjang untuk mengembalikan bangsa kita ke alam penjajahan.

 

Ketiga, segenap laku negara yang meminggirkan upaya penyelesaian terhormat atas kasus Munir berarti menafikan rangkaian bukti “terang benderang” –meminjam istilah Usman Hamid (Kompas, 8/9/2021)—perihal “keterlibatan negara” di sepanjang upaya dan proses peradilan terdahulu menyangkut kasus pembunuhan Munir.

 

Keterlibatan itu sudah self-evident: jauh, serius, dan rincinya keterlibatan aparat Badan Intelijen Negara (BIN) serta kentalnya laku evasif-eskapis penguasa untuk tidak membuka Laporan Tim Pencari Fakta (TPF) plus penunda-nundaan penuntasan peradilan ini praktis ad infinitum.

 

Itu pertanda keangkuhan kekuasaan, sekaligus pelecehan prinsip pro justitia atau apa yang disebut John Rawls “justice as fairness” —keadilan sebagai kesetimbangan. Telah gamblang betapa pembunuhan Munir kumulasi rancang angkara yang sedari awal sudah dirisikokan secara sadar.

 

Pembunuhan keji atas Munir jelas pelanggaran HAM berat. Itulah totalitas “revelasi” perihal sosok dan kasus Munir. Sampai kapan pun, aksi dan tuntutan perlakuan adil bagi Munir dan keluarganya dengan mengungkap aktor intelektual pembunuhnya merupakan kewajiban tiap aparat dan pelaksana negara yang patuh hukum. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/21/munir-dalam-revelasi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar