Alat
Ukur Keberhasilan Pendidikan Riduan Situmorang ; Guru Bahasa Indonesia SMAN 1
Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional |
KOMPAS, 7 Oktober 2021
Bagaimana
mengukur keberhasilan sekolah? Jawaban teknisnya: dengan memakai tes standar.
Maksud kata standar adalah adanya batas minimal yang harus dimiliki sekolah.
Kita sempat memilikinya dengan menghadirkan rezim ujian nasional dan
belakangan ujian sekolah berstandar nasional. Pertanyaannya,
apakah standar ini telah memacu setiap sekolah untuk minimal mendapatkan
batasan paling rendah yang dibuat? Kalau setiap sekolah sudah terpacu,
bagaimana hasilnya? Sekilas, hasilnya di ijazah tergolong baik sehingga
dengan begitu setiap sekolah berarti sudah terpacu. Namun, sejauh mana ijazah
mencerminkan keterpacuan itu? Bank
Dunia (2020) mengeluarkan fakta mengejutkan, bahwa meski rata lama sekolah
berada pada angka 12,3 tahun (tamat SMA), kualitas ketercapaian belajarnya
justru setara dengan 7,9 tahun (kelas II SMP). Senada dengan itu, dalam studi
Amanda Beatty (dkk) berjudul Schooling Progress, Learning Reversall:
Indonesia's Learning Profiles Between 2000 and 2014 juga disebutkan bahwa
kemampuan berhitung pelajar kelas II SMP pada tahun 2014 setara dengan
kemampuan siswa kelas V SD pada tahun 2000. Artinya,
rezim standar pendidikan kita nyata-nyata sudah gagal, bahkan malah mundur.
Hanya indah di ijazah, tetapi buruk di lapangan. Menjadi bumerang Nah,
dari fakta di atas, kiranya tampak bahwa alat ukur yang kita gunakan dalam
mencapai standar pendidikan justru menjadi bumerang untuk merusak pendidikan
kita sendiri. Kita fokus mengejar angka, lalu lupa menjaga nilai. Standar
pendidikan ujung-ujungnya menjadi tak berstandar. Padahal, secara
konstitusional, kita punya standar pendidikan yang ideal: mulai standar
kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar penilaian
pendidikan, standar tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana,
standar pengelolaan, serta standar pembiayaan. Namun, pada praktiknya,
standar itu tak bernilai sama. Demi
mengejar standar penilaian bertaraf nasional, misalnya, standar-standar lain
justru diabaikan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa demi mendapatkan nilai UN
yang tinggi, proses pembelajaran dibuat justru lari dari lajur standar. Proses
pembelajaran-bermakna berubah menjadi pembelajaran-membahas soal demi soal.
Tujuan pendidikan kita difokuskan untuk menjawab soal-soal uji, bukan lagi
membahas bagaimana menuntaskan persoalan hidup. Padahal, pendidikan sejatinya
adalah alat untuk memupuk keterampilan hidup, bukan untuk mencanggihkan diri
dalam membahas soal-soal uji. Faktanya,
rezim keterampilan membahas soal uji terkesan sudah berurat berakar. Bukti
kecilnya, hanya untuk ikut Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), siswa disarankan
ikut bimbel (bimbingan belajar). Karena
itu, jika ada yang hilang dari pendidikan kita saat ini, maka itu adalah
justru jiwa dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan kita menjadi sangat
mekanis. Ukurannya selalu dilihat dari pilihan berganda. Tak ada kehidupan
berpikir kritis. Akibatnya,
ketika PISA melakukan tes uji, kita selalu berada pada kasta terbawah.
Seharusnya, mengingat sepanjang waktu pembelajaran kita habis untuk membahas
soal, rasanya tak wajar lagi kita jeblok pada soal uji PISA. Jika
pada akhirnya masih jeblok, maka sudah pasti karena pola belajar kita mekanis
dan bernuansa hafalan, tanpa menggugah pikiran kritis. Ibaratnya, siswa
belajar tanpa berpikir. Karena itu, kita sambut usulan pemerintah yang
memutuskan untuk menukar Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) menjadi
Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek. Sebagai
turunannya, juga telah mengganti UN dengan Asesmen Nasional (AN). Kiranya ini
akan menjadi momen bagi kita untuk kembali belajar dengan melibatkan pikiran
kritis. Kiranya juga, dengan AN, kita bisa mengukir dan mengukur prestasi
belajar kita. Sebagaimana
diketahui, merujuk pada Permendikbud Nomor 57 Tahun 2015, setidaknya ada tiga
alat ukur keberhasilan pendidikan, yaitu (a) menyelesaikan seluruh program
pembelajaran, (b) memperoleh nilai sikap baik, dan (c) lulus Ujian
Sekolah/Madrasah/Pendidikan Kesetaraan. Ketiga
alat ukur keberhasilan tersebut seyogyanya harus dimaknai ulang. Pertama, pengertian
"menyelesaikan program pembelajaran" harus lebih pada isi, bukan
waktu. Selama ini, poin tersebut dimaknai dengan dangkal karena sekolah
diibaratkan cukup sebagai tempat untuk menghabiskan rutinitas dan jadwal di
sekolah. Setelah tiba saatnya, maka kita akan dinilai berhasil secara
otomatis. Ironisnya,
sekolah dikatakan berhasil jika rentang waktu itu digunakan secara tepat.
Tidak ada yang tinggal kelas. Bahkan, akan dinilai semakin berhasil pula
ketika ada kelas untuk aklselerasi. Saya tidak mau terlalu jauh ke sana.
Hanya memang, adalah kenyataan bahwa sekolah "mewajibkan” agar siswanya
selalu lulus dengan cara menginflasi nilai sehingga pembelajaran jauh dari
hakikat berpikir. Ada
sekolah, tetapi tak ada belajar. Ada jadwal belajar, tetapi tak ada
pembelajaran. Ada jam pembelajaran, tetapi tak ada jam untuk membentuk
kedalaman berpikir. Padahal, untuk apa bersekolah jika tak berpikir? Kronologis Kedua,
pemaknaan pada "memperoleh nilai sikap baik" juga harus tepat.
Selama ini, kita memaknai nilai sikap hanya dengan kehadiran siswa dan
karakternya. Yang lebih dramatis, karena ada "kewajiban" naik
kelas, setiap guru minimal harus membuat predikat "B" pada sikap
siswa. Namun,
perlu diperdalam lagi bahwa arti sikap baik tak melulu soal karakter sehingga
ketika siswa hadir terus, duduk tenang, mengerjakan tugas seadanya, maka
siswa itu sudah dinilai baik. Dalam arti yang sebenarnya, siswa tersebut
justru sangat buruk karena memperlakukan proses pembelajaran sebagai sesuatu
yang kering. Ia tak bernyawa. Nah,
arti sikap-baik sebenarnya lebih pada semangat, antusiasme, dan
proaktivitasnya ketika belajar. Atau, dalam rumus yang mendetail sudah
tersuratkan pada profil siswa Indonesia (profil Pelajar Pancasila). Karena
itu, setiap guru harus merangsang agar siswa tak lagi diajarkan untuk duduk
tenang dan adem ayem di kelas. Percayalah, sikap baik yang selama ini kita
bina dengan adem ayem justru adalah anak kandung dari kebodohan. Perlu
dipahamkan ulang, pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang bising,
tetapi penuh akan dialektika dan terkontrol. Sebaliknya, pembelajaran yang
buruk adalah pembelajaran yang tenang, diam, tetapi kerontang. Terakhir,
sebagai puncaknya, kita harus cermat memaknai apa itu "lulus
US/M/PK". Jika dicermati, poin (a) dan poin (b) adalah mesin proses
untuk bisa meraih poin (c). Setiap ukuran itu adalah jalan panjang yang utuh,
bukan terpenggal-penggal. Sebagai sebuah ukuran, sifatnya adalah kronologis,
dimulai dari (a) ke (b) sebelum akhirnya ke (c). Faktanya, selama ini, kita
cenderung memotong jalan langsung ke (c) sehingga siswa tak menghidupi
pembelajaran. Karena
itu, mumpung rezim tes standar sudah dihilangkan, sebaiknya kita kembali ke
alat ukur pendidikan yang benar. Tentu tujuannya adalah agar pembelajaran
kita semakin bermakna dan bukan lagi mekanis seperti sediakala. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/10/07/alat-ukur-keberhasilan-pendidikan/ |
Artikel menarik dan inspiratif.
BalasHapus