Santri,
Kitab Kuning, dan Bahasa Arab Ahmad Sahidah ; Kepala Staf Pimpinan Pondok Pesantren Nurul
Jadid Probolinggo |
KOMPAS, 30 September 2021
Pernyataan
Muhammad Kace bahwa Kitab Kuning memicu radikalisme memantik penolakan
publik. Demikian pula, pengaitan bahasa Arab dengan terorisme oleh
Susaningtyas Nefo Kertopati mendapatkan kecaman luas. Tentu, kita harus
membedakan keduanya karena dua sosok ini berada di dalam ranah emosional yang
tidak sama. Namun, pandangan-pandangan itu tetap mesti ditimbang. Radikalisme
berakar dari banyak faktor. Peubah (variabel) dari sikap ini muncul dari
banyak arah dan sumber, seperti konflik politik pemerintahan, perebutan akses
ekonomi, dan penguasaan ruang sosial. Pendek kata, tuduhan Kace bahwa Kitab
Kuning menyuburkan fanatisme adalah penyederhanaan dan pengaburan dari kata
radix, akar lema radikal, dan penyempitan makna dari turats atau teks
berbahasa Arab yang mengurai ilmu-ilmu keagamaan, seperti kalam (teologi),
fikih, dan hadits. Kitab Kuning Kata
Edward Said, sarjana Palestina, dalam perdebatan, seseorang cenderung
memungut satu bukti untuk mengukuhkan pendapatnya. Ini tidak hanya terjadi
pada Kace, yang memang hendak mendegradasi obyek. Berbeda
dengan percakapan hermeneutik Gadamerian, perbincangan seeloknya membuka diri
pada kemungkinan kesalahan (dogta ignorantia) sehingga masing-masing terbuka
terhadap pandangan orang lain. Akhirnya, setiap penafsir akan memusatkan pada
pokok persoalan, bukan memenangkan perdebatan. Kitab
Kuning adalah khazanah klasik pondok pesantren yang dirawat hingga ini. Dulu,
buku-buku keislaman dicetak dengan kertas berwarna kuning. Namun, kini banyak
karya para ulama, terutama mutakhir, dicetak dengan kertas putih. Namun,
santri tidak menyebutnya kitab putih. Secara umum, kitab yang diajarkan di
pesantren adalah tasawuf (mistisisme), fikih, hadits, tarikh (sejarah) dan Al
Quran. Fikih
yang mengulas ibadah dan muamalah (hubungan sosial dan ekonomi) mendapat tempat
yang istimewa, seperti diurai dalam Fathul Mu’in dan Kifayatul Akhyar. Tentu,
ulasan di dalamnya senantiasa dikaji karena ia terkait dengan praktik
sehari-hari. Meskipun demikian, bab jinayah (kejahatan) tidak mendorong
santri untuk memaksakan agar diterapkan, karena hukum potong tangan masih
bisa ditafsirkan kembali sesuai dengan konteks historis dan zaman. Bahkan,
kaum santrilah yang berusaha untuk mengembangkan ekonomi Islam sebagai
praktik bank muamalah. Namun tidak semua pondok dan santri menggunakan bank
tanpa bunga, malah turut menjadi nasabah bank konvensional. Pendek
kata, perbedaan dalam memahami hukum mencerminkan isi dari kitab fikih yang
memuat ikhtilaf (perselisihan) di antara banyak sarjana. Apalagi, dari empat
imam mazhab utama, kita bisa meneladankan sikap tawaduk mereka terhadap orang
yang memiliki pandangan yang berbeda. Dari sini, radikalisme, memandang
kelompoknya sebagai satu-satu penganut kebenaran, sejatinya bukan pilihan. Bahasa Arab Bagi
santri, bahasa rumpun semitik ini mendapat tempat istimewa. Tidak saja
digunakan dalam sembahyang, tetapi ia juga menjadi ekspresi kesenian. Kaum
sarungan begitu menikmati gambus, kasidah, dan hadrah yang menjadikan bahasa
Arab sebagai lirik. Tidak dapat dielakkan, emosi artistik mereka begitu melekat
dengan bahasa ”surga” tersebut. Menariknya, banyak pelajar (bahasa Arab:
taliban) pondok juga menyukai musik Arab modern, seperti yang dibawakan olah
Fairuz atau Nancy Ajram. Jika
seorang santri menikmati Habbaytak bi al-Shayf (Saya Mencintaimu di Musim
Panas) yang dibawakan oleh Fairuz, ia sejatinya terbuka bagi fungsi bahasa
yang universal. Fairuz adalah penyanyi kenamaan Libanon, yang juga membawakan
lagu Natal dalam bahasa Arab dengan sangat indah, ”Lailah ‘Id”. Santri tidak
terganggu dengan pengalaman keberagamaan orang lain, malah di sini yang
bersangkutan melihat titik temu di antara agama-agama besar Ibrahim, yakni
Kristen dan Islam. Berbeda
dengan bahasa Arab di benak teroris. Dulu, otak pelaku pengirim bom buku
tertangkap. Sebelumnya, pihak aparat berhasil membuat gambar sketsa sang
kurir, yang berwajah tirus, berpipi kurus, dan bermata sayu. Kelompoknya
menyebut dirinya sebagai Firaqul Maut wal Ightiyalat. Mengapa
ada kecenderungan pelaku dan nama organisasi yang menggelorakan kekerasan
menggunakan bahasa Arab? Jelas, di benak para pelaku kekerasan nama berbahasa
Indonesia atau Jawa tidak mencerminkan ”Islam” otentik sehingga istilah
berbahasa Arab wajib digunakan untuk menyatakan diri sebagai Muslim sejati. Tidak
hanya itu, istilah-istilah teknis yang berkaitan dengan organisasi teroris
berbahasa Arab, seperti ketua dengan amir, dan struktur organisasi juga
menggunakan kata Arab, misalnya mantiqi untuk menggantikan kata divisi
teritorial. Uniknya, di beberapa wilayah di Indonesia, nama-nama warung
telekomunikasi juga berbahasa Arab, seperti Al-Hidayah dan An-Nur, sebelum
akhirnya banyak yang ditutup karena kalah bersaing dengan telepon seluler. Sejatinya
bahasa Arab berbagi dengan bahasa lain yang dikaitkan dengan ketuhanan, yaitu
Belanda dan Sanskerta (Robert Phillipson, Linguistic Imperialism Continued,
2009). Namun, mengingat kata Nelson Mandela bahwa bahasa ibu sampai ke dalam
hati, maka bahasa itu bisa dijadikan alat untuk mendatangkan efek psikologis
pada pendengarnya. Misalnya, saya merasa tersentuh apabila mendengar syair
kematian Kiai Aminullah dalam bahasa Madura. Dari
uraian di atas, Kitab Kuning dan bahasa Arab adalah sumber dan alat utama
untuk fondasi teologis, ideologis, dan praktis dalam kehidupan sosial,
ekonomi, dan politik. Tentu, santri sebagai subkultur dari kebudayaan besar
Indonesia tidak lagi selalu berada di zona nyaman. Kitab
Kuning tidak hanya soal agama, tetapi juga politik, seperti al-Ahkam
al-Sulthaniyyah al-Mawardi, dan kedokteran (Qanun al-Thib Ibn Sina). Jika
negara mengakomodasi semua kepercayaan ini secara formal, seperti sekolah
agama, bank syariah, zakat, dan perdata Islam, pandangan primordial dalam
sistem undang-undang nasional adalah mozaik. Justru,
tantangan yang jauh lebih besar adalah bagaimana kebajikan berdasar agama itu
merembes kepada kebutuhan khalayak lebih luas, yang tidak dikerangkeng oleh
sentimen sempit. Ada kesepahaman yang sama (kalimatun sawa’) yang akan
menyatukan santri dengan elemen lain bangsa ini, yaitu keadilan bagi seluruh
rakyat. Dengan demikian, pesan utama dari syariat, yaitu berkah bagi seluruh
manusia dan semesta alam, telah terpenuhi sesuai dengan semangat zaman dan
tempat. Lebih
jauh, kecintaan kepada Tanah Air diungkapkan oleh santri dengan menyanyikan
lagu ”Ya Lal Watan”, sebuah gubahan oleh Kiai Wahab Hasbullah dalam bahasa
Arab. Sebuah lirik cintamu dalam imanku menempatkan kesadaran beragama tidak
dipisahkan dengan patriotisme dan nasionalisme. Malah, Pancakesadaran Pondok
Pesantren Nurul Jadid, Paiton, menjadikan al-wa’y al-hukmi wa al-sya’bi
(kesadaran bernegara dan berbangsa) sebagai bagian dari sebuah kesatuan dari
kesadaran lain, yaitu beragama (al-dini), berilmu (al-ilmi), berorganisasi
(al-nizhami), dan bermasyarakat (al-ijtima’i). Betapa
pun dilihat sebagai subkultur dari kebudayaan besar dari rumah keindonesiaan,
pondok pesantren telah mewarnai banyak aspek dalam kehidupan ekonomi, sosial,
dan politik masyarakat. Pada waktu yang bersamaan, kaum santri tidak akan
menjadikan tradisi Kitab Kuning dan bahasa Arab sebagai identitas primordial.
Dengan memahami pesannya secara utuh, pemahaman keagamaan dikaitkan tujuan
syariah yang lebih sejagad atau universal, yaitu menyelamatkan manusia
(al-nafs), ilmu pengetahuan (al-‘aql), generasi selanjutnya (al-nasl), kekayaan
bersama (al-mal), dan agama (al-din). Atas
dasar inilah, kesepakatan bersama untuk menjadikan negeri ini sebagai rumah
bersama dari banyak warga dari pelbagai latar belakang adalah selaras dengan
nilai-nilai instrinsik keagamaan. Apalagi, puncak dari kepercayaan terhadap
ajaran itu adalah terwujudnya pribadi dan masyarakat yang berbudi pekerti
(akhlaq al-karimah). Untuk itu dalam bidang apa pun, santri seeloknya tampil
sebagai sosok yang memegang amanah, toleran, dan terbuka pada perbedaan. Lebih
jauh, santri kini tidak hanya berkutat pada tradisi kesarjanaan agama per se,
tetapi juga ilmu-ilmu humaniora. Dengan merujuk pada Antonio Gramscy, mereka
tidak melihat Kitab Kuning sebagai karya yang selesai. Menurut sarjana Italia
ini, produksi pengetahuan dan penerimaan serta transformasinya bersifat
historis, dialektik, dan kritis (Henry Giroux, 2000: 101). Apabila
dalam fikih ada bab ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati), sejauh mana
tafsir dalam konteks zaman kontemporer terkait akses publik terhadap pengelolaan
tanah. Inilah sejatinya tugas yang mesti dipikul oleh kaum sarungan, yakni
menyelaraskan pesan agama dengan kepentingan dan kesejahteraan publik secara
keseluruhan. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/30/santri-kitab-kuning-dan-bahasa-arab/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar