Musim
PKI yang Sepi dan Devaluasi Kapital Simbolik Al-Zastrouw ; Budayawan, Dosen Pasca Sarjana UNSIA
Jakarta, Kepala UPT Makara Art Center UI Jakarta |
WATYUTINK, 30 September 2021
Ibarat
tanaman, isu PKI adalah tanaman yang berbuah setahun sekali, yaitu setiap
akhir bulan September. Di Indonesia, banyak orang yang merawat dan menjaga
“pohon” ini karena memiliki manfaat besar bagi pemiliknya. Buah dari “pohon
PKI” ini dapat menjadi sumber ekonomi dan kekuatan politik. Bahkan pada momen
tertentu, terutama saat ada hajatan politik, harga buah dari “pohon PKI” ini
bisa sangat mahal. Biasanya,
saat musim PKI tiba, para broker akan sibuk menjajakan “buah” ini kepada para
bandar. Para broker akan memoles “buah” ini dengan berbagai hiasan agar
terlihat cantik dan indah demi menarik perhatian para bandar agar mau
membeli. Selain itu, para broker juga akan menabur bumbu-bumbu untuk menambah
cita rasa agar masyarakat merasa nikmat mengkonsumsinya. Tidak jarang para
broker menggunakan bumbu-bumbu agama untuk menambah vitalitas orang-orang
yang mengkonsumsi supaya menjadi lebih sangar dan garang. Pada
saat musim PKI tiba, terjadi proses tawar menawar secara sembunyi-sembunyi di
balik layar antara para broker dan bandar. Setelah itu terjadi hiruk pikuk di
tengah masyarat akibat mabuk “buah PKI” yang disajikan oleh para bandar dan
broker. Terjadi proses saling hujat, saling laknat di antara sesama warga
bangsa. Bertebaran fitnah, caci maki, olok-olok dengan berbagai macam kata
jorok yang penuh kebencian. Inilah kenyataan yang terjadi beberapa tahun
terakhir setiap musim PKI tiba. Tidak
seperti tahun-tahun sebelumnya, musim PKI tahun ini tidak begitu heboh dan
berisik. Tahun ini hampir tidak ada keributan dan perdebatan yang berarti
terkait dengan isu PKI. Beberapa tokoh lama seperti Gatot Nurmantyo, Amien
Rais, Alfian Tanjung dan lain-lain yang terus menjajakan isu ini ke publik
kurang mendapat respon yang berarti. Hal ini berbeda dengan tahun sebelumnya
yang masih mendapat respon publik terutama saat Gatot Nurmantyo dicegah
melakukan tabur bunga di Makam Pahlawan Kalibata saat peringatan G30S/PKI.
Peristiwa ini sempat menjadi perdebatan yang menyita perhatian publik Dalam
konsep modal yang dikonstruksi Bourdieu (1986), isu PKI ini bisa masuk dalam
katagori modal simbolik yaitu modal yang dibangun berdasar dialektika
pengetahuan dan pengenalan sehingga membentuk prestise bagi individu mupun
masyarakat. Dalam konteks isu PKI, pengenalan peristiwa pemberontakan PKI
yang diajarkan secara masif dan intensif telah menjadi pengetahuan yang
mempengaruhi kesadaran bangsa Indonesia, sehingga menjadi kapital simbolik
yang dapat dikuasai oleh sekelompok orang baik secara pribadi maupun bersama. Ketika
suatu isu/peristiwa telah di-create sedemikian melalui berbagai proses sosial
sehingga menjadi simbolik maka dia memiliki nilai tukar (kekuatan untuk
dipertukarkan). Sang pemilik modal simbolik dapat menggunakannya sebagai
kekuatan untuk melakukan negosiasi dengan pemilik modal lain atau
menyingkirkan agen (pemilik modal) yang lebih lemah. Proses
pertukaran (konversi) antar kapital (kapital sosial, kultural, simbolik dan
ekonomi) ini terjadi secara fluktuatif. Artinya nilai masing kapital
mengalami naik turun. Pada saat tertentu, simbolik memiliki nilai yang sangat
tinggi dibanding dengan kapital ekonomi. Pada saat seperti ini harga kapital
simbolik menjadi mahal. Hukum ekonomi supply and demand berlaku dalam proses
konversi antar kapital. Ada
beberapa hal yang mempengaruhi nilai tukar dari kapital simbolik (juga
kapital sosial dan kultural) terhadap kapital ekonomi (Zastrouw, 2009),
pertama, momentum politik. Pada saat terjadi hajatan politik seperti pemilu
atau pilkada maka harga kapital simbolik menjadi sangat tinggi. Kedua ketika
ada konflik. Pada momentum ini kapital simbolik, juga kapital sosial dan
kultural, memiliki nilai tukar tinggi baik, karena pada saat ini kapital
simbolik diperlukan baik untuk menghentikan ataupun meneruskan konflik.
Ketiga, ketika terjadi proses industrialisasi, misalnya untuk membangun
pabrik di suatu daerah dan sejenisnya. Pada momentum seperti ini biasanya
nilai tukar kapital simbolik sosial maupun kultural akan semakin naik.
Keempat, bobot atau kekuatan dari kapital simbolik itu sendiri. Suatu kapital
simbolik yang memiliki legitimasi kuat, sangat prestisius dan memiliki
pengaruh yang besar, maka akan memiliki nilai yang sangat tinggi. Berdasarkan
pada analisa di atas, Sepinya isu PKI tahun ini menunjukkan adanya beberapa
kemungkinan. Pertama, tidak sedang terjadi tarik menarik kepentingan politik
yang berarti sehingga tidak memerlukan kapital simbolik sebagai pendukung.
Kedua terjadi devaluasi isu PKI sebagai kapital simbolik. Artinya, isu PKI
sudah tidak lagi menjadi kekuatan yang diperhatikan dalam percaturan politik
karena rakyat sudah bosan dan paham dengan isu tersebut. Jika
kemungkinan kedua yang terjadi, maka ini merupakan lampu kuning bagi para
pemilik kapital simbolik ini. Artinya orang-orang yang merawat dan menjaga isu
PKI sebagai bahan untuk melakukan negosiasi politik dan menangguk keuntungan
ekonomi, harus mulai siap-siap untuk mencari alernatif lain yang bisa
dijadikan dijadikan sebagai kapital simbolik. Dan ini artinya kita tidak
dapat lagi menyaksikan hiruk pikuk saat musim PKI tiba, atau bahkan tak ada
lagi musim PKI karena sudah tidak ada yang peduli. ● Sumber : https://www.watyutink.com/topik/berpikir-merdeka/Musim-PKI-yang-Sepi-dan-Devaluasi-Kapital-Simbolik |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar