Urgensi
Reformasi Sistem Penjara Ramah HAM Usman Hamid ; Direktur Amnesty International Indonesia dan
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera; Dewan Pakar Peradi RBA |
KOMPAS, 21 September 2021
Tragedi
kebakaran penjara yang menewaskan puluhan narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Tangerang, Banten, baru-baru ini menjadi momentum yang
tepat bagi pemerintah untuk mereformasi sistem pemasyarakatan menjadi lebih
ramah hak asasi manusia. Di
penjara-penjara di seluruh dunia, Amnesty International mencatat, narapidana
dan tahanan ditempatkan dalam kondisi yang mengancam kesehatan dan hidup
mereka. Tak sedikit yang mengalami perlakuan atau hukuman yang tak manusiawi,
kejam, atau merendahkan martabat. Mereka
sering kali ditempatkan di ruang yang tidak memiliki ventilasi, cahaya, atau
pemanas yang cukup. Ruang yang sesak membuat mereka harus bergiliran
berbaring untuk tidur. Buruknya kondisi sanitasi, kekurangan nutrisi, dan perawatan
medis yang tidak memadai jelas berbahaya bagi kesehatan dan telah berakibat
kematian serta penyakit serius pada populasi penjara yang sesak, termasuk di
masa pandemi. Gambaran
kondisi penjara-penjara di Indonesia juga tidak berbeda. Masalah-masalah
seperti sesaknya penjara, ventilasi, instalasi air/listrik, pungutan liar,
gizi makanan, hingga perlakuan buruk petugas dan sesama narapidana yang
”menguasai” penjara merupakan rahasia umum. Penjara-penjara
di Indonesia memang kelebihan warga binaan (overcrowding). Lapas Kelas I
Tangerang, misalnya, menampung 2.072 orang dari yang seharusnya hanya 600
orang (Ditjen Lapas, 7 September 2021). Contoh lain, Lapas Kelas I Cipinang,
Jakarta, yang berkapasitas hanya 880 orang ternyata menampung 3.358 warga binaan.
Bahkan, Lapas Kelas IIA Kerobokan, Bali, memiliki 1.572 warga binaan dengan
kapasitas hanya untuk 323 orang. Saya
setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa besarnya jumlah warga binaan
yang melebihi kapasitas menyebabkan masalah overcrowding. Masalah ini turut
mengakibatkan banyaknya warga binaan yang tewas saat kebakaran Lapas Kelas I
Tangerang. Setidaknya 44 narapidana tewas dan 70-an orang luka-luka. Selain
overcrowding, faktor lain adalah
lemahnya sistem deteksi api, tak sebandingnya jumlah petugas dengan jumlah
narapidana, kondisi bangunan yang tua, serta jalur evakuasi yang terbatas.
Pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan HAM, harus bertanggung jawab.
Dari aspek manajemen lapas, Menteri Hukum dan HAM beserta Ditjen Lapas
bertanggung jawab tidak sekadar membuat peraturan, tetapi memastikan aturan
itu dilaksanakan di lapangan. Sebagai
contoh, meski telah menerbitkan peraturan dirjen soal mitigasi bencana,
mereka juga bertanggung jawab untuk melakukan sosialisasi, pengadaan anggaran
dan sumber daya lainnya, hingga pelatihan dan pengawasan guna memastikan
berjalannya sistem perlindungan. Tugas besar ini memerlukan pejabat yang ahli
di bidangnya dan memiliki kepedulian tinggi. Kegagalan melakukan itu semua
menjelaskan kematian yang tinggi dalam kejadian kebakaran tersebut. Wajar
jika ada desakan agar Menkumham dan Dirjen Lapas mengundurkan diri. Tap MPR
VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa jelas menyatakan, ”Etika
pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian
tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa
dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu
memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara”. Terlebih, kasus ini
mengakibatkan hilangnya banyak nyawa. Mundurnya
pejabat tentu tidak menyelesaikan masalah. Memang bukan untuk itu, melainkan
bentuk pembelajaran dan pertanggungjawaban etik atas ketidakmampuan
melindungi warga binaan yang tengah menjalani hukuman negara. Menyalahkan
dirjen lapas atas overcrowding juga
keliru. Sebab, ia tidak berwenang menolak masuknya warga binaan baru. Overcrowding akan ada selama
pemerintah hanya mengandalkan hukum dan kebijakan pengendalian kejahatan
berbasis kriminalisasi. Overcrowding
juga tidak akan hilang jika praktiknya, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan
terus melaksanakan hukum tanpa melihat implikasinya pada populasi penjara. Pemerintah
bukan tak pernah melakukan sesuatu. Ketika virus korona mendorong kelebihan
penghuni pada penjara di negara-negara Asia Tenggara, Indonesia sempat
mengikuti seruan PBB untuk mengurangi populasi penjara guna mencegah
risiko-risiko penyebaran virus dengan memberi pembebasan bersyarat kepada
90.000 narapidana yang mendekati akhir masa hukuman, berusia lanjut, dan
melakukan kejahatan ringan. Akan
tetapi, negara belum berbuat cukup. Amnesty International sempat mendesak
pembebasan semua tahanan politik, seperti 18 orang Maluku dan Papua yang
dipenjara di bawah pasal makar hanya karena mengekspresikan pendapat secara
damai. Bersama organisasi HAM lain, Amnesty International berulang kali
mendesak pembebasan mereka yang dipenjara karena pasal-pasal karet UU ITE. Namun,
seruan itu diabaikan. Bahkan, awal bulan ini, dosen universitas di Aceh,
Saiful Mahdi, telah dikirim ke penjara, memulai hukuman tiga bulannya terkait
pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE karena mengkritik proses rekrutmen
universitas di grup Whatsapp. Artinya,
kepadatan penjara tak akan pernah bisa diselesaikan jika bahkan perbedaan
pendapat yang damai—seperti di Papua atau dalam kehidupan akademik—pun
dilarang dan berujung pemenjaraan. Penjara akan terus mengalami overcrowding. Pada
masa pandemi, angka kejahatan melonjak secara drastis. Akan tetapi, apakah
pengendalian berbasis pemenjaraan akan mengatasi masalah? Bagaimana dengan
faktor kesulitan ekonomi akibat pandemi? Negara perlu memperbaiki jaminan
sosial dan bantuan sosial bagi masyarakat yang kesusahan dan terjebak
kejahatan, bukan mengirim mereka ke penjara atas nama pengendalian kejahatan. Menko
Polhukam Mahfud MD berjanji menyediakan lahan guna menambah sarana-prasarana
penjara. Namun, solusi ini pun terancam gagal jika tidak diikuti oleh solusi
lain. Solusi Lalu
bagaimana solusinya? Dalam jangka pendek, pemerintah wajib memastikan bahwa
hukum beserta praktik pemenjaraan dalam lembaga pemasyarakatan sesuai dengan
standar HAM internasional, khususnya Peraturan Standar Minimum PBB untuk
Perlakuan terhadap Tahanan dan Prinsip PBB untuk Perlindungan Semua Orang di
Bawah Segala Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan. Salah
satunya adalah memperbaiki kondisi fisik dan sistem layanan penjara.
Pemenuhan hak-hak para narapidana dan tahanan akan akses pengacara, dokter,
dan anggota keluarga ke tahanan, hingga adanya inspeksi yang independen
terhadap penjara dan fasilitas penahanan lainnya, dapat membantu pemerintah
dalam memastikan kondisi penjara memenuhi standar internasional. Dalam
jangka panjang, pemerintah harus mengubah orientasi kebijakan yang berfokus
pada pelarangan dan pemidanaan (kriminalisasi) berbasis penghukuman melalui
pemenjaraan. Baik sebelum maupun setelah pandemi, salah satu penyumbang
terbesar dari populasi penjara adalah kasus penyalahgunaan narkotika dan zat
adiktif (Sudaryono 2021). Dalam
kasus narkoba, pendekatan larangan dan kriminalisasi terbukti tak efektif,
bahkan telah menghancurkan kehidupan orang-orang yang memakai, memproduksi,
dan memasok, termasuk keluarga mereka yang terkena dampak kebijakan berbasis
penghukuman tersebut. Mereka
yang dipenjara karena tuduhan ”pengedar narkoba” pun kebanyakan orang-orang
kecil yang tergoda iming-iming uang besar. Jadi, ada strategi kebijakan yang
disalahpahami oleh para penegak hukum dan pemerintah dalam mencegah
penggunaan dan peredaran narkoba. Secara
keseluruhan, negara perlu mengambil lima tambahan. Pertama, mengarahkan
kebijakan pengendalian napza menuju perwujudan hak asasi manusia. Ini
termasuk menjamin standar kesehatan tertinggi bagi pengguna napza dan hak
kelompok lain yang terdampak kebijakan pengendalian napza yang bersifat
menghukum. Rehabilitasi lebih diutamakan daripada kriminalisasi. Kedua,
mengatasi ketidaksetaraan sosial di masyarakat yang meningkatkan risiko
penggunaan narkoba dan membuat orang bisa terlibat dalam peredaran narkoba
dengan mempromosikan perspektif keadilan sosial dan memajukan hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya. Ketiga,
mengatasi ketidakadilan yang mengakar dalam sistem peradilan pidana. Keempat,
mengurangi kekerasan terkait operasi penegakan hukum atas narkoba. Kelima,
bekerja sama dengan negara-negara lain mendorong reformasi rezim pengendalian
kejahatan. Singkatnya,
negara harus memajukan hukum dan kebijakan pengendalian kejahatan yang lebih
manusiawi, efektif, dan berbasis bukti yang melindungi keselamatan
masyarakat. Dengan begitu, sistem pemasyarakatan kita akan lebih ramah HAM. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/21/urgensi-reformasi-sistem-penjara-ramah-ham/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar