Mural,
Socrates, dan Suara Hati bagi Kebenaran Eko Wijayanto ; Dosen Filsafat Universitas Indonesia |
KOMPAS, 15 September 2021
Hidup yang tak dipikirkan adalah hidup
yang tak layak untuk dijalani. (Socrates) Beberapa
pakar sosiologi politik dan pengamat kebebasan berekspresi menyebut
penghapusan terhadap sejumlah mural berisi kritik sebagai bagian karakter
pemerintah yang “paranoid terhadap kritik”. Karya
seni itu disebut sebagai protes yang tidak membahayakan, dan menurut para
pakar tersebut, ekspresi melalui mural itu menunjukkan kebuntuan atau
sumbatan pada saluran aspirasi di ruang lain. Alih-alih
mendengarkan dan mengoreksi kebijakan, respons yang kini diambil pemerintah
dianggap tidak tepat, kata mereka. Namun
Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Bidang Komunikasi, Faldo Maldini
mengatakan, pemerintah bukannya anti kritik, tapi ia beralasan kebebasan
berekspresi yang disampaikan juga harus berdasarkan koridor hukum. Pengamat
politik, Ujang Komarudin membandingkan kasus penghapusan mural mirip Presiden
Joko Widodo yang bertuliskan "404: Not Found" dengan kasus yang
terjadi di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut Ujang, di
era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ada kasus di mana nama
SBY ditulis di atas badan kerbau. Namun, ia mengatakan, tidak ada aparat
penegak hukum yang mencari penulis nama SBY di kerbau itu. “Namanya
(SBY) disebut di sebuah kerbau, itu juga tidak pernah itu dilaporkan, tidak
pernah penegak okum mencari-cari kesalahan para pendemonya, para penulis nama
presiden yang di kerbau,” kata Ujang (Kompas.com, Selasa (18/8/2021). Terkait
mural mirip Jokowi ini, polisi berupaya mencari pembuat mural dan menghapus
mural tersebut dengan cat hitam. Menurut Ujang, aparat kepolisian saat ini
terlalu paranoid. Padahal, ia menilai, mural tersebut belum tentu bermaksud
untuk mengkritik Jokowi. Pemikiran kritis Apakah
terdapat kemungkinan intervensi pikiran kritis di dalam kehidupan sehari-hari?
Perspektif pemikiran kritis bisa digunakan untuk mendiagnosa tanda-tanda dari
segala aspek kehidupan, seperti coretan mural di dinding kota, dan
tanda-tanda itu dilawangunakan untuk menciptakan sudut pandang baru dalam
melihat problem. Coretan di dinding, mural, bukan sebagai lawan, tapi
sejumlah seniman yang mengekspresikan diri, atau pun mewakili suara hati
rakyat kecil. Pertanyaan
yang diangkat dalam problem akan membawa kondisi apakah kita akan menemukan
masalah baru dan juga pikiran baru. Contoh
pertama ada di dalam karya Plato yang berjudul Gorgias. Karya yang berisi
dialog antara Socrates dan Callicles tersebut menggambarkan perbedaan dalam
pemikiran. Callicles berargumen bahwa kekuasaan adalah hak, manusia yang
berbahagia adalah tirani yang berkuasa dengan kelicikan dan kekerasan
terhadap orang lain. Sedangkan Socrates berpendapat bahwa manusia sejati yang
sama dengan manusia bahagia adalah adil. Di
antara keadilan sebagai kekerasan dan keadilan sebagai pemikiran, tidak ada
oposisi yang sederhana. Ada kekurangan dari relasi yang sebenarnya. Sehingga
diskusi dalam problem ini bukanlah diskusi, melainkan sebuah konfrontasi.
Akan ada yang menjadi pemenang dan yang kalah dari hal ini. Pada
akhirnya Callicles yang kalah dalam adu argumentasi tersebut. Situasi
tersebut memperlihatkan bahwa tugas filsafat adalah untuk menunjukkan kepada
kita bahwa kita harus memilih. Kita harus memutuskan apakah kita akan berada
di sisi Socrates atau Callicles. Di
dalam contoh ini, filsafat mengkonfrontasi pikiran untuk menjatuhkan
keputusan dan menjelaskan pilihan tersebut. Jadi, kita bisa mengatakan bahwa
sebuah situasi filosofis mengandung momen ketika sebuah pilihan dijelaskan. Contoh
ke dua adalah kematian seorang ahli matematika terkenal, bernama Archimedes.
Kematian Archimedes terjadi ketika beliau disuruh menghadap Jendral Romawi
yang berkuasa saat itu, yaitu Jendral Marcellus. Archimedes masih tetap ingin
melanjutkan kegiatan kalkulasinya dan memilih menunda bertemu Jendral Romawi tersebut. Akibatnya, sang utusan
Jendral tidak tahan melihat kelakuan Archimedes kemudian mengambil pedangnya
dan menusukkannya kepada tubuh Archimedes sehingga Archimedes tewas. Situasi
tersebut masuk dalam kategori filosofis karena menunjukkan bahwa di antara
hak negara dan pemikiran kreatif, khususnya pemikiran ontologis murni seperti
matematika, tidak ada tolak ukur yang sama. Pada akhirnya, ukuran kekuatan
adalah kekuasaan, sementara kendala-kendala pemikiran kreatif adalah
peraturan-peraturan imanen. Ketika
sampai di hukum pemikirannya, Archimedes tetap di luar aksi kekuatannya.
Seperti demonstrasi tidak bisa mengintegrasikan tuntutan rakyat kepada
penguasa militer. Seperti itu alasan mengapa kekerasan akhirnya ditempa,
tidak ada tolak ukur yang sama dan tidak ada kronologis yang sama di antara
kekuatan satu pihak dan kebenaran dari yang lainnya. Kebenaran sebagai kreasi
penciptanya semata. Kita
bisa mengatakan bahwa di antara kekuatan dan kebenaran ada jarak: jarak di
antara Marcellus dan Archimedes. Sebuah jarak sang utusan tidak bisa mengatur
mereka berdua. Tugas filsafat di sini adalah untuk menjelaskan jarak
tersebut. Upaya tersebut membutuhkan perenungan dan pemikiran mengenai sebuah
jarak tanpa mengukur terlebih dahulu, atau sebuah jarak yang harusnya
filsafat temukan sendiri. Contoh
ketiga adalah sebuah film karya seorang sutradara Jepang bernama Mizoguchi
yang berjudul The Crucified Lovers. Film dengan penggambaran masa klasik
Jepang berisi kisah mengenai seorang perempuan muda yang terpaksa menikah
dengan pemilik toko kecil, seorang lelaki jujur, tetapi tidak dicintainya.
Gadis tersebut telah menjalin cinta dengan lelaki lain yang tidak lain adalah
karyawan di toko suaminya. Cinta yang dianggap sebagai perzinahan tersebut
harus dibayar dengan kematian menurut masyarakat. Kedua kekasih itu akhirnya
lari ke sisi kota. Sementara
itu, suami yang jujur mencoba menutupi pelarian istrinya dengan menganggap
bahwa sang istri sedang pergi meninggalkan tempat mereka untuk mengunjungi
kerabat di luar sana. Akan tetapi, pasangan kekasih itu tertangkap dan dibawa
ke tempat penyiksaan. Mereka diikat dalam perjalanannya menuju kematian yang
mengerikan. Ada senyum di wajah mereka yang mengungkapkan bahwa lelaki dan
perempuan itu masih ada di dalam cinta mereka. Adegan itu menyatakan cinta
adalah apa yang menolak kematian. Seorang
filsuf terkemuka bernama Gilles Deleuze pernah mengatakan bahwa seni adalah
yang menolak kematian. Di dalam film ini, seni Mizoguchi tidak hanya menolak
kematian, tetapi juga membuat kita berpikir bahwa cinta juga menolak
kematian. Hal ini membuat sebuah kompleksitas antara cinta dan seni. Di
antara peristiwa cinta dan aturan-aturan umum kehidupan sebenarnya tidak
dapat dibandingkan. Filsafat mengajarkan kita untuk memikirkan peristiwa dan
membuat pengecualian. Kita harus tahu apa yang harus kita katakan tentang apa
yang tidak biasa. Sekarang
kita bisa merangkum pikiran di atas ini. Pertama, pilihan adalah selalu di
antara yang membuat kita tertarik dan yang tidak membuat kita tertarik.
Kedua, untuk selalu melihat jarak antara pikiran dan kekuatan, di antara
kebenaran dan keadaan. Mengukur jarak penting untuk mengetahui apakah itu
bisa dilampaui atau tidak. Ketiga, untuk mengetahui nilai pengecualian dalam
suatu peristiwa untuk melawan konservatisme sosial. Itu
semua adalah tiga besar tugas dari upaya berpikir kritis: untuk berurusan
dengan pilihan, dengan jarak dan dengan pengecualian. Badiou berpendapat
bahwa sebuah konsep filosofis adalah sebuah kreasi hasil kesimpulan sebuah
masalah dari pilihan, sebuah masalah dari jarak, dan sebuah masalah dari
pengecualian peristiwa. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/15/mural-socrates-dan-suara-hati-bagi-kebenaran/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar