Kamis, 07 Oktober 2021

 

Transformasi Ekonomi Indonesia

Badri Munir Sukoco ;  Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

MEDIA INDONESIA, 17 September 2021

 

 

                                                           

TELAH 76 tahun Indonesia merdeka. Gerbang yang memungkinkan kita sederajat dengan negara lain. Cita-cita besar bangsa ialah menjadi negara maju pada 100 tahun kemerdekaan kita. Derajat inilah yang menjadikan Indonesia dapat berperan aktif dalam melaksanakan ketertiban dunia, sebagaimana amanat founding fathers kita. Apa yang harus dilakukan Indonesia untuk menjadi negara maju?  

 

Negara maju

 

Negara maju diistilahkan berbeda-beda: IMF menyebutnya advanced countries. UNDP menyebutnya developed countries, adapun World Bank dengan high-income countries.

 

Saat ini kontribusi negara maju pada perekonomian dunia beragam, naik dari 13% (1990) menjadi 17% (2010 - IMF), tetap 25% (UNDP) dan 16% menjadi 26% (World Bank). Negara maju juga didefinisikan secara beragam. Kesamaannya pembangunan sebuah negara yang diukur berdasarkan tingkat GDP per kapita (>US$12,696 pada 2020, naik jika dibandingkan dengan US$6,000 pada 1989), kestabilan ekonomi, politik, dan parameter sosial lain yang menunjukkan kekuatan sebuah negara, dan dominasi sektor industri dan jasa dalam perekonomian.

 

Tiongkok ialah negara yang terdepan untuk keluar dari middle income trap (MIT). Sejak memiliki GDP per kapita >US$1,000 pada 2001, akhir 2020 telah mencapai US$10,500. Malaysia mengalaminya lebih panjang, mulai 1977 hingga 2020 ($10,402). Hong Kong membutuhkan 14 tahun (1971-1984) untuk menjadi negara maju, sama dengan Korea Selatan.

 

Sementara itu, Singapura hanya membutuhkan 12 tahun (1971-1982) dan saat ini menjadi salah satu negara berpendapatan tertinggi di dunia. Beberapa negara terkategorikan MIT, misalnya Argentina yang sempat memiliki GDP per kapita US$14,613 (2017), kemudian turun (US$9,912 – 2019; US$8,442 - 2020). Begitu juga dengan Brasil maupun Rusia mengalaminya. Thailand memiliki kinerja lebih baik (US$7,817 – 2019; US$7,189 – 2020) jika dibandingkan dengan Indonesia (US$4,135 – 2019; US$3,870 – 2020). Kondisi inilah yang menurunkan status Indonesia dari upper- ke lower middle-income country.   

 

Transformasi ekonomi

 

Dalam RPJMN 2019-2024, program strategis Kabinet Indonesia Maju ialah transformasi ekonomi. Didefinisikan, sebagai proses yang berkesinambungan (McMillan dkk., 2017) untuk (a) memindahkan pekerja dan sumber daya lainnya dari yang berproduktivitas rendah menjadi tinggi (perubahan struktural), (b) meningkatkan pertumbuhan dalam sektor yang ada melalui penggunaan teknologi, dan (c) mendorong daerah-daerah yang potensial sebagai lokomotif pertumbuhan.

 

Data dari World Bank dan United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), menunjukkan perekonomian negara maju pada 2016-2019 didominasi sektor jasa (69,76%), diikuti agrokultur (16,23%), dan industri hanya 14,01%. Adapun untuk upper middle-income countries, jasa berkontribusi 55,44%, diikuti agrokultur (24,87%), dan industri (19,69%).

 

Struktur ekonomi tersebut berbeda dengan Indonesia, dengan jasa masih 43,72%, diikuti agrokultur (36,21%), dan industri (20,06%). Lebih dari setengah perekonomian Malaysia ialah sektor jasa (52,90%), diikuti agrokultur (25,44%), dan industri (21,65%).

 

Profil yang sama juga dimiliki Tiongkok dan Korea Selatan. Dominasi jasa sebagai kontributor terbesar, tetapi industri lebih besar jika dibandingkan dengan agrokultur. Pertumbuhan sektor dengan teknologi untuk efisiensi juga menarik untuk dicermati. Data UNIDO menunjukkan industri manufaktur Korea Selatan (+US$507 miliar) lebih dari seperempatnya, berasal dari teknologi informasi.

 

Tentu, penguasaan pasar yang tinggi di teknologi informasi oleh Samsung dan produsen lain merupakan alasannya. Bagi Tiongkok meskipun kontribusi teknologi informasi secara persentase tidak berubah signifikan, total output-nya naik 3x lipat jika dibandingkan dengan 2005. Adapun AS, kontribusi teknologi informasi sebesar 7,41% (2018) dengan total output industrinya sebesar +US$2,61 triliun.

 

Bagaimana dengan Indonesia? Industri makanan dan minuman (19,86%), petrokimia (12,37%), dan otomotif (10,43%) ialah tiga besar kontributor utama, dengan total output industrinya sebesar +US$163 miliar. Terakhir, menggunakan daerah tertentu sebagai pusat pertumbuhan baru (Zhou dan Hu, 2021).

 

Untuk Tiongkok, hal ini dimulai 1979 dengan menetapkan empat kawasan ekonomi khusus (Shenzhen, Zhuhai, Shantou, dan Xiamen), dengan tujuan utama menarik investasi dari perantauan. Dekade selanjutnya diperluas. Tidak hanya daerah dengan pelabuhan yang langsung berhadapan dengan laut, tetapi juga daerah yang menjadi muara sungai. Bila 1995 hanya Shanghai yang menjadi daerah upper middle-income, lima daerah telah berstatus high-income pada 2015: Beijing, Tianjin, Shanghai, Jiangsu, dan Zhejiang.

 

Hal ini terfasilitasi utamanya oleh pembangunan yang terintegrasi di bawah program nasional, utamanya belt and road initiative. Bagaimana dengan Indonesia? Tahun 2019, hanya Jakarta yang berstatus high-income. Lima daerah berstatus upper-middle income: Riau, Kepulauan Riau, Kaltim, Kalbar, dan Papua Barat. Yang mengejutkan, lima daerah di Jawa masih berstatus lower middle income.  

 

Rekomendasi

 

Indonesia masih memiliki waktu 24 tahun untuk mewujudkan cita-cita besar sebagai negara maju. Bila pertumbuhannya setara rerata 10 tahun terakhir, butuh 64 tahun bagi Indonesia melewati batas minimal negara maju. Untuk itu, dibutuhkan transformasi ekonomi secara struktural, dengan menambah kontribusi sektor jasa, hingga 26% dari kondisi sekarang.

 

Penambahan ini perlu beriringan dengan penyiapan SDM Indonesia melalui pendidikan tinggi yang relevan. Memilih jasa yang bernilai tambah tinggi, dengan linkage effect besar perlu dilakukan. Ketika middle-income class bertambah, kebutuhan akan pariwisata, pendidikan tinggi yang berkualitas dunia, kesehatan dan yang terkait (termasuk kecantikan), olahraga, dan ekonomi kreatif ialah beberapa sektor yang perlu diutamakan.

 

Bersaing dengan negara lain pada sektor industri yang mengandalkan biaya murah, khususnya SDM, bukanlah pilihan ideal untuk keluar dari MIT. Lee (2019) menekankan pentingnya pemilihan industri strategis yang bernilai tambah tinggi dengan daya jangkau pasar yang luas, yakni teknologi tinggi.

 

UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja Pasal 84 ayat 2 butir b perlu dioperasionalkan, melalui road map industri strategis Indonesia. Road map yang dihasilkan akan memberikan arah riset nasional, pada bidang apa harusnya menjadi fokus dari peneliti yang akan dimanfaatkan industri kita. Tentunya, insentif bagi pelaku usaha, misalnya akselerasi PP No 45/2019 sebagai dasar super deduction tax, agar pelaku usaha industri strategis tumbuh dan berkembang.

 

Sektor agrokultur juga strategis, khususnya terkait dengan ketahanan pangan dan inflasi. Dapat dipahami, negara-negara maju masih memiliki kontribusi signifikan dari sektor ini. Tentu menggunakan teknologi. Terdapat 33,4 juta penduduk Indonesia yang bekerja di sektor ini, dan peran teknologi yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar akan memberikan nilai tambah tinggi dan menjadi daya tarik generasi muda untuk terlibat.

 

Tren kembali ke alam yang melanda dunia, perlu direspons dengan menggalakkan sayur dan buah tropis nonorganik. Memanfaatkan kebutuhan daging dan makanan halal, juga menjanjikan, dengan 1,8 miliar muslim dan nilai pasar US$3,2 triliun. Besarnya pasar domestik Indonesia jangan sampai menjadikan kita sebagai penonton dan konsumen dari produk negara lain.

 

Belajar dari Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok, Indonesia harus memanfaatkan pasar domestik dengan middle-income class yang besar untuk mengembangkan jasa, industri, dan produk agrokultur bernilai tambah tinggi. Kukuhnya fondasi ekonomi domestik menjamin keberlangsungan pertumbuhan ekonomi Indonesia menuju negara maju 2045.

 

Sumber :  https://mediaindonesia.com/opini/433294/transformasi-ekonomi-indonesia

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar