Memberdayakan
Pelaku Pendidikan Doni Koesoema A ; Pemerhati Pendidikan |
MEDIA INDONESIA,
22 September 2021
MENDESAIN
standar pendidikan yang memberdayakan memang penting. Namun, lebih penting
lagi membangun sinergi dan memberdayakan pelaku pendidikan agar berkomitmen
dalam memenuhi standar nasional pendidikan dalam rangka memenuhi hak
pendidikan warga negara. Menarik
argumentasi yang dikemukakan Anindito Aditomo dalam opininya berjudul Standar
Pendidikan yang Memberdayakan (Media Indonesia, 21/9) yang pada intinya
mengulas tentang pentingnya mencari standar pendidikan yang memberdayakan.
Namun, ada beberapa catatan kritis atas refleksinya tentang konsep
standar. Pandangan distortif Sistem
pendidikan nasional kita memang berbasis standar. Pemahaman yang utuh tentang
pendidikan berbasis standar diperlukan agar tidak terjadi distorsi dan
reduksi dalam memahami sistem pendidikan kita. Ada beberapa
distorsi dalam tulisan Anindito. Pertama, ketika ia mengaitkan antara hasil
akreditasi dan hasil belajar. Dia menyimpulkan bahwa ‘berlipat gandanya
sekolah/madrasah yang memenuhi standar nasional sangat kontras dengan
stagnannya hasil belajar pada kurun waktu yang sama’. Kesimpulan ini tidak tepat
karena asumsi tentang peranan badan akreditasi keliru. Hasil belajar hanyalah
sebagian dari indikator penilaian dalam akreditasi. Kedua, ia
mengaitkan antara pemetaan mutu pendidikan yang dilakukan pemerintah dengan
hasil ujian nasional yang diselenggarakan Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP). Pemetaan mutu pendidikan memiliki berbagai macam indikator yang tidak
sekadar berfokus pada hasil belajar siswa, seperti hasil ujian nasional.
Pemetaan mutu pendidikan dan ujian nasional merupakan dua hal yang berbeda. Justru
pemetaan mutu pendidikan dari pemerintah ini yang harus dievaluasi.
Jangan-jangan datanya keliru atau borang-borang pemetaan mutu pendidikan yang
dibuat pemerintah masuk ke ranah administratif saja, seperti yang dikritik
Andindito dalam tulisannya? Ketiga, tidak
relevan mengaitkan standar sarana dan prasarana dengan hasil belajar karena
konteks tiap-tiap standar berbeda. Ini menunjukkan sebagai pejabat publik,
penulis tidak memahami sejarah bagaimana negara ini berusaha memperbaiki kondisi-kondisi
sekolah yang tidak layak. Pada 2000-an,
kondisi sekolah kita tidak baik-baik saja. Banyak sekolah rusak. Bahkan,
sampai hari ini pun, masih ada ribuan sekolah rusak. Penentuan standar
sarana-prasarana secara detail dipergunakan sebagai dasar bagi pemerintah dan
pemerintah daerah untuk mengajukan anggaran pendidikan dalam rangka perbaikan
sekolah. Bila tidak ada
kriteria minimum, terkait dengan ukuran yang menjadi dasar untuk perbaikan
sekolah, bagaimana pemerintah dan pemerintah daerah bisa membuat anggaran
untuk perbaikan pendidikan? Demikian juga dengan jumlah rombongan belajar
yang menyangkut anggaran untuk pendidik. Jadi, memahami
makna standar nasional pendidikan haruslah proporsional dan utuh sehingga
tidak mencampuradukkan peranan setiap standar nasional pendidikan dalam
sebuah gagasan yang dikerucutkan pada sekadar hasil belajar. Paradigma
pendidikan berbasis standar dalam UU Sisdiknas tidak bisa diredusir pada
persoalan hasil belajar semata-mata. Kebijakan standar nasional pendidikan di
Indonesia, sejak awal merupakan paket lengkap, mulai masukan (standar sarana
dan prasarana, standar pembiayaan, standar tenaga kependidikan), proses
(standar tata kelola, standar isi, standar proses, standar penilaian), hingga
keluaran (standar kompetensi lulusan).
Pemberdayaan pelaku Kualitas
pendidikan kita tidak meningkat karena para pelaku belum sinergis bekerja
sama dan pelaksananya dalam hal ini pemerintah abai terhadap tuntutan
standar. Pelaku utama yang membentuk ekosistem dalam standar nasional
pendidikan ada tiga, yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sebagai
penyusun dan pengembangan SNP, Badan Akreditasi Nasional (BAN) sebagai
evaluator ketercapaian SNP, dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP)
sebagai unit teknis pemerintah untuk mendorong dan menjamin tercapainya SNP
di daerah. Jadi,
konstruksinya ialah BSNP menyusun SNP, BAN mengevaluasi ketercapaian SNP,
pemerintah sebagai pelaksana memiliki unit di daerah dalam bentuk LPMP untuk
memastikan pendidikan di daerah memenuhi SNP. Ketidakmampuan
pemerintah memenuhi tuntutan SNP inilah yang membuat pendidikan kita tidak
naik kelas. Kalau hasil ujian nasional buruk, lalu apakah ini karena
kesalahan standar penilaian yang disusun BSNP? Kalau para guru tidak mampu
mengajar secara menarik, menantang, menyenangkan, seperti ditetapkan dalam
SNP, apakah standarnya yang keliru? Kalau hasil PISA setiap tahun semakin
turun, apa juga karena BSNP? Persoalan
pendidikan kita muncul berlarut-larut karena pemerintah sebagai pelaksana SNP
tidak memiliki komitmen memperbaiki akses dan kualitas pendidikan. Pendidikan
berbasis standar merupakan satu paket, bukan terpisah-pisah sehingga
peningkatan kualitas guru, cara mengajar yang baik, dan sistem penilaian yang
efektif, harus menjadi fokus pemerintah. Pengelolaan
pendidikan memang memerlukan standar yang jelas sebagai acuan. Namun,
pemberdayaan dan penguatan komitmen pelaku pendidikan sangat penting,
terutama pemerintah sebagai pelaksana ketercapaian SNP. Pendidikan
berbasis standar harus dipahami secara utuh dan komprehensif. Bila setiap
pelaku memahaminya dengan baik, akan terjadi sinergi dalam peningkatan akses
dan kualitas pendidikan. Namun, ini mengandaikan adanya komitmen dan niat
baik dalam memahami peranan dan tugasnya agar terjadi sinergi, bukan justru
mencari kambing hitam dari pengelola dan penyelenggara pendidikan di masa
lalu. ● |
Sumber : https://mediaindonesia.com/opini/434388/memberdayakan-pelaku-pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar