Tanggung
Jawab Pendidikan Doni Koesoema A ; Pemerhati Pendidikan dan Pengajar di
Universitas Multimedia Nusantara, Serpong. |
KOMPAS, 17 September 2021
Bila
ada sekolah rusak, gaji guru honorer tidak layak, hasil belajar buruk, dan
akses pendidikan kian sulit di masa pandemi Covid-19, kepada siapa rakyat
menuntut tanggung jawab? Memperjelas
siapa yang harus bertanggung jawab di bidang pendidikan saat ini merupakan
kemendesakan agar sistem pendidikan nasional kita utuh, berkelanjutan,
demokratis, dan jauh dari konflik kepentingan. Sejak
diterbitkannya UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) yang membagi
kewenangan pengelolaan urusan pemerintahan bidang pendidikan antara pusat dan
daerah, sikap ambigu dalam mengemban tanggung jawab pendidikan semakin kuat. Ambiguitas
bisa melahirkan eskapisme, yaitu menghindari tanggung jawab atau jika parah,
bisa sampai pada level pengambinghitaman, yaitu menimpakan kesalahan kepada
pihak lain. Baik dalam eskapisme ataupun pengambinghitaman, korbannya adalah
rakyat yang memiliki hak konstitusional pendidikan. Ambiguitas
juga dapat melahirkan dua sikap. Di satu sisi, Kemendikbudristek merasa
berjarak dengan pemda. Alasannya, tugas utama menteri adalah membuat norma,
standar, prosedur, dan kriteri serta menjadi pembina dan pengawas bagi
penyelenggaraan layanan pendidikan di daerah. Di
sisi lain, otonomi yang dipahami keliru dapat melahirkan raja-raja kecil
pengelola pendidikan. Kepala daerah merasa sebagai pemegang otonomi
penyelenggara pendidikan di daerah. Akibatnya, bisa muncul arogansi dalam
mendesain peraturan daerah tentang pendidikan atau kepala daerah mengabaikan
kebijakan Kemendikbudristek. Kasus-kasus
yang muncul terkait proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang tidak
selaras dengan pengaturan menteri atau fenomena pungli melalui mekanisme
kewenangan kepala sekolah adalah sedikit contoh. Ambiguitas
tanggung jawab layanan pendidikan bagi warga negara tak akan muncul jika
sistem pendidikan didesain terintegrasi sehingga ada sinergi di antara
berbagai pemangku kepentingan pendidikan, baik di tingkat pusat maupun
daerah, antar-kementerian dan lembaga, serta memberikan ruang bagi
partisipasi masyarakat dalam mengelola, mengawasi, dan menyelenggarakan
pendidikan. Satu sistem UUD
1945 pada Pasal 31 Ayat 3 mengamanatkan agar pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan UU. Amanat ini direalisasikan melalui UU No 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) melalui sebuah paradigma
pendidikan berbasis standar. UU
Sisdiknas mendefinisikan standar nasional pendidikan sebagai ”kriteria
minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia.” Juga ditegaskan, standar nasional pendidikan terdiri
dari standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan,
sarana-prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang
harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Disparitas
pendidikan yang tinggi antardaerah menjadikan standar nasional pendidikan
sebagai acuan utama untuk melindungi hak-hak warga negara atas pendidikan
yang diselenggarakan pemerintah. Pemenuhan standar ini tugas pemerintah dalam
rangka menjamin hak pendidikan setiap warga negara. Dalam
konteks paradigma pendidikan berbasis standar, sangat penting keberadaan
badan yang mengembangkan standar nasional pendidikan. Karena yang bertanggung
jawab untuk memenuhi standar nasional pendidikan adalah pemerintah, maka
dalam UU Sisdiknas ditegaskan pentingnya pengembangan, pemantauan, dan
pelaporan pencapaian standar nasional pendidikan secara nasional yang
dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian
mutu pendidikan. Badan
ini bersifat mandiri pada tingkat nasional dan provinsi. Kemandirian badan
ini menjadi sangat penting agar terjadi mekanisme kontrol demokratis antara
penanggung jawab pendidikan dan masyarakat sebagai penerima hak layanan
pendidikan. Hal ini juga untuk menghindari munculnya konflik kepentingan yang
merugikan hak warga negara dalam pendidikan. Keberadaan
badan ini sebagai amanat UU Sisdiknas harus diatur dalam peraturan pemerintah
(PP). Karena itu, dalam PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
ditegaskan secara rinci keberadaan badan yang disebut Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP). Tugas
BSNP mengembangkan standar nasional pendidikan sebagai lembaga mandiri dan
profesional, berkedudukan di Jakarta, dan standar nasional pendidikan yang
ditetapkan mengikat penyelenggara pendidikan di seluruh wilayah hukum NKRI.
Dengan penegasan ini, terbentuklah satu sistem pendidikan nasional. Ancaman kesatuan Satu
sistem pendidikan yang ditata melalui UU Sisdiknas 2003 dan PP No 19/2005
serta dua PP perubahan atasnya, kini terancam disintegrasi karena PP No 57/21
tentang SNP yang mengganti PP No 19/2005 dan dua PP perubahan atasnya, justru
melanggar UU Sisdiknas dengan cara tak memberikan pengaturan tentang
keberadaan badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan. Alih-alih
mengatur badan ini sesuai amanat UU Sisdiknas Pasal 35 Ayat 4, keberadaan
badan ini diserahkan pengaturannya langsung ke menteri. Pembubaran
BSNP melalui Pasal 334 Permendikbudristek No 28/2021 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, yang
mendasarkan diri pada Peraturan Presiden (Perpres) No 62/2021 tentang
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, membuat kita
bertanya, bagaimana mungkin perpres justru memberikan jalan bagi menteri
untuk tidak melaksanakan amanat UU Sisdiknas? Siapa
yang memberikan wewenang pembentukan badan standar yang diamanatkan dalam UU
Sisdiknas sebagai badan yang mandiri pada menteri? Hal
paling fatal adalah sistem pendidikan menjadi terpecah. Standar nasional
pendidikan yang dalam PP sebelumnya mengikat seluruh penyelenggaraan
pendidikan di wilayah hukum NKRI saat ini tidak ada lagi. Akibatnya,
sekolah-sekolah yang dikelola Kementerian Agama tidak wajib mengikuti standar
nasional pendidikan yang ditetapkan oleh menteri. Konflik kepentingan Memberikan
kewenangan menteri untuk membentuk badan standardisasi, penjaminan, dan
pengendalian mutu pendidikan yang tidak mandiri dan profesional, melainkan
mengintegrasikannya pada unit kerja di Kemendikbudristek, berpotensi
penyalahgunaan kekuasaan dan konflik kepentingan. Siapa
yang menjamin bahwa standar nasional pendidikan yang didesain adalah sungguh-sungguh
untuk menjamin hak pendidikan warga negara dan bukan untuk kepentingan sesaat
proyek menteri atau kepentingan direktorat terkait? Lebih
dari itu, adalah sebuah kekeliruan jika Kemendikbudristek, atas nama UU
Pemda, menyatakan bahwa tugas menteri adalah sekadar mendesain norma,
standar, prosedur, dan kriteria serta menjadi pengawas dan pembina pemda.
Bidang pendidikan dalam UU Pemda merupakan urusan konkuren yang menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat dan pemda. Pembagian
kewenangan hanya menegaskan pembedaan tugas dan fungsi, tetapi bukan membedakan tanggung jawab atas
terjaminnya layanan pendidikan bagi warga negara. Paradigma
dalam PP No 57/2021 rupanya ingin memosisikan Kemendikbudristek sebagai
regulator saja. Konsep asesmen nasional sebagai rapor pendidikan daerah dan
satuan pendidikan menunjukkan Kemendikbudristek tidak merasa sebagai bagian
yang bertanggung jawab atas kegagalan layanan pendidikan di daerah. Kontrol publik Pengaturan
standar nasional pendidikan dalam PP No 57/2021 menghilangkan berbagai macam
peranan publik dalam mengembangkan, meningkatkan, mengawasi kualitas
pendidikan. Padahal, keberadaan BSNP dalam PP No 19/2021 sebagai badan
mandiri, independen, dan profesional, adalah untuk mewujudkan mekanisme
demokratis untuk menjamin hak pendidikan warga negara yang harus dilakukan
pemerintah. Apabila
standar nasional pendidikan dibuat oleh menteri, ambiguitas tanggung jawab
akan terjadi. Dalam UU Pemda, ditegaskan bahwa pemerintah, dalam hal ini
menteri, berwenang menetapkan standar nasional pendidikan. Tugas
menteri adalah menetapkan. Namun, pengembangan standar nasional pendidikan
harus dilakukan oleh badan mandiri, yang diatur dalam PP, seperti amanat
dalam UU Sisdiknas 2003, tidak bisa diserahkan pada unit kerja di Kemendikbudristek. Selain
itu, mekanisme kontrol publik, seperti keberadaan Dewan Pendidikan, yang
merupakan lembaga mandiri nonhierarkis dengan kementerian juga dihapuskan.
Hilangnya mekanisme kontrol publik dalam pengembangan, penjaminan, dan
pengendalian mutu pendidikan melalui badan independen, mandiri, dan
profesional, seperti BSNP dan Dewan Pendidikan, kian menegaskan bahwa
pendidikan kita saat ini hanya dikelola oleh segelintir elite di pemerintahan
yang dengan mudah melanggar tatanan hukum. Revisi
PP No 57/2021 menjadi hal fundamental yang mendesak dilakukan untuk
menghindari adanya disintegrasi sistem pendidikan, munculnya berbagai macam
konflik kepentingan, dan hilangnya mekanisme demokratis dalam pengelolaan
pendidikan. Apabila
ada sekolah rusak, gaji guru honorer tak layak, terjadi politisasi jabatan
kepala sekolah, hasil belajar buruk, dan akses pendidikan sulit, tanggung
jawab ini harus dipikul dan ditanggung pemerintah pusat dan pemda. Kegagalan
pemda memberikan standar pelayanan minimal kepada warga negara di bidang
pendidikan juga kegagalan dari pemerintah, yang berarti, kegagalan menteri! ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/17/tanggung-jawab-pendidikan/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar