Titik
Nadir Ruang Keberagamaan Kita
Fathorrahman Gufron ;
Dosen
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga; Wakil Katib Syuriyah PW NU Jogjakarta
|
JAWA
POS, 17
Februari 2017
MENYAKSIKAN
repertoar kasus Ahok yang sudah melewati sekian tahap gelar perkara di
pengadilan, ada satu hal yang perlu direfleksikan bersama, yaitu ruang
keberagamaan kita yang mengalami titik nadir. Disebut demikian karena kasus
Ahok yang sesungguhnya bersifat ”picisan” mampu menggeliatkan hampir jutaan
umat beragama untuk terlibat dalam adukan emosi yang kian tunggang-langgang.
Adukan emosi itu kemudian berefek signifikan melemahnya kanal komunikasi
antar perseorangan dan kelompok yang terlibat di dalamnya.
Bahkan, pada
tingkat yang sangat miris, ruang keberagamaan kita yang selama ini biasa
terlibat dalam kesepadanan ruang gerak peribadatan maupun ritus keagamaan
secara perlahan juga mulai berjarak. Tanpa terasa, dengan tiba-tiba pikiran
dan perasaan kita terbawa dalam satu titik kulminasi yang berjalan secara dikotomis.
Kita mungkin
akan bertanya-tanya, mengapa kasus Ahok menjadi episentrum gelegaknya ruang
keberagamaan kita? Bahkan dalam banyak hal, kasus Ahok mampu mengguncang
ruang sosial kehidupan kita dan mengalihkan kita pada satu kondisi
interalienasi, di mana kita tiba-tiba membangun ruang pemisah hubungan
emosionalitas dengan ikatan kohesivitas yang sebelum ini terawat dengan
sangat baik.
Dalam ruang
alienasi, yang terbangun adalah perilaku keliaran yang lebih mengedepankan
egoisme kedirian. Kita tak lagi bisa mengedepankan nilai-nilai keagamaan yang
mengajarkan banyak kesantunan dan kedamaian. Akan tetapi, atas nama kebenaran
yang kita pertaruhkan secara sepihak, kita terjebak dalam aneka rupa
benturan. Tanpa disadari, sebenarnya yang berbenturan dengan diri kita adalah
sesama kita sendiri yang selama ini terjalin dalam ikatan persaudaraan.
Benturan Sesama
Apalagi
memasuki era teknologi informasi, di mana tiap orang sudah mampu berselancar
dengan internet, tindakan membenturkan diri antar sesama semakin kentara dan
dianggap sebagai sebuah kehebatan. Hal itu bisa dicermati dari serangkaian
meme yang dijadikan bentuk personifikasi pelecehan antar sesama yang sering
diunggah di berbagai laman media sosial. Selain itu, sesama kelompok, baik
yang dilandasi emosi etnis, emosi profesi, lebih-lebih emosi agama, mulai
terlibat dalam kondisi ketidakberadaban (uncivilized)
dalam menggunakan media sosial yang justru berisi lebih banyak polusi
kata-kata dan wicara.
Bahkan, secara
diam-diam kehadiran internet yang sudah sangat accessible melalui smart handphone setiap orang memuat berbagai
fasilitas perekayasaan kata-kata, nomor, foto, dan lain sebagainya, yang
ujung pangkalnya adalah adu domba. Ironisnya, seiring perjalanan waktu, adu
domba itu diproduksi secara masal, bahkan dijadikan sebagai kegiatan
industrial yang bisa menghasilkan keuntungan. Adapun konsumen yang disasar
adalah sekumpulan orang yang secara emosional memiliki keserupaan ideologis,
kesamaan rasa, kesatuan keyakinan, dan bentuk keseragaman lain.
Dampaknya,
hubungan perseorangan dan antarkelompok yang selama ini terjalin dengan baik
mulai merenggang. Bahkan, pada titik kulminasi tertentu, dalam hubungan yang
kian merenggang, jargon-jargon nihilisme seperti hoax yang sengaja diproduksi
dan disebar pihak-pihak tertentu dijadikan sandaran untuk membenarkan apa
yang menjadi keyakinan. Sebuah pilihan keyakinan yang selama ini tidak
menjadi persoalantiba-tiba beralih rupa sebagai titik masuk untuk
melempengkan praktik-praktik ketidakberadaban berupa permusuhan. Setiap orang
yang selama ini berada dalam satu nasab tiba-tiba mengubah nasib yang kian
tidak terarah. Petuah para leluhur dan kata-kata bijak yang dulu pernah
diserap dalam tiap jenjang pendidikan tiba-tiba sirna dan tak menemukan ruang
kristalisasinya.
Geliat Adu Domba
Ketika
benturan sesama mulai menguat, ikatan kohesivitas mulai memudar, dan ujaran
kebencian dijadikan keniscayaan sebagai pertahanan keyakinan secara sepihak,
saat itulah perilaku adu domba mulai bergeliat.
Melalui ruang
keberagamaan, praktik adu domba kian diaktifkan untuk mencerai-beraikan
bangunan identitas yang selama ini sudah diperkuat dengan nilai-nilai
kearifan dalam kehidupan kita. Ironisnya, oleh sebagian kita, adu domba
justru dianggap sebagai ruang kontestasi untuk menunjukkan kekuatan kita
sendiri sembari berupaya melemahkan pihak lain. Seolah-olah dalam praktik adu
domba ada sebuah survival of the vittest untuk mengekspresikan kegagahan kita
di hadapan pihak lain.
Celakanya
lagi, ketika sebagian ulama seperti Gus Mus, Prof Quraish Shihab, Habib
Luthfi Yahya, dan KH Maimun Zubair mencoba mengingatkan kita untuk berpikir
jernih serta tenang dalam merespons kasus Ahok, justru yang kita lakukan
balik menghardik para ulama tersebut dengan ujaran-ujaran stigma.
Kita semakin
lupa dan abai bahwa kasus Ahok sesungguhnya adalah masalah sederhana yang tak
perlu ditanggapi terlalu serius. Kalaupun masalah penistaan agama yang
dituduhkan kepada Ahok harus diproses, biarlah pengadilan yang bekerja. Dan
kita seharusnya kembali ke barak kita masing-masing untuk menjalankan tugas
kita sesuai profesi masing-masing.
Tak usah lah
kita mendadak menjadi kelompok tertentu yang harus membela mati-matian
lantaran seseorang yang kita teladani ada dalam wilayah ”pembelaan” maupun
”penentangan” terhadap kasus Ahok. Sebab, disadari atau tidak, sikap demikian
mencerminkan sebuah kepanikan yang mudah dijebak dalam arus benturan antar
sesama dan praktik adu domba yang justru akan menjadikan ruang keberagamaan
kita berada dalam titik nadir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar