Minggu, 05 Februari 2017

Revitalisasi Komite Sekolah

Revitalisasi Komite Sekolah
Doni Koesoema A  ;  Pemerhati Pendidikan; 
Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara
                                                     KOMPAS, 04 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Peraturan Mendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah begitu disahkan langsung  menuai pro-kontra.  Padahal, niat baik pemerintah adalah untuk merevitalisasi komite sekolah yang selama ini identik dengan tukang "stempel" kepala sekolah dalam melegalkan pungutan. Niat baik saja ternyata belum cukup.

 Memberdayakan komite sekolah merupakan amanat dari UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pada Pasal 56 Ayat 3 dinyatakan, "Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan."

UU Sisdiknas menegaskan bahwa garda depan penjaga peningkatan kualitas pendidikan di unit sekolah adalah komite sekolah. Komite sekolah merupakan representasi kehadiran orangtua dan masyarakat. Menyuarakan kepentingan orangtua untuk memastikan kualitas pendidikan yang baik adalah tugas utama komite sekolah.

Kritik publik terhadap komite sekolah yang selama ini tidak independen alias sekadar sebagai "stempel" kepala sekolah untuk melegalkan pungutan sekolah dari orangtua memiliki dasar faktual. Di banyak tempat, umumnya komite sekolah hanya dilibatkan dalam rangka menarik dana dari masyarakat, terutama dari orangtua. Inilah yang kemudian menimbulkan perdebatan tentang fungsi dan peranan komite sekolah.

Dalam urusan perencanaan sekolah, komite sekolah sering kali tidak dilibatkan sejak awal dalam membahas Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Kepala sekolah masih memegang kendali utama pengelolaan sekolah. Anggaran kegiatan untuk komite sekolah juga tidak jelas bersumber dari mana. Komite sekolah yang tidak taat pada perintah kepala sekolah bisa dibekukan, seperti terjadi pada beberapa kasus. Dari sisi administrasi, kewenangan, cakupan, dan bidang tugas serta bentuk-bentuk keterlibatan bagi pengembangan sekolah, posisi komite sekolah lemah.

Peraturan Mendikbud (Permendikbud) No 75/2016 merupakan jawaban pemerintah untuk memberdayakan komite sekolah sebagai lembaga mandiri, rekan kerja setara dengan kepala sekolah yang menyuarakan kepentingan siswa dan orangtua dalam meningkatkan kualitas pendidikan, serta memberikan pengawasan dengan mempergunakan prinsip gotong royong.

Kurang sosialisasi

Pro-kontra tentang komite sekolah bergulir karena kurangnya sosialisasi sehingga muncul kesan Mendikbud melegalkan pungutan. Publik, terutama orangtua dari keluarga miskin, akan semakin sulit memperoleh akses pendidikan. Informasi yang keliru ini diduplikasi melalui berbagai media tanpa klarifikasi dan tanpa pengacuan pada Permendikbud No 75/2016.

Meluruskan informasi keliru ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu mengklarifikasi persoalan tentang tugas komite sekolah. Kemendikbud menegaskan, permendikbud dibuat justru untuk memperkuat peranan komite sekolah. Ditegaskan, komite sekolah dilarang memungut uang apa pun dari peserta didik ataupun orangtua siswa.

Permendikbud tentang Komite Sekolah dibuat karena ada keprihatinan tentang kualitas pendidikan nasional. Orangtua sebagai pemangku utama pendidikan di sekolah sudah semestinya terlibat, memantau, dan membantu melalui berbagai macam cara dalam meningkatkan kualitas pendidikan bagi putra-putri mereka.

Peranan komite sekolah menjadi sentral ketika pemerintah mencanangkan Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), yang salah satu prinsip dan strateginya adalah pelibatan masyarakat dalam pendidikan.

Implikasi praktis

Permendikbud yang memperkuat peranan komite sekolah memang perlu didukung. Namun, kalau kita analisis dan cermati lebih dalam, Permendikbud tentang Komite Sekolah ini pasal per pasal, kita kaitkan dengan peraturan lain sejenis, dan pertimbangkan praksis pemandulan komite sekolah yang terjadi di lapangan, kita perlu memberikan beberapa catatan kritis yang bisa menjadi bahan pertimbangan untuk penguatan komite sekolah ke depan.

Seperti yang biasa terjadi di negara kita, undang-undang atau peraturan sering kali sudah baik, tetapi ternyata secara operasional tidak dapat dilaksanakan karena kurangnya petunjuk teknis lebih detail tentang bagaimana isi pasal-pasal itu diimplementasikan atau kurang adanya pengembangan kapasitas-baik untuk kepala sekolah maupun komite sekolah-sehingga penyelewengan itu tetap terjadi. Untuk itu, ada beberapa catatan yang perlu kita pertimbangkan sebagai masukan bagi pemerintah.

Pertama, dominasi kepala sekolah ternyata tetap. Dalam permendikbud disebutkan bahwa  anggota komite ditetapkan oleh kepala sekolah yang bersangkutan (Pasal 7 Ayat 1). Dengan pasal ini, dominasi kepala sekolah yang selama ini "menguasai" komite sekolah tetap akan bertahan. Bahkan, kepala sekolah bisa jadi hanya akan menyetujui anggota komite yang bisa diajak bermufakat dalam hal-hal buruk. Dalam kaitan ini, pemerintah perlu mendesain ruang komunikasi agar proses pemilihan komite sekolah ini transparan dan akuntabel dengan memberikan kanal-kanal pelaporan dan petunjuk lebih detail tentang bagaimana memilih komite sekolah secara independen.

Kedua, adanya disharmoni dengan peraturan lain. Dalam Permendikbud No 75/2016 ditegaskan bahwa komite sekolah, baik secara perseorangan maupun kolektif, dilarang melakukan pungutan dari peserta didik atau orangtua/walinya (Pasal 12 Butir b). Namun, Permendikbud No 44/2012 tentang Sumbangan dan Pungutan Pendidikan masih memperbolehkan pungutan sekolah oleh sekolah dengan sepengetahuan komite sekolah asal sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Permendikbud No 44/2012 belum dicabut sehingga masih berlaku.

Ketiga, komite sekolah menyusun anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (Pasal 7 Ayat 2) serta dapat menggalang dana dari masyarakat untuk pengembangan pendidikan. Dalam Permendikbud No 75/2016 tidak dijelaskan mekanisme dan prosedur penggalangan dana, mekanisme transparansi dan akuntabilitasnya.

Faktanya, selama ini komite sekolah hanya menggalang dana melalui orangtua siswa lewat pungutan yang berkedok sumbangan. Kita masih sering mendengar siswa tidak dapat mengambil rapor karena belum membayar uang sekolah, iuran ini, iuran itu, dan lain sebagainya. Selain itu, komite sekolah selama ini tidak pernah memperoleh pelatihan tentang bagaimana mendesain sebuah tata organisasi yang baik, membuat proposal penggalangan dana, dan membangun kolaborasi yang sehat dengan sekolah, terutama dengan kepala sekolah.

Integritas moral

Sebagus apa pun sebuah peraturan, tidak akan ada maknanya jika para pelakunya adalah individu penelikung moralitas. Banyak aturan yang baik menjadi distorsif saat dipraktikkan karena integritas para pelaku di sekolah dipertanyakan. Maka, memilih pemimpin yang memiliki visi pendidikan baik, unggul dalam integritas moral dan kebaikan, akan menjadi kata kunci utama pengembangan kualitas pendidikan.

Demikian juga orangtua siswa, mereka perlu memilih anggota-anggota komite sekolah yang mau berjuang untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak mereka. Caranya, tentu saja dengan memilih mereka yang memiliki integritas moral tinggi, tidak memanfaatkan jabatan, kedudukan, dan posisinya untuk memperkaya diri sendiri.

Apabila kultur moral dalam lembaga pendidikan tidak ada, akan sangat sulit bagi sekolah tersebut untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebab, pendidikan pada hakikatnya adalah pembentukan manusia seutuhnya, baik secara fisik, sosial, emosional-psikologis, akademik, maupun moral dan spiritual.

Niat baik mengembangkan komite sekolah melalui permendikbud saja belumlah mencukupi. Kemendikbud perlu membuat mekanisme dan sistem yang transparan, akuntabel, dan memberdayakan para pelaku degan keterampilan yang dibutuhkan. Namun, lebih dari sekadar keterampilan teknis, revitalisasi komite sekolah pertama-tama harus berfokus pada penguatan komitmen moral kepala sekolah dan anggota komite sekolah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar