Rekonstruksi
Investasi Syariah
Candra Fajri Ananda ; Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 06
Februari 2017
Posisi
pembangunan di Indonesia seperti terjebak dalam ”periode cobaan” hingga terus
dirundung berbagai macam kesulitan. Berulang kali dilakukan upaya reformis,
tetap belum menampakkan hasil meyakinkan. Kita harus mawas diri, untuk saat
ini kekuatan perekonomian nasional sudah jauh menurun jika dibandingkan
dengan beberapa dekade sebelumnya. Pemerintah dipaksa mengimbangi gelombang
ekuilibrium yang terus mengalami pasang surut karena pengaruh kondisi internal
dan eksternal. Kita justru lebih banyak didikte dan terdistorsi ketimbang
menguasai pasar.
Maka
sangat wajar jika julukan sebagai macan Asia di masa lampau untuk menggambarkan
betapa garangnya perekonomian kita kini dianggap sebatas bagian dari cerita
masa lalu. Sumber permasalahan yang kita hadapi memang sudah cenderung
semakin dekat dengan titik kulminasi. Kalau dirunut berdasarkan mata rantai
perekonomian, titik awalnya bermula dari proses perencanaan pembangunan yang
berjalan kurang terarah. Pergerakan kebijakan pemerintah cenderung sekadar
mengikuti dinamika kondisi nasional dan global sehingga arah kebijakannya
seperti terus mengambang.
Celakanya
lagi pihak perencana kita seperti kebingungan menentukan program-program
prioritas di atas keterbatasan ruang fiskal. Akibatnya banyak aspek
pembangunan yang belum tersentuh secara optimal. Proses birokrasi penyerapan
anggaran yang rumit juga mendukung terhambatnya pembangunan. Kasus penyerapan
anggaran yang rendah paling banyak justru terjadi di tingkat daerah. Tahun
2016 lalu bahkan masih banyak dana pembangunan daerah yang ”mubazir” dan
mengendap di perbankan. Jika diakumulasikan, total dana idle mencapai Rp83,3
triliun (DJPK, 2017).
Tahap
perencanaan dan penyerapan anggaran yang kurang optimal kemudian be-rimbas
pada indikator-indikator daya saing investasi di Indonesia. Secara makro,
daya saing kita turun dari peringkat 37 dunia menjadi 41 dunia (World
Economic Forum, 2016). Penyebabnya lagi-lagi disebabkan persepsi birokrasi
yang rawan korupsi, ditambah dengan kualitas infrastruktur transportasi dan
energi yang rendah serta produktivitas tenaga kerja yang sangat terbatas.
Akibatnya
pertumbuhan ekonomi kita cenderung terus melambat. Apalagi pola pertumbuhan
Indonesia lebih banyak disokong sisi konsumsi daripada sisi investasi.
Padahal daya konsumsi masyarakat sangat tergantung pada tingkat pendapatan
dan daya beli sebagai buah dari kegiatan investasi. Jadi boleh dibilang,
selama ini kita berjalan di atas jalur yang sangat rapuh untuk mewujudkan
pembangunan ekonomi yang berkualitas.
Pada
mata rantai berikutnya, hasil kegiatan ekonomi baik dari sisi investasi,
produksi maupun konsumsi pada akhirnya akan memengaruhi tingkat pendapatan
negara yang bersumber dari pajak dan nonpajak. Dalam beberapa tahun terakhir,
terutama sejak Presiden Joko Widodo menjabat, realisasi pendapatan negara
terus disorot karena cenderung semakin terjepit. Potensi pajak kian besar,
tetapi tax ratio masih jauh dari angka ideal.
Penyebabnya
karena tax compliance masyarakat yang begitu rendah dan disertai dengan
infrastruktur penarikan pajak yang masih dinilai berbiaya tinggi. Ditambah
lagi dengan merosotnya kinerja ekonomi objekobjek pajak potensial akibat
resesi perekonomian global (terkait ekspor dan impor komoditas strategis)
serta spekulasi mengenai suku bunga The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat)
yang membuat banyak pemodal potensial menarik dana investasinya dari
Indonesia.
Pemerintah
memiliki pekerjaan besar lainnya yang terkait dengan pengendalian defisit
fiskal sebagai imbas dari gap kapasitas penerimaan dan belanja. Selama ini
pemerintah sudah sangat gamblang kian meningkatkan jumlah utang sebagai dana
talangan biaya pembangunan. Secara ekonomi memang tingkat utang kita masih
relatif aman jika dilihat berdasarkan UU Keuangan Negara (sekitar 27%
terhadap PDB). Namun dari sisi politik, justru sangat mudah menimbulkan
polemik.
Peran
perusahaan-perusahaan pelat merah (BUMN) sebagai kepanjangan tangan
pemerintah juga masih sangat terbatas. Alih-alih akan menambah perbendaharaan
kas negara, beberapa BUMN hingga saat ini bahkan masih rajin ”memohon”
penyertaan modal pemerintah yang bersumber dari APBN. Untuk itulah perlu ada
alternatif kebijakan untuk menanggulangi stagnasi perekonomian Indonesia.
Jika model perekonomian yang bersifat konvensional (umum) sedang jumud
(beku), mengapa kita tidak memulai untuk semakin erat merangkul potensi
investasi berbasis syariah?
Apalagi
menurut lansiran beberapa media, Raja Arab Saudi yang fokus dalam
pengembangan ekonomi syariah sebentar lagi akan mengunjungi Indonesia.Kita
bisa mempersiapkan beberapa potensi kerja sama bilateral. Salah satunya
dengan mengembangkan instrument investasi syariah yang hingga saat ini
kontribusinya belum banyak teroptimalkan. Menurut hitung-hitungan Otoritas
Jasa Keuangan (2016), pergerakan investasi syariah di pasar modal baru
mencapai 0,2% dari total penduduk Indonesia.
Kelemahan
pengelolaan investasi syariah di Indonesia lebih disebabkan belum adanya
infrastruktur investasi yang memadai untuk mengakomodasi prospek
produk-produk syariah. Infrastruktur syariah yang paling mendesak untuk
segera dibangun ialah pengembangan sumber daya insani (SDI) dan pengembangan
lembaga keuangan syariah melalui riset atau pusat-pusat studi kajian ilmiah.
Apalagi
pengembangan lembaga keuangan syariah belum dipandu secara simultan dengan
rencana portofolio jangka panjang (cetak biru perencanaan) sehingga sangat
wajar jika kita sudah tertinggal cukup jauh oleh negara lain seperti Arab
Saudi, Bahrain, Sudan. Negeri tetangga kita Malaysia bahkan sudah di tahap
pematangan produk pengelolaan kekayaan setelah sukses mengembangan skala
bisnis perbankan syariah, asuransi (takaful), sukuk, dan pengelolaan aset
berbasis syariah. Instrumen berbasis syariah dapat menjadi alternatif untuk
meningkatkan investasi.
Strategi
ini selain dapat ditujukan untuk masyarakat Indonesia sendiri, juga
dimaksudkan untuk menggarap potensi investasi dari Kawasan Timur Tengah.
Meskipun kita saat ini relatif lebih tertinggal dari Malaysia, kita tetap
masih berpeluang mengejar mereka mengingat atensi masyarakat kian besar
terhadap produk-produk ekonomi berbasis syariah. Apalagi Indonesia memiliki
latar belakang sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia
sehingga pemerintah sebagai regulator dan katalitasor kebijakan tinggal
memfokuskan pada beberapa poin sebagai berikut.
Pertama,
tentu pemerintah harus menyiapkan sederet soft infrastructure investasi
syariah mulai dari cetak biru/portofolio pengembangan bisnis syariah, unsur
regulasi dan kemudahan birokrasi, pengembangan sumber daya insani hingga
ketersediaan lembaga-lembaga riset pengembangan produk syariah. Dari sisi
hard infrastructure seperti kualitas sarana dan prasarana transportasi,
kemajuan teknologi hingga ketersediaan energi dan air bersih juga menjadi prasyarat
yang penting untuk menekan tingginya biaya transaksi.
Strategi
ini sudah diterapkan Malaysia hingga mereka mampu menjadi salah satu pusat
pengembangan bisnis ekonomi syariah di Kawasan ASEAN dan Asia.
Kedua,
wacana pemerintah untuk mengembangkan Islamic Finance Industry Centre perlu
didukung agar lekas terealisasi. Lembaga ini nantinya diharapkan bisa
melahirkan banyak manajer investasi syariah yang andal sebagaimana yang sudah
diterapkan di Inggris dan Malaysia. Inggris dan Malaysia mampu mengoptimalkan
penerimaan sukuk (khususnya dari investor Timur Tengah) berkat adanya
kebijakan ini. Tugas para manajer dikhususkan sebagai pemandu masyarakat dan
para investor asing untuk memahami karakteristik dan regulasi bisnis syariah
serta gambaran potensi ekonomi yang dapat dikelola di Indonesia.
Potensi
bisnis syariah tidak hanya sebatas berupa sukuk, melainkan ada juga potensi
lain seperti melalui pasar modal, asuransi, reksadana, dan investasi emas
yang secara keseluruhan menggunakan prinsip-prinsip syariah. Jadi masyarakat
yang tergolong awam tidak sekadar merencanakan bisnis secara intuisi
personal, tetapi akan didampingi para manajer untuk menyusun portofolio
investasinya.
Ketiga,
para kelompok penggiat aktivitas berbasis Islam seperti pondok pesantren atau
lembaga pendidikan dan dakwah Islam perlu dirangkul untuk ikut menyemarakkan
kegiatan ekonomi syariah. Pada umumnya kesadaran dan ghirah mereka mengenai
pentingnya melakukan kegiatan ekonomi berlandaskan syariah sudah lama
terbentuk. Hanya saja belum ada kebijakan yang konkret untuk memfasilitasi
aspirasi mereka. Nah, ke depannya pemerintah dapat memfasilitasi mereka untuk
melakukan berbagai kegiatan produktif berbasis ekonomi syariah. Contoh yang
paling konkret sudah dilakukan Pondok Pesantren Sidogiri yang berpusat di
Pasuruan, Jawa Timur, yang telah melakukan berbagai layanan bisnis syariah
mulai dari layanan umum koperasi hingga produksi dan pertokoan.
Dan
keempat, perlunya sinergi dengan Dewan Syariah Nasional (DSN) untuk melakukan
pengawasan dan pembinaan di setiap lini kegiatan ekonomi syariah. Kepentingan
lainnya ialah untuk menjaga marwah lembaga ekonomi syariah. Bagaimanapun
preferensi masyarakat yang memilih menggunakan jasa lembaga ini lebih
disebabkan aspek aksioma berdasarkan prinsip keimanan ketimbang preferensi
dalam prinsip ekonomi. Karena itu pola aktivitas ekonominya harus benar-benar
terjamin kehalalannya demi menjaga tingkat kepercayaan masyarakat senantiasa
tetap utuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar