Berhemat
Energi Kebangsaan
Mohammad Nuh ; Dosen Teknik Elektro-Biomedika ITS; Ketua PB NU
|
JAWA
POS, 06
Februari 2017
SEWAKTU
saya mengikuti pelatihan mahasiswa di ITS akhir tahun 1970-an, seorang
instruktur yang memberikan materi problem solving selalu mengedepankan
pentingnya kemampuan mencari akar masalah. Sejalan dengan itu, pendekatan
sebab akibat, root caused (cause and effect) atau fishbone Ishikawa yang
dikenalkan oleh Kaoru Ishikawa (1968), menjadi salah model pendekatan yang
cukup efektif dalam menyelesaikan permasalahan. Pada 1990-an saya mulai
berkenalan dengan Mas Adi Sasono. Tokoh pergerakan itu menyampaikan di
berbagai kesempatan bahwa karena ”kepentingan”, seseorang bisa kehilangan
kecerdasan dan akal sehatnya. Atas nama kepentingan, seseorang tak
segan-segan mencari justifikasi atau pembenaran meski dari sisi logika dan
kaidah sudah offside.
Kalau
dicermati dengan hati terbuka, diskursus yang terjadi di lapisan akar rumput
selama tujuh bulan terakhir ini, sebenarnya ada pesan publik tentang
pentingnya keadilan dan etika publik. Jadi, bukan masalah toleransi versus
intoleransi atau masalah kebinekaan. Tetapi, sekali lagi publik merasakan ada
ketidakadilan, termasuk di dalamnya ada kesan perlakuan secara khusus
terhadap seseorang. Mulailah terjadi pro dan kontra, baik secara pandangan,
pendapat, maupun gerakan. Sayangnya, pendekatan hukum lebih dikedepankan
dalam menyelesaikan perbedaan tersebut. Saling melaporkan ke penegak hukum
menjadi perbendaharaan baru dalam berperilaku sosial. Padahal, ada kaidah
yang lazim dan dapat digunakan dalam menyelesaikan perbedaan yaitu: tesis,
antitesis, dan sintesis atau yang lebih dikenal dengan dialektika. Dengan
dialektika, perbedaan akan mendapatkan titik temu (sintesis), meskipun titik
temu tersebut akan muncul antitesis baru, sehingga didapat sintesis baru. Hal
itu akan berulang dan lazim dalam kehidupan bermasyarakat yang cerdas. Karena
itu, kaidah dialektika tersebut menjadi kaidah (teori) tentang persatuan
hal-hal yang saling bertentangan (the theory of the union of opposites).
Kecerdasan
seseorang, organisasi, masyarakat, atau bangsa bisa dilihat dari bagaimana
respons dalam menghadapi persoalan, yang dicirikan dengan empat hal, yaitu:
(a) problem solving oriented: artinya setiap menghadapi persoalan,
orientasinya hanya satu, yaitu bagaimana menyelesaikan persoalan. Bukan
justru mempersoalkan persoalan sehingga menambah persoalan baru. Dan
persoalan tidak butuh dipersoalkan, tetapi yang dibutuhkan adalah jawaban (b)
cost effectiveness: biaya yang dibutuhkan dalam menyelesaikan persoalan
sangat murah dan efektif. Baik biaya sosial, ekonomi, maupun politik. (C)
timely proper: ketepatan dan kecermatan waktu dalam menyelesaikan persoalan.
Tidak membiarkan persoalan sehingga melebar ke mana-mana sehingga hilang
ditelan waktu (gone with the wind) atau justru menjadi persoalan yang lebih
besar dan tak terkendali. (D) ethical corridor: dalam menyelesaikan persoalan
tidak melanggar-menabrak aturan dan etika.
Dilihat
dari empat ciri tersebut, kita bisa menilai derajat kecerdasan diri,
masyarakat, dan bangsa kita. Kecerdasan tidak harus dikaitkan dengan tingkat
pendidikan formal, akan tetapi lebih pada kematangan jiwa dan berpikir. Dalam
ranah kematangan jiwa dan berpikir itulah tempat bersemainya wisdom, sebagai
puncak dari hierarki pengetahuan.
”Drama”
kehidupan berbangsa dan bernegara telah dipertontonkan kepada kita semua yang
terkadang kehilangan akal sehatnya, terbalik-balik, dan sudah mengarah pada
logika falsi (kesesatan logika). Energi kebangsaan kita telah terkuras,
bahkan kalau kita tidak segera mengakhirinya dengan baik, kita akan mengalami
defisit energi, pelemahan, dan penghancuran diri (self destructive). Dengan
begitu, cita-cita menjadi bangsa dan negara besar, maju yang berkeadilan dan
berkesejahteraan pada 2045 (seratus tahun Indonesia merdeka) akan semakin
jauh dari cita-cita.
Memang
setiap drama selalu ada sutradaranya. Pada pertunjukan karya seni,
sutradaranya dengan mudah untuk dikenali karena pengenalan sang sutradara
menjadi bagian seremoni pertunjukan. Namun, untuk drama sosial-politik yang
menyentuh kehidupan berbangsa dan bernegara, seringkali (dan hampir pasti)
tidak mudah dikenali siapa sutradaranya. Dan salah satu ukuran kesuksesan
sutradara dalam drama sosial-politik adalah, kalau para pemain yang terlibat
tidak tahu dan tidak merasakan, bahkan tidak menyangka kalau mereka berada
dalam kendali skenario yang diinginkan sang sutradara.
Kini
saatnya drama yang menguras energi kebangsaan kita akhiri, biarkan apa yang
telah terjadi sebagai memori kolektif, perbendaharaan kausa kehidupan
berbangsa dan bernegara. Itu semua sebagai proses pembelajaran, bagaimana
beratnya membangun NKRI sebagai harga mati. Jangan sampai, karena perilaku
seorang, semuanya disibukkan sehingga terjadi segmentasi kelompok yang kalau
dibiarkan akan terjadi benturan sosial yang justru akan membahayakan NKRI.
Memang
untuk urusan sebesar urusan bangsa dan negara, tidak cukup hanya mengandalkan
tesis kebenaran (logika), tetapi ada tesis kebaikan (etika) dan tesis
keindahan (estetika). Apa yang dicontohkan oleh Yang Mulia Ketua MUI dan Rais
Am PB NU KH Ma’ruf Amin terkait dengan permintaan maaf Ahok, dan beliau
memaafkannya, itu artinya KH Ma’ruf Amin sudah melewati fase logika, justru
beliau berpegang pada prinsip etika dan estetika. Memang beliau sudah
maqom-nya sebagai orang bijak (wiseman) yang melampaui fase sekadar sebagai
orang yang berilmu.
Siapa
pun dan jabatan serta peran apa pun yang dimainkan, kalau berdiri di puncak
pasti melihat oasis keragaman, bahwa masyarakat kita bukanlah binary society
(masyarakat yang bisa diklasifikasikan dengan pendekatan hitam-putih), tetapi
justru sejatinya adalah fuzzy society. Mereka saling beririsan dan multiperan
sehingga tidak memungkinkan menggunakan pendekatan kebenaran (hitam-putih)
semata. Tetapi, yang dibutuhkan adalah keutuhan prinsip kebenaran, kebaikan,
dan keindahan. Dengan keutuhan itu, kita bisa berhemat energi kebangsaan
untuk kejayaan Indonesia 2045. Insya Allah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar