Jumat, 17 Februari 2017

Polemik Pemberhentian Ahok

Polemik Pemberhentian Ahok
Refly Harun  ;    Praktisi dan Dosen Hukum Tata Negara
di Program Pascasarjana FH UGM
                                           MEDIA INDONESIA, 16 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BERBEDA pendapat rupanya hal yang masih mahal di Republik ini. Gara-gara menyatakan bahwa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak perlu diberhentikan sementara (dinonaktifkan), saya banyak dimaki para pengguna media sosial. Semua jenis umpatan keluar, termasuk yang paling kasar sekali. Bahkan, ada yang menyarankan saya bertobat. Saya menjadi heran, sejak kapan roda berputar pada era Yunani dan Abad Kegelapan sehingga berbeda pendapat menjadi barang haram dan harus diganjar dengan umpatan dan makian.

Ikhwal nasib Ahok setelah jadi tersangka diatur dalam Pasal 83 ayat (1) UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014) yang berbunyi, ‘Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia’.

Saat ini Ahok didakwa dengan Pasal 156 KUHP (dengan ancaman hukuman paling lama empat tahun) dan Pasal 156 a KUHP (dengan ancaman hukuman paling lama lima tahun). Pasal 156a KUHP berbunyi, ‘Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Dikaitkan dengan eksistensi Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014, setidaknya dua frasa yang potensial digunakan untuk memberhentikan sementara Ahok, yaitu ‘tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun’ dan ‘perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI’. Dalam ruang singkat ini saya hanya akan membahas makna ‘paling singkat lima tahun’.

Pertanyaannya, apakah sama antara tindak pidana yang ancamannya paling lama lima tahun (Pasal 156a KUHP) dan tindak pidana yang ancaman hukumannya paling singkat lima tahun (Pasal 183 ayat [1] UU 23/2014)? Selama ini tidak ada persoalan terkait dengan pemberhentian kepala daerah yang menjadi terdakwa karena tindak pidana yang dilakukan ialah korupsi. Kalau korupsi, kita tidak bicara lagi mengenai batasan lima tahun. Apa pun pasal yang didakwakan tetap harus nonaktif karena korupsi disebut secara eksplisit.

Penafsiran tekstual

Banyak cara untuk menafsirkan makna suatu peraturan. Yang paling sering digunakan ialah menguraikan teks peraturan itu sendiri (textual interpretation). Penggunaan metode penafsiran yang berbeda sering memunculkan kesimpulan yang berbeda pula. Sebagai gambaran textual interpretation, saya ingin mengambil sarana penafsiran konstitusi yang sudah berkembang sedemikian rupa.

Craig Ducat menyatakan bahwa secara objektif proses pemaknaan konstitusi dilakukan melalui dua perangkat penafsiran (tools of constitutional interpretation). Pertama, penafsiran konstitusi didasarkan pada pemaknaan naskah konstitusi secara umum. Artinya, konstitusi diberi makna biasa atau umum (ordinary meaning) sebagaimana bunyi naskah konstitusi itu sendiri. Proses ini juga disebut dengan plain meaning rule. Kedua, disebut intent of the framers. Dengan cara itu, konstitusi ditafsirkan berdasarkan kehendak para perumusnya, yakni seperti apa para perumus konstitusi memberi makna pada naskah konstitusi ketika konstitusi itu disusun. Atau, seperti apa makna yang diinginkan para pembentuknya untuk diberikan pada naskah konstitusi ketika konstitusi itu disusun.

Penafsiran tekstual disebut juga textualism, literalism, atau plain word approach. Metode itu mendasarkan interpretasi pada kata yang secara aktual terdapat dalam suatu aturan jika arti dari kata-kata tersebut tidak mendua. Menurut Donald P Kommers, textualism didasarkan pada klaim bahwa penafsiran konstitusi harus dimulai dengan kata-kata yang tertulis. Dalam konteks penafsiran konstitusi di Amerika Serikat, penyokong textualism menyatakan Konstitusi AS harus dibaca menurut maknanya yang biasa (ordinary meaning) dan menerapkannya sesuai dengan makna tersebut.

Dari sisi bahasa, frasa ‘tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun’ saya anggap sudah sangat jelas secara tekstual karena memang ada tindak pidana jenis itu. Misalnya, Pasal 38 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang berbunyi, ‘Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun’. Lalu Pasal 39-nya, ‘Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun’.

Demikian pula dengan Pasal 120 ayat (2) UU No 35/2009 tentang Narkotika yang berbunyi, ‘Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II ... beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun...’. Jadi, karena memang ada tindak pidana yang diancam dengan hukuman ‘paling singkat lima tahun’, saya berpendapat kata itu tidak boleh diartikan lain. Harus seperti apa adanya (ordinary meaning). Dalam konteks ini, ‘paling singkat lima tahun’ menjadi berbeda dengan ‘paling lama lima tahun’. Berbeda dari segi kata, berbeda pula dari segi kualitas tindak pidananya. Karena Ahok didakwa dengan ancaman hukuman ‘selama-lamanya lima tahun’, ketentuan ‘paling singkat lima tahun’ tidak bisa diberlakukan kepadanya. Sebab, berdasarkan pemaknaan yang ketat (restriktif/limitatif), tindak pidana dengan ancaman hukuman paling singkat sekian tahun haruslah mengacu pada tindak pidana yang memang ancamannya berbunyi seperti itu. Tentu saya harus menghormati tafsir lain yang menyatakan asal ada lima tahunnya, Ahok harus dinonaktifkan, tidak peduli soal makna ‘paling lama’ dan ‘paling singkat’. Demikian pula mereka yang mencoba menggali makna original intent dari kata tersebut dan kemudian mengatakan bahwa tafsir ‘asal lima tahun’ memang dimaksudkan pembentuk undang-undang. Saya beberapa kali membaca tulisan soal original intent tersebut. Sayangnya, mereka yang menyatakannya tidak dapat menunjukkan sumber-sumber atau setidaknya risalah perumusan pasal dimaksud.

Sebagian ada juga yang bicara soal moralitas, bagaimana mungkin terdakwa penista agama tidak dinonaktifkan. Terhadap hal ini, aturan sendiri memang tidak memberlakukan ketentuan nonaktif itu terhadap semua terdakwa. Kalau Ahok hanya didakwa dengan Pasal 156 KUHP yang ancaman maksimalnya empat tahun, sudah pasti tidak dinonaktifkan. Kalaupun ingin bicara moralitas, justru moralitas saya yang mendorong untuk berlaku adil kepada Ahok. Sejak awal saya dan banyak orang meyakini bahwa kasus Ahok ini lebih banyak dimensi politiknya ketimbang hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar