Polemik
Pemberhentian Ahok
Refly Harun ;
Praktisi
dan Dosen Hukum Tata Negara
di Program Pascasarjana FH UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Februari 2017
BERBEDA pendapat rupanya hal yang masih mahal di Republik ini.
Gara-gara menyatakan bahwa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak perlu
diberhentikan sementara (dinonaktifkan), saya banyak dimaki para pengguna
media sosial. Semua jenis umpatan keluar, termasuk yang paling kasar sekali.
Bahkan, ada yang menyarankan saya bertobat. Saya menjadi heran, sejak kapan
roda berputar pada era Yunani dan Abad Kegelapan sehingga berbeda pendapat
menjadi barang haram dan harus diganjar dengan umpatan dan makian.
Ikhwal nasib Ahok setelah jadi tersangka diatur dalam Pasal 83
ayat (1) UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014) yang
berbunyi, ‘Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara
tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan
yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana
korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan
negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan
Republik Indonesia’.
Saat ini Ahok didakwa dengan Pasal 156 KUHP (dengan ancaman
hukuman paling lama empat tahun) dan Pasal 156 a KUHP (dengan ancaman hukuman
paling lama lima tahun). Pasal 156a KUHP berbunyi, ‘Dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama
apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Dikaitkan dengan eksistensi
Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014, setidaknya dua frasa yang potensial digunakan
untuk memberhentikan sementara Ahok, yaitu ‘tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun’ dan ‘perbuatan lain
yang dapat memecah belah NKRI’. Dalam ruang singkat ini saya hanya akan
membahas makna ‘paling singkat lima tahun’.
Pertanyaannya, apakah sama antara tindak pidana yang ancamannya
paling lama lima tahun (Pasal 156a KUHP) dan tindak pidana yang ancaman
hukumannya paling singkat lima tahun (Pasal 183 ayat [1] UU 23/2014)? Selama
ini tidak ada persoalan terkait dengan pemberhentian kepala daerah yang
menjadi terdakwa karena tindak pidana yang dilakukan ialah korupsi. Kalau
korupsi, kita tidak bicara lagi mengenai batasan lima tahun. Apa pun pasal
yang didakwakan tetap harus nonaktif karena korupsi disebut secara eksplisit.
Penafsiran
tekstual
Banyak cara untuk menafsirkan makna suatu peraturan. Yang paling
sering digunakan ialah menguraikan teks peraturan itu sendiri (textual interpretation). Penggunaan
metode penafsiran yang berbeda sering memunculkan kesimpulan yang berbeda
pula. Sebagai gambaran textual interpretation, saya ingin mengambil sarana
penafsiran konstitusi yang sudah berkembang sedemikian rupa.
Craig Ducat menyatakan bahwa secara objektif proses pemaknaan
konstitusi dilakukan melalui dua perangkat penafsiran (tools of constitutional interpretation). Pertama, penafsiran
konstitusi didasarkan pada pemaknaan naskah konstitusi secara umum. Artinya,
konstitusi diberi makna biasa atau umum (ordinary meaning) sebagaimana bunyi
naskah konstitusi itu sendiri. Proses ini juga disebut dengan plain meaning
rule. Kedua, disebut intent of the framers. Dengan cara itu, konstitusi
ditafsirkan berdasarkan kehendak para perumusnya, yakni seperti apa para
perumus konstitusi memberi makna pada naskah konstitusi ketika konstitusi itu
disusun. Atau, seperti apa makna yang diinginkan para pembentuknya untuk
diberikan pada naskah konstitusi ketika konstitusi itu disusun.
Penafsiran tekstual disebut juga textualism, literalism, atau
plain word approach. Metode itu mendasarkan interpretasi pada kata yang
secara aktual terdapat dalam suatu aturan jika arti dari kata-kata tersebut
tidak mendua. Menurut Donald P Kommers, textualism didasarkan pada klaim
bahwa penafsiran konstitusi harus dimulai dengan kata-kata yang tertulis.
Dalam konteks penafsiran konstitusi di Amerika Serikat, penyokong textualism
menyatakan Konstitusi AS harus dibaca menurut maknanya yang biasa (ordinary
meaning) dan menerapkannya sesuai dengan makna tersebut.
Dari sisi bahasa, frasa ‘tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara paling singkat lima tahun’ saya anggap sudah sangat
jelas secara tekstual karena memang ada tindak pidana jenis itu. Misalnya,
Pasal 38 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang berbunyi, ‘Setiap
orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 5 (lima) tahun’. Lalu Pasal 39-nya, ‘Setiap orang yang melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun’.
Demikian pula dengan Pasal 120 ayat (2) UU No 35/2009 tentang
Narkotika yang berbunyi, ‘Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut,
atau mentransito Narkotika Golongan II ... beratnya melebihi 5 (lima) gram
maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun...’. Jadi, karena memang ada tindak pidana
yang diancam dengan hukuman ‘paling singkat lima tahun’, saya berpendapat
kata itu tidak boleh diartikan lain. Harus seperti apa adanya (ordinary
meaning). Dalam konteks ini, ‘paling singkat lima tahun’ menjadi berbeda
dengan ‘paling lama lima tahun’. Berbeda dari segi kata, berbeda pula dari
segi kualitas tindak pidananya. Karena Ahok didakwa dengan ancaman hukuman
‘selama-lamanya lima tahun’, ketentuan ‘paling singkat lima tahun’ tidak bisa
diberlakukan kepadanya. Sebab, berdasarkan pemaknaan yang ketat
(restriktif/limitatif), tindak pidana dengan ancaman hukuman paling singkat
sekian tahun haruslah mengacu pada tindak pidana yang memang ancamannya
berbunyi seperti itu. Tentu saya harus menghormati tafsir lain yang
menyatakan asal ada lima tahunnya, Ahok harus dinonaktifkan, tidak peduli
soal makna ‘paling lama’ dan ‘paling singkat’. Demikian pula mereka yang
mencoba menggali makna original intent dari kata tersebut dan kemudian
mengatakan bahwa tafsir ‘asal lima tahun’ memang dimaksudkan pembentuk
undang-undang. Saya beberapa kali membaca tulisan soal original intent
tersebut. Sayangnya, mereka yang menyatakannya tidak dapat menunjukkan
sumber-sumber atau setidaknya risalah perumusan pasal dimaksud.
Sebagian ada juga yang bicara soal moralitas, bagaimana mungkin
terdakwa penista agama tidak dinonaktifkan. Terhadap hal ini, aturan sendiri
memang tidak memberlakukan ketentuan nonaktif itu terhadap semua terdakwa.
Kalau Ahok hanya didakwa dengan Pasal 156 KUHP yang ancaman maksimalnya empat
tahun, sudah pasti tidak dinonaktifkan. Kalaupun ingin bicara moralitas,
justru moralitas saya yang mendorong untuk berlaku adil kepada Ahok. Sejak
awal saya dan banyak orang meyakini bahwa kasus Ahok ini lebih banyak dimensi
politiknya ketimbang hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar