Minggu, 19 Februari 2017

Redupnya Pamor HPH

Redupnya Pamor HPH
Suhardi Suryadi  ;    Mantan Direktur LP3ES (2005-2010);
Kini Konsultan Proyek USAID-LESTARI di Bidang Knowledge Management
                                                     KOMPAS, 17 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kawasan hutan tropis terluas di dunia selain Brasil dan Kongo. Luas hutan Indonesia saat ini sekitar 120,53 juta hektar, atau sekitar 63 persen dari luas daratannya, dan untuk hutan produksi sekitar 68,99 juta hektar.

Sebagai sumber daya alam yang tidak saja bernilai konservasi tinggi, hutan Indonesia juga dieksploitasi sejak zaman kerajaan hingga kini untuk berbagai kepentingan sosial-ekonomi.

Pada era penjajahan Belanda, eksploitasi hutan Jawa dilakukan secara masifoleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang membutuhkan kayu sebagai bahan baku industri perkapalan di Rotterdam. Puncak dari eksploitasi hutan sebagai komoditas ekonomi adalah di era pemerintah Orde Baru. Kawasan hutan seluas 120 juta hektar telahmenjadi sumber devisa negara yang penting untuk pembangunan. Pada tahun 2000, misalnya, jumlah hak pengusahaan hutan (HPH) meningkat sekitar 600 unit dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektar. Devisa negara yang disumbangkan hampir setara dengan minyak bumi, 9 miliar dollar AS per tahun terhadap pendapatan nasional (Nurrochmat, 2005).

Faktor kemerosotan

Kegiatan ekonomi dengan komoditas kayu yang diusahakan oleh perusahaan (pemegang HPH) cenderung telah pudar masanya. Dewasa ini kegiatan usaha konsesi hutan alam terus menurun dari tahun ke tahun.

Hingga 2015, tercatat 269 perusahaan dan yang aktif 178 perusahaan dengan total wilayah kelola 20,62 juta hektar. Artinya, luas kawasan hutan alam produksi yang dikelola berkurang 66 persen selama kurun 23 tahun.

Implikasinya, kawasan hutan alam produksi eks HPH akhirnya berpotensi menjadi ”open access”. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada kawasan HPH, tetapi juga hutan tanaman industri (HTI) di mana 35 persen dari total luas lahan konsesi HTI (10,57 juta hektar) dalam kondisi tak terkelola.

Ada beberapa faktor merosotnya kegiatan pengusahaan kayu dalam 23 tahun terakhir. Pertama, ketakpastian status kawasan hutan terutama sejak era reformasi.Tumpang tindih hak pengelolaan adat dan hak negara atas kawasan hutan yang pada era Orde Baru mudah diselesaikan, kini sulit diselesaikan. Sekalipun perusahaan mendapat izin konsesi tak serta-merta bisa melakukan aktivitas penebangan karena bisa saja ada gugatan dari masyarakat adat, termasuk tumpang tindih dengan pemegang hak konsesi pertambangan. Inilah penyebab investor kurang tertarik membangun usaha di sektor kehutanan.

Kedua, kegiatan pengusahaan kayu (hutan) cenderung sudah tidak lagi menguntungkan secara ekonomis. Harga jual kayu bulat dalam lima tahun terakhir relatif stagnan, sementara biaya produksi justru semakin meningkat: mulai dari sewa peralatan, ongkos tenaga kerja, hingga biaya-biaya nonproduksi yang semakin bertambah. Sebutlah seperti kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan, sumbangan resmi dan tidak resmi, termasuk faktor areal kerja dari perusahaan yang bermasalah dan potensi kayu yang menurun. Karena itu, hampir 40 persen dari perusahaan berizin sudah tidak aktif beroperasi

Ketiga, ketentuan larangan ekspor kayu bulat oleh pemerintah sejak 1985 hingga sekarang (dibuka kembali pada 2000- 2001). Padahal, terdapat disparitas harga kayu bulat yang tajam antara harga internasional dan domestik hingga 100 persen.

Pada 2014 harga kayu bulat, misal meranti, di tingkat lokal Rp 1,2 juta per meter kubik, sedangkan harga internasional mencapai Rp 3 juta per meter kubik. Ironisnya lagi, harga jual kayu bulat yang rendah juga diperburuk dengan peredaran kayu-kayu bulat hutan alam secara ilegal. Harga kayu yang murah di tingkat lokal pada dasarnya disebabkanindustri pengolahan kayu yang inefisien.

Di luar ketiga persoalan itu, redupnya kegiatan pengusahaan kayu hutan juga karena ketiadaan dukungan pemerintah daerah dan masyarakat. Kedua pihak ini lebih bersifat realistis, yaitu memilih investasi kebun sawit dibandingkan HPH/HTI. Mengingat komoditas sawit dinilai lebih memberikan manfaat ekonomi nyata kepada masyarakat dan pemerintah kabupaten. Dalam World Growth 2011 disebutkan, pendapatan petani sawit mencapai Rp 36 juta per hektar dan petani padi sekitar Rp 7,4 juta per hektar.

Kaji ulang

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dalam Peta Jalan Pembangunan Hutan Produksi 2016-2045 mengusulkan salah satu langkah mengoptimalkan hutan produksi adalah meningkatkan produktivitas hutan alam dan membangun hutan tanaman dari 2016 hingga 2045. Luas lahan yang dibutuhkan sekitar 17,05 juta hektar tanaman dan diprediksi bisa menghasilkan kayu bulat mencapai 572 juta meter kubik per tahun. Untuk hutan alam, pengelolaannya perlu dilakukan secara optimal di areal seluas 20 juta hektar sehingga menghasilkan kayu bulat sekitar 28 juta meter kubik per tahun.

Apa yang disampaikan APHI pada dasarnya bertujuan menjamin ketersediaan kayu dan belum menjawab masalah kepastian lahan, harga jual kayu yang rendah, dan mahalnya biaya pengusahaan kayu. Dengan kata lain, kegiatan pengusahaan hutan perlu dikaji ulang kelayakannya secara sosial, ekonomi, dan lingkungan.Bagi perusahaan yang efisien, memiliki hubungan sosial yang baik dengan masyarakat, dan menjaga nilai-nilai konservasi, maka penting untuk diizinkan memperluas kawasan eksploitasi. Sebaliknya, pada perusahaan yang kinerjanya buruk, mutlak dicabut dan kawasannya dialihkan untuk budidaya tanaman lain, misal kelapa sawit.

Pemerintah seharusnya menyadari dan realistis bahwa keberadaan HPH sebagai lokomotif dalam mendukung perkembangan ekonomi wilayah saat ini sulit diandalkan. Namun, di sisi lain, ketiadaan pengelola hutan alam produksi juga membuat areal hutan alam eks HPH menjadi lahan tak bertuan, dimanfaatkan secara ilegal, dan mempercepat proses degradasi serta deforestasi. Karena itu, perlu dilakukan pembenahan secara sungguh-sungguh. Jika tidak, keberadaan HPH bukan lagi aset, melainkan beban bagi bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar