Redupnya
Pamor HPH
Suhardi Suryadi ;
Mantan
Direktur LP3ES (2005-2010);
Kini Konsultan Proyek
USAID-LESTARI di Bidang Knowledge Management
|
KOMPAS, 17 Februari 2017
Indonesia
dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kawasan hutan tropis terluas
di dunia selain Brasil dan Kongo. Luas hutan Indonesia saat ini sekitar
120,53 juta hektar, atau sekitar 63 persen dari luas daratannya, dan untuk
hutan produksi sekitar 68,99 juta hektar.
Sebagai sumber
daya alam yang tidak saja bernilai konservasi tinggi, hutan Indonesia juga
dieksploitasi sejak zaman kerajaan hingga kini untuk berbagai kepentingan
sosial-ekonomi.
Pada era
penjajahan Belanda, eksploitasi hutan Jawa dilakukan secara masifoleh
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang membutuhkan kayu sebagai bahan
baku industri perkapalan di Rotterdam. Puncak dari eksploitasi hutan sebagai
komoditas ekonomi adalah di era pemerintah Orde Baru. Kawasan hutan seluas
120 juta hektar telahmenjadi sumber devisa negara yang penting untuk pembangunan.
Pada tahun 2000, misalnya, jumlah hak pengusahaan hutan (HPH) meningkat
sekitar 600 unit dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektar.
Devisa negara yang disumbangkan hampir setara dengan minyak bumi, 9 miliar
dollar AS per tahun terhadap pendapatan nasional (Nurrochmat, 2005).
Faktor kemerosotan
Kegiatan
ekonomi dengan komoditas kayu yang diusahakan oleh perusahaan (pemegang HPH)
cenderung telah pudar masanya. Dewasa ini kegiatan usaha konsesi hutan alam
terus menurun dari tahun ke tahun.
Hingga 2015,
tercatat 269 perusahaan dan yang aktif 178 perusahaan dengan total wilayah
kelola 20,62 juta hektar. Artinya, luas kawasan hutan alam produksi yang
dikelola berkurang 66 persen selama kurun 23 tahun.
Implikasinya,
kawasan hutan alam produksi eks HPH akhirnya berpotensi menjadi ”open
access”. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada kawasan HPH, tetapi juga hutan
tanaman industri (HTI) di mana 35 persen dari total luas lahan konsesi HTI
(10,57 juta hektar) dalam kondisi tak terkelola.
Ada beberapa
faktor merosotnya kegiatan pengusahaan kayu dalam 23 tahun terakhir. Pertama,
ketakpastian status kawasan hutan terutama sejak era reformasi.Tumpang tindih
hak pengelolaan adat dan hak negara atas kawasan hutan yang pada era Orde
Baru mudah diselesaikan, kini sulit diselesaikan. Sekalipun perusahaan
mendapat izin konsesi tak serta-merta bisa melakukan aktivitas penebangan
karena bisa saja ada gugatan dari masyarakat adat, termasuk tumpang tindih
dengan pemegang hak konsesi pertambangan. Inilah penyebab investor kurang
tertarik membangun usaha di sektor kehutanan.
Kedua, kegiatan
pengusahaan kayu (hutan) cenderung sudah tidak lagi menguntungkan secara
ekonomis. Harga jual kayu bulat dalam lima tahun terakhir relatif stagnan,
sementara biaya produksi justru semakin meningkat: mulai dari sewa peralatan,
ongkos tenaga kerja, hingga biaya-biaya nonproduksi yang semakin bertambah.
Sebutlah seperti kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan, sumbangan resmi
dan tidak resmi, termasuk faktor areal kerja dari perusahaan yang bermasalah
dan potensi kayu yang menurun. Karena itu, hampir 40 persen dari perusahaan
berizin sudah tidak aktif beroperasi
Ketiga,
ketentuan larangan ekspor kayu bulat oleh pemerintah sejak 1985 hingga
sekarang (dibuka kembali pada 2000- 2001). Padahal, terdapat disparitas harga
kayu bulat yang tajam antara harga internasional dan domestik hingga 100
persen.
Pada 2014
harga kayu bulat, misal meranti, di tingkat lokal Rp 1,2 juta per meter
kubik, sedangkan harga internasional mencapai Rp 3 juta per meter kubik.
Ironisnya lagi, harga jual kayu bulat yang rendah juga diperburuk dengan
peredaran kayu-kayu bulat hutan alam secara ilegal. Harga kayu yang murah di
tingkat lokal pada dasarnya disebabkanindustri pengolahan kayu yang
inefisien.
Di luar ketiga
persoalan itu, redupnya kegiatan pengusahaan kayu hutan juga karena ketiadaan
dukungan pemerintah daerah dan masyarakat. Kedua pihak ini lebih bersifat
realistis, yaitu memilih investasi kebun sawit dibandingkan HPH/HTI.
Mengingat komoditas sawit dinilai lebih memberikan manfaat ekonomi nyata
kepada masyarakat dan pemerintah kabupaten. Dalam World Growth 2011
disebutkan, pendapatan petani sawit mencapai Rp 36 juta per hektar dan petani
padi sekitar Rp 7,4 juta per hektar.
Kaji ulang
Asosiasi Pengusaha
Hutan Indonesia (APHI) dalam Peta Jalan Pembangunan Hutan Produksi 2016-2045
mengusulkan salah satu langkah mengoptimalkan hutan produksi adalah
meningkatkan produktivitas hutan alam dan membangun hutan tanaman dari 2016
hingga 2045. Luas lahan yang dibutuhkan sekitar 17,05 juta hektar tanaman dan
diprediksi bisa menghasilkan kayu bulat mencapai 572 juta meter kubik per
tahun. Untuk hutan alam, pengelolaannya perlu dilakukan secara optimal di
areal seluas 20 juta hektar sehingga menghasilkan kayu bulat sekitar 28 juta
meter kubik per tahun.
Apa yang
disampaikan APHI pada dasarnya bertujuan menjamin ketersediaan kayu dan belum
menjawab masalah kepastian lahan, harga jual kayu yang rendah, dan mahalnya
biaya pengusahaan kayu. Dengan kata lain, kegiatan pengusahaan hutan perlu
dikaji ulang kelayakannya secara sosial, ekonomi, dan lingkungan.Bagi
perusahaan yang efisien, memiliki hubungan sosial yang baik dengan
masyarakat, dan menjaga nilai-nilai konservasi, maka penting untuk diizinkan
memperluas kawasan eksploitasi. Sebaliknya, pada perusahaan yang kinerjanya
buruk, mutlak dicabut dan kawasannya dialihkan untuk budidaya tanaman lain,
misal kelapa sawit.
Pemerintah
seharusnya menyadari dan realistis bahwa keberadaan HPH sebagai lokomotif
dalam mendukung perkembangan ekonomi wilayah saat ini sulit diandalkan.
Namun, di sisi lain, ketiadaan pengelola hutan alam produksi juga membuat
areal hutan alam eks HPH menjadi lahan tak bertuan, dimanfaatkan secara
ilegal, dan mempercepat proses degradasi serta deforestasi. Karena itu, perlu
dilakukan pembenahan secara sungguh-sungguh. Jika tidak, keberadaan HPH bukan
lagi aset, melainkan beban bagi bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar