Mempertanyakan
Jalan Rekonsiliasi Kasus Trisakti
Stanley Adi Prasetyo ; Mantan Anggota Komnas HAM
|
TEMPO.CO, 07 Februari 2017
Keputusan
pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat hak asasi manusia
Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (kasus TSS) melalui jalur
non-yudisial atau rekonsiliasi dikecam sejumlah kalangan. Ide rekonsiliasi sebetulnya berdasar pada kepercayaan
bahwa rekonsiliasi antara pelaku dan korban pelanggaran HAM membutuhkan
pengungkapan kebenaran di belakang semua kejadian secara menyeluruh. Dalam
proses rekonsiliasi, korban harus diberi kesempatan untuk bicara dan menerima
penjelasan tentang kejadian-kejadian penting yang berhubungan dengan
pelanggaran HAM pada masa lalu (truth telling). Hal tersebut merupakan
fondasi bagi terungkapnya kebenaran dan penegakan keadilan.
Proses
rekonsiliasi tidak bisa dan tidak boleh menggantikan fungsi pengadilan.
Memang, proses rekonsiliasi dapat melakukan beberapa hal penting yang tidak
dapat dicapai melalui proses penuntutan/persidangan di pengadilan pidana.
Ide
rekonsiliasi dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar,
seperti bagaimana sebuah pelanggaran HAM terjadi, mengapa itu terjadi dan
faktor apa yang terdapat dalam masyarakat dan negara kita yang memungkinkan
kejadian tersebut terjadi, dan perubahan apa saja yang harus dilakukan untuk
mencegah tindak kekerasan dan pelanggaran HAM ini terulang kembali.
Ada
kesan Komnas HAM, yang menyetujui penyelesaian kasus TSS melalui
rekonsiliasi, melakukan tindakan main-main. Sebab, Komnas HAM, melalui temuan Komisi
Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM TSS, merekomendasikan kepada Kejaksaan Agung
untuk melanjutkan penyidikan terhadap sejumlah petinggi TNI/Polri pada masa
itu. Hasil penyelidikan KPP HAM TSS pada Maret 2002 menyatakan bahwa tiga
tragedi tersebut bertautan satu sama lain.
KPP
HAM TSS juga menyimpulkan bahwa, "terdapat bukti-bukti awal yang cukup
bahwa di dalam ketiga tragedi telah terjadi pelanggaran berat HAM yang,
antara lain, berupa pembunuhan, penganiayaan, penghilangan paksa, perampasan
kemerdekaan, dan kebebasan fisik yang dilakukan secara terencana dan
sistematis serta meluas…."
Dalam
menjalankan pekerjaannya, Komnas HAM mengacu pada Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Khusus dalam menjalankan kewenangan
penyelidikan pelanggaran HAM berat, Komnas HAM mengacu pada Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kalau
kita lihat rapor Komnas HAM, selama perjalanan Komnas HAM sejak dibentuk
berdasar Keputusan Pre-siden Soeharto pada 1993 hingga 2017, hanya ada
sembilan peristiwa. Peristiwa itu antara lain Peristiwa Tanjung Priok,
Peristiwa Timor Timur 1999, Peristiwa Trisakti-Semanggi I-Semanggi II (TSS),
Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998, Peristiwa Wasior-Wamena, Peristiwa
Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa 1965, dan
Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1995. Dari semua kasus itu, Komnas HAM
merekomendasikan agar dapat digunakan jalan non-yudisial untuk Peristiwa
1965. Hal ini mengingat peristiwanya telah terjadi cukup lama dan banyak
pelaku yang telah meninggal dunia.
Komnas
HAM dalam melakukan penyelidikan pelanggaran HAM berat menerapkan prosedur
yang ketat. Hal ini termasuk ketika akan mulai melakukan proses penyelidikan,
Komnas HAM harus melapor kepada Kejaksaan Agung sebagai penyidik sebagaimana
diatur dalam Pasal 19 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Memang
pernah terjadi perbedaan pendapat antara pihak Komnas HAM, Kejaksaan Agung,
dan DPR mengenai bagaimana proses penyelidikan dimulai: apakah butuh
keputusan politik dari DPR berupa pembentukan pengadilan HAM ad hoc dulu atau
penyelidikan Komnas HAM terlebih dulu. Perdebatan ini nyaris seperti
perdebatan mana yang lebih dulu: ayam atau telur. Namun kepastian hukum lebih
jelas setelah Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Keputusan Nomor 18/PUU-V/2007
perihal pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan pemohon Eurico
Guterres pada 21 Februari 2008 memutuskan bahwa DPR sebagai lembaga politik
tak punya kewenangan untuk melakukan penyelidikan.
Menurut
MK, satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan dalam penyelidikan
pelanggaran HAM berat adalah Komnas HAM. Urutan berikutnya untuk penyelesaian
pelanggaran HAM yang bersifat retroaktif (masa lalu) adalah Komnas HAM
meneruskan hasil penyelidikan ke Kejaksaan Agung untuk segera dilakukan penyidikan.
Hasil penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Kejaksaan diberikan ke DPR untuk
diputuskan apakah perlu dibentuk Pengadilan HAM ad hoc atau tidak. Kalau
memutuskan ya, DPR kemudian meminta kepada presiden agar mengeluarkan surat
keputusan presiden.
Jadi
jelas sudah pemerintah tak boleh mengambil alih apalagi menghentikan sebuah
proses hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar