Kebanalan
Korupsi Dinasti Politik
Achmad Maulani ; Kandidat Doktor Sosiologi Ekonomi
Universitas Indonesia
|
TEMPO.CO, 06 Februari 2017
Hampir
tak ada teladan terbaik dalam pengelolaan daerah yang dipimpin oleh mata
rantai dinasti politik. Yang nyaris selalu disuguhkan adalah kebanalan
korupsi dan pengkhianatan atas mandat kekuasaan. Kasus mutakhir adalah
penangkapan Bupati Klaten oleh KPK atas dugaan jual-beli jabatan di
lingkungan pemerintah kabupaten.
Karena
potensi penyelewengan kekuasaan yang begitu besar karena model hubungan
kekerabatan dalam jabatan publik, regulasi yang mengatur soal pengelolaan
daerah berdasarkan kekerabatan pun sempat muncul. Tapi itu pun layu sebelum
berkembang. Mahkamah Konstitusi membatalkannya atas nama satu hal: hak asasi
manusia.
Kasus
penangkapan Bupati Klaten itu sekali lagi menegaskan kepada kita akan
kebanalan korupsi yang dilakukan penguasa daerah. Praktek semacam inilah yang
sesungguhnya memiskinkan rakyat karena sangat terkait dengan seluruh
kebijakan publik dan menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dari
data yang dilansir Indonesia Corruption Watch, pada pemilihan kepala daerah
serentak 2017 tercatat ada 12 calon kepala daerah di 11 daerah yang berasal
dari dinasti politik. Beberapa daerah tersebut adalah, antara lain, Banten,
Gorontalo, Musi Banyuasin, Barito Kuala, Pringsewu Lampung, Kota Batu, Landak
Kalbar, Lampung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Mesuji, dan Maluku Tengah.
Studi
yang dilakukan Eric Chetwynd dkk, "Corruption and Poverty: A Review of Recent
Literature"(2003), menyediakan landasan teori yang kuat soal hubungan
korupsi dan kemiskinan. Studi tersebut ingin menunjukkan bahwa korupsi memang
tidak bisa langsung menghasilkan kemiskinan. Namun korupsi memiliki dampak
langsung terhadap tata kelola pemerintahan dan perekonomian, yang pada
akhirnya melahirkan kemiskinan.
Persoalan
kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan saat ini masih menjadi masalah
utama bangsa ini. Angka kemiskinan yang masih bertengger tinggi, yakni 10,86
persen, jelas tak akan mengalami perubahan signifikan di masa depan ketika
kebanalan korupsi oleh pemimpinnya terus saja menggerogoti anggaran-anggaran
daerah yang dialokasikan untuk mengentaskan kemiskinan dan mempersempit
kesenjangan.
Kebanalan
dan kebrutalan korupsi yang dilakukan gurita dinasti politik jelas akan
menciptakan distorsi bagi perekonomian, termasuk kerangka kebijakan dan hukum
yang mengakibatkan sekelompok masyarakat tertentu memiliki keuntungan yang
lebih dibanding kelompok masyarakat yang lain. Karena itu, dalam The Laws,
filsuf Plato mengatakan bahwa korupsi tidak hanya memiskinkan rakyat, tapi
juga membusukkan peradaban.
Komisi
Aparatur Sipil Negara menduga bahwa di hampir 90 persen daerah terjadi
jual-beli jabatan. Dalam banyak kasus, hal itu merupakan dampak negatif
pemilihan kepala daerah untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.
Komisi mencatat saat ini ada 441 ribu jabatan pemimpin di republik ini. Itu
artinya, bila semua jabatan itu dikenai tarif seperti kasus Klaten, nilainya
mencapai Rp 35 triliun.
Ada
dua hal yang menjadi pemicu utama potensi korupsi yang dilakukan dinasti
politik. Pertama, penguasaan sumber daya dan dampaknya yang dapat melemahkan
check and balance dalam pemerintahan, terutama bila dinasti telah
mencengkeram eksekutif dan legislatif. Persoalan itulah yang membuat dinasti
dekat dengan korupsi ditambah dengan kewenangan mereka untuk mengakses sumber
daya ekonomi.
Kedua,
pola yang terbangun dalam dinasti politik saat ini membutuhkan dana besar
untuk merawat kekuasaan dan jaringan yang menjadi simpul-simpul politik
lainnya. Dalam istilah Robert Putnam (1976), inilah yang disebut "aktor
bayang-bayang" dalam proses politik di daerah yang mengunci peran
pemimpin daerah dan menjadi embrio sumber korupsi.
Setidaknya
ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini, yakni regulasi,
tata kelola pemerintahan yang baik dan inovatif, serta kepemimpinan daerah
yang transformasional. Meski persoalan regulasi saat ini sudah terkunci
dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak melarang dinasti politik, tapi
hal tersebut bukan berarti tak bisa diubah. Ke depan, dengan berbagai argumen
yang kokoh dan data yang kuat, saya kira DPR bisa membuat regulasi yang
detail soal ini. Langkah lain adalah memberikan pendidikan politik secara
terus-menerus kepada rakyat agar selektif dalam memilih pemimpin.
Kedua,
prinsip-prinsip dalam good governance (transparan, akuntabel, responsif,
partisipatif) dalam tata kelola pemerintahan daerah adalah sesuatu yang tak
bisa ditawar. Ketiga, kepemimpinan yang transformatif adalah kunci perubahan
radikal dalam tata kelola dan inovasi kebijakan daerah. Pemimpin yang
kapabel, jujur, berintegritas, visioner, serta selalu terbuka terhadap
hal-hal baru merupakan faktor utama dalam inovasi dan tata kelola daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar