Membuat
Perbedaan
AS Laksana ; Sastrawan; Pengarang; Kritikus Sastra yang
dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
JAWA
POS, 06
Februari 2017
Seorang
pria 70 tahun membacakan cerita di depan para ibu dan bapak yang mendengarnya
dengan khidmat. Sebagian dari mereka menangis ketika cerita berakhir.
Adegan
tersebut saya temukan pada video lima menit di YouTube, diunggah pada 2010.
Pria yang membacakannya bernama Wayne Dyer, motivator dan penulis buku Your
Erroneous Zones (terjual 35 juta eksemplar), dan ia memulainya dengan
mengatakan, ’’Saya ingin membacakan cerita untuk kalian, cerita sangat
menyentuh yang dikirimkan oleh seseorang melalui e-mail. Mudah-mudahan saya
tidak menangis saat membacakannya.’’
Saya
ingin mengulangi kisah Teddy dan Bu Thompson itu untuk Anda yang belum
membaca atau mendengarnya.
Bu
Thompson berdiri di depan kelas. Ini hari pertamanya mengajar murid kelas V
dan ia menyampaikan akan menyayangi semua siswa dengan rasa sayang yang sama.
Tentu ia tidak mampu membuktikan ucapannya. Di kelas itu ada siswa bernama
Teddy Stoddard yang duduk ogah-ogahan di kursinya di barisan depan.
Teddy
bukan kawan bermain yang menyenangkan bagi teman-temannya. Pakaiannya kumal
dan tampak tidak pernah mandi. Tak ada yang bisa diharapkan dari perusuh
kecil seperti itu. Setiap kali memeriksa hasil pekerjaan siswa-siswanya, Bu
Thompson akan membuat tanda silang besar dengan tinta merah, khusus untuk
kertas ulangan Teddy.
Di
sekolah itu, setiap guru diharuskan membaca berkas laporan perkembangan siswa
yang dibuat guru-guru sebelumnya. Bu Thompson melakukannya. Laporan tentang
Teddy ia baca paling akhir, dengan perasaan malas.
Guru
kelas I membuat catatan bahwa Teddy adalah murid yang pintar, periang, dan
selalu menyelesaikan pekerjaannya secara rapi. Ia teman bermain yang
menyenangkan bagi kawan-kawannya.
Guru
kelas II menulis, ’’Teddy murid yang hebat. Ia disukai semua temannya, tetapi
ada masalah besar di rumahnya. Ibunya sakit keras dan keadaannya menjadi
sulit.”
Guru
kelas III menulis, ’’Ibunya meninggal dan Teddy sangat terpukul. Ia sudah
mencoba melakukan yang terbaik, tetapi ayahnya seperti tidak peduli. Perlu
ada penanganan tepat agar ia tidak semakin terbenam.’’
Guru
kelas IV menulis, ”Teddy semakin mundur dan tidak tertarik dengan sekolah. Ia
menjadi penyendiri; kadang tertidur di kelas.”
Bu
Thompson merasa malu pada dirinya sendiri setelah membaca laporan itu.
Perasaannya semakin tidak enak ketika tiba hari Natal dan semua murid
memberinya kado. Mereka membungkus kado dengan kertas warna-warni dihiasi
pita cantik. Teddy membungkus kadonya asal-asalan, dengan kertas cokelat
bekas tas belanja.
Satu
demi satu kado dibuka dan seisi kelas tertawa saat melihat isi kado Teddy:
hanya gelang yang beberapa manik-maniknya sudah tanggal dan botol parfum yang
isinya tinggal setengah. ”Kado yang indah,” kata Bu Thompson. Ia memakai
gelang itu dan mengusapkan parfum ke pergelangan tangannya.
Bel
pulang berbunyi dan anak-anak keluar ruangan; Teddy menghampiri Bu Thompson,
berdiri mematung beberapa waktu, sampai akhirnya bisa berucap: ’’Bu Thompson,
hari ini Ibu seharum ibu saya.’’
Guru
kelas itu menangis satu jam lamanya setelah kelas sepi. Sejak hari itu ia
memberikan perhatian khusus kepada Teddy, dan si kumal pelan-pelan kembali
menjadi murid cemerlang. Pada akhir tahun, anak itu menjadi salah seorang
murid terpandai di kelas.
Bertahun-tahun
berlalu, suatu hari Bu Thompson menerima surat dari Teddy, menceritakan bahwa
ia sudah tamat SMA dan berniat melanjutkan kuliah, meskipun jalannya mungkin
tidak mudah. Di akhir surat, Teddy menulis: ”Bu Thompson, saya ingin Ibu tahu
bahwa Ibu adalah guru terbaik sepanjang hidup saya.”
Empat
tahun berikutnya Teddy menulis surat lagi dan menyampaikan hal yang sama
bahwa Bu Thompson adalah guru terbaik. Kali ini ia menuliskan nama
panjangnya, lengkap dengan gelar sebagai lulusan fakultas kedokteran:
Theodore F. Stoddard M.D.
Itu
bukan akhir cerita. Teddy mengirimkan surat lain, mengabarkan bahwa ia hendak
menikah. Ayahnya sudah meninggal, ia berharap Bu Thompson bersedia duduk di
kursi yang biasanya untuk ibu pengantin pria.
Bu
Thompson memenuhi permintaan itu. Ia datang mengenakan gelang manik-manik
yang sudah ompong dan parfum dari Teddy. Mereka berpelukan. Dokter Stoddard
berbisik, ’’Terima kasih Ibu telah memercayai saya dan membuat saya merasa
berarti. Terima kasih telah meyakinkan bahwa saya mampu membuat perbedaan.”
Bu
Thompson, dengan mata basah, membalas bisikan, ’’Teddy, kau yang telah
mengajariku membuat perbedaan. Aku tidak tahu cara mengajar sampai bertemu
denganmu.”
Cerita
tersebut tersebar luas di internet dan banyak orang menganggapnya kisah
nyata. Mungkin karena ia sangat menyentuh, dan orang berharap kehidupan nyata
berisi kejadian-kejadian seperti itu. Namun, itu fiksi, sebuah modifikasi
dari cerpen Three Letters from Teddy, ditulis oleh Elizabeth Silance Ballard
di majalah Home Life, 1975, dan diterbitkan ulang di majalah yang sama
setahun kemudian dengan keterangan: ”Cerita yang paling diminati pembaca
sepanjang sejarah majalah ini.”
Ballard
menyampaikan bahwa setiap orang bisa membuat perbedaan, dan tindakan-tindakan
kecil bisa bermakna besar. Kisah itu menyentuh perasaan pada saat kali
pertama diterbitkan, dan bertahun-tahun kemudian orang masih tetap menangis
oleh rasa haru yang disampaikannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar