Kriminalisasi
Tindakan Diskresi
Amzulian Rifai ; Ketua Ombudsman Republik Indonesia;
Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sriwijaya 2009–2016
|
JAWA
POS, 06
Februari 2017
Seorang
kepala daerah berkeluh kesah kepada saya soal beberapa kepala dinasnya yang
masuk penjara untuk hal-hal yang diyakininya tidak bersalah. Berbagai
implikasi harus dihadapi, termasuk keengganan staf mengurus proyek.
Akibatnya, penyerapan anggaran rendah yang berimplikasi pada ponten
kinerjanya.
Memang
salah satu tolok ukur kinerja pemerintah ada pada penyerapan anggaran.
Rendahnya penyerapan anggaran di pemerintah daerah (pemda), kementerian, dan
lembaga dituduh sebagai penyebab buruknya kinerja birokrasi. Hal itu memiliki
implikasi terhadap geliat ekonomi yang akan terjadi bila penyerapan anggaran
tinggi.
Penyerapan
anggaran yang rendah dapat berakibat pada hilangnya manfaat belanja. Padahal,
apabila pengalokasian anggaran efisien, meskipun dengan adanya keterbatasan
sumber dana, negara masih dapat mengoptimalkan pendanaan kegiatan strategis
lainnya.
Sebagai
contoh rendahnya penyerapan anggaran pada APBN Perubahan 2015 ditetapkan Rp
1.319,5 triliun. Sekitar 60 persen (Rp 795,5 triliun) dialokasikan untuk
kementerian dan lembaga. Selisih dari jumlah itu ditransfer ke daerah dalam
bentuk dana perimbangan, otonomi khusus, dana desa, dana keistimewaan, dan
dana transfer lainnya. Namun, ketika itu, sampai Agustus 2015, baru sekitar
20 persen dana yang terserap.
Salah
satu penyebab rendahnya penyerapan anggaran adalah perasaan takut para
birokrat. Ada semacam trauma untuk bertindak karena begitu banyak
penyelenggara negara yang masuk penjara. Menurut catatan KPK, terdapat 18
gubernur dan 343 bupati/wali kota yang terjerat kasus korupsi. Akibatnya,
banyak pejabat yang ragu-ragu untuk menggunakan dana yang ada karena takut
berurusan dengan aparat hukum. Itu sebabnya, sebagian memilih mendiamkan saja
anggaran yang sudah ada.
Kekhawatiran
yang berlebihan tersebut menjadikan sebagian kementerian dan lembaga hingga
ke daerah terkesan lamban bertindak. Beberapa pemda meminta bantuan BPKP,
BPK, bahkan KPK untuk mengawal penggunaan anggaran.
Kondisi Menuntut Diskresi
Tidak
mudah menjalankan tugas kepemerintahan yang dihadapkan pada anggaran terbatas
dengan keharusan bersaing secara global. Padahal, persaingan itu menuntut
dana besar dengan birokrasi tidak berliku. Justru salah satu kelemahan
birokrasi kita adalah kelambanan yang berbaur dengan praktik pungli/pelayanan
diskriminatif.
Para
birokrat visioner putus asa dengan realitas yang menghambat bermacam ide
cemerlangnya. Sebenarnya percepatan pembangunan mampu dilakukan sekalipun
dalam kondisi pendanaan yang memprihatinkan.
Cara
paling cepat mengatasi keuangan negara yang terbatas adalah melakukan kerja
sama dengan swasta. Artinya, dengan cara itu berbagai pembangunan dan program
dapat dijalankan. Namun, sering kali muncul persoalan hukum di kemudian hari
karena langkah kerja sama tersebut melanggar hukum formal yang ada.
Seorang
kepala daerah tertantang untuk berbuat banyak karena menjadi tuan rumah event
internasional misalnya. Memang tersedia anggaran negara, tapi jumlahnya
terbatas dan lamban pula ketersediaannya.
Padahal,
sebagai tuan rumah perhelatan internasional, tuan rumah ingin mempersiapkan
berbagai fasilitas bertaraf internasional. Padahal pula, kebutuhan anggaran
jauh lebih besar daripada yang tersedia. Berbagai terobosan dilakukan dan
rentan dipidanakan.
Bertambah
tidak mudah apabila kita meneropong manajemen di BUMN. Tuntutannya harus
meraup untung sebanyak-banyaknya, tapi di sisi lain langkah BUMN tertahan
dengan berbagai aturan pemerintah.
Sosok
seperti Dahlan Iskan pastilah bertentangan dengan birokrat pemerintah pada
umumnya. Visioner untuk mengangkat harkat dan martabat perusahaan pelat merah
dan menghargai siapa saja yang memiliki jiwa inovatif. Hal itu hanya mungkin
dilakukan dengan cara bergerak cepat dan memangkas birokrasi.
Dalam
kasus penjualan aset-aset PT Panca Wira Usaha (PWU) di Kediri dan Tulungagung
pada 2003, yang dijual adalah kekayaan perseroan terbatas (PT) dengan
aturannya sendiri. Bukannya aset pemda.Begitu juga halnya dalam kasus mobil
listrik. Dahlan ”seketika” dinyatakan sebagai tersangka hanya mengacu putusan
Mahkamah Agung.
Padahal,
dalam putusan tingkat pertama dan banding pada perkara yang menyeret Dasep
Ahmad, tidak pernah ada putusan mengenai keterlibatannya dalam kasus
tersebut. Beberapa analisis meyakini, telah terjadi maladministrasi karena
bertentangan dengan KUHAP (pasal 1 butir 5 dan pasal 1 butir 2).
Kriminalisasi Diskresi
Selama
ini, dalam banyak perkara, termasuk terhadap Dahlan Iskan, telah terjadi
kriminalisasi atas tindakan diskresi atau setidaknya suatu kebijakan yang
sebetulnya masuk kategori kesalahan administrasi. Pasal 1 (9) UU 30/2014
tentang Administrasi Pemerintahan mengartikan diskresi sebagai keputusan dan
atau tindakan yang ditetapkan dan atau dilakukan pejabat pemerintahan untuk
mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan
dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak
mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan atau adanya stagnasi
pemerintahan.
Diskresi
merupakan salah satu hak yang dimiliki pejabat pemerintahan dalam mengambil
keputusan dan atau tindakan. Hak itu secara tegas dijamin pasal 6 ayat (2)
huruf e jo ayat (1) UU 30/2014.
Arahan Presiden Jokowi
Presiden
Joko Widodo (Jokowi) merespons keluhan terkait rentannya kriminalisasi
terhadap tindakan diskresi. Presiden memahami berbagai realitas di lapangan,
ada tuntutan melakukan diskresi agar berbagai inovasi tidak terhenti.
Mungkin
itu sebabnya beliau mengumpulkan semua petinggi hukum, termasuk KPK dan para
Kapolda serta Kajati, Juli 2016. Presiden menegaskan lima poin penting kepada
aparat hukum untuk dipatuhi.
Pertama,
kebijakan dan diskresi tidak bisa dipidanakan sebagaimana pelanggaran
administrasi. Selain itu, hasil audit BPK tentang kerugian negara diberi
waktu menyelesaikan 60 hari. Keempat, kerugian negara harus nyata ada.
Kelima, kasus yang ditangani tidak diekspos ke media secara berlebihan.
Pemberantasan
tipikor harus berlanjut. Namun, jangan pula upaya itu memperlambat penyerapan
anggaran, memperlemah Indonesia dalam persaingan global, apalagi ada yang
dizalimi. Aparat hukum harus sejalan dengan presiden yang memerintahkan
kesalahan administrasi dan tindakan diskresi tidak dipidanakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar