Debat
Ambang Batas
Refly Harun ;
Praktisi dan Pengajar Hukum Tata
Negara;
Mengajar di Program Pascasarjana
Fakultas Hukum UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Februari 2017
AMBANG
batas parlemen, atau yang biasa disebut parliamentary threshold (PT), ialah
materi yang kerap diperdebatkan dalam setiap perubahan undang-undang yang
mengatur pemilu legislatif. Perdebatan berkisar dua hal, yaitu tujuan PT
diadakan dan berapa besaran PT yang akan diterapkan.
Hal
yang pertama relatif sudah selesai. Pembentuk undang-undang sudah menerima PT
sebagai sebuah sarana untuk menyederhanakan sistem kepartaian di tingkat
pusat (DPR). Sebelum PT diterapkan pada Pemilu 2009, ada belasan partai yang
memiliki kursi di DPR sebagai hasil Pemilu 2004. Hal ini menyulitkan dalam
gerak parlemen karena begitu banyak perbedaan yang harus dinegosiasikan
terlebih dulu sebelum tiba pada pengambilan keputusan. Setelah PT diterapkan,
hanya sembilan partai yang memiliki kursi di DPR sebagai hasil Pemilu 2009. Sekarang,
jumlah partai menjadi sepuluh setelah Partai NasDem masuk urutan sembilan
dari sepuluh partai yang memperoleh kursi di DPR.
Jumlah
sepuluh partai tersebut dinilai masih terlalu banyak. Almarhum Afan Gaffar,
Guru Besar Ilmu Politik UGM, misalnya, dalam suatu kesempatan menyatakan
bahwa jumlah parpol yang ideal di Indonesia sebaiknya lima saja, yang
mewakili beragam aliran politik yang ada, yaitu kanan-kiri, agak kanan-agak
kiri, dan tengah. Jumlah lima itu cukup ideal karena sudah mewakili aliran
politik yang ada.
Secara
umum, spektrum politik Indonesia dibagi tiga sebagai akibat peninggalan Orde
Baru, yaitu partai kanan (partai yang berbasiskan agama atau massa Islam),
partai kiri (partai bagi kaum nasionalis dan non-Islam), dan partai tengah
(partai bagi kaum karya). Spektrum tersebut bisa dilebarkan menjadi dua lagi,
yaitu partai agak kanan dan agak kiri.
Mengapa
demikian? Karena ada kecenderungan partai-partai di Indonesia ditarik ke
garis tengah sebagai partai moderat.
Polarisasi
ideologi di Indonesia meruntuh sejak era Orde Baru dan makin berlanjut pada
era Reformasi. Parpol-parpol tidak dibangun dengan ideologi lagi, tetapi
dengan pragmatisme tingkat tinggi hanya karena pendiri parpol ialah orang
yang memiliki sumber daya ekonomi yang kuat.
Kebutuhan
untuk menyederhanakan parpol makin menjadi karena Indonesia menerapkan sistem
pemerintahan presidensial. Seperti dikatakan Scott Mainwarning (1993) dari
Universitas Notre Dame, AS, "The combination of presidentialism and
multipartism makes stable democracy difficult to sustain." Itulah
sebabnya dibutuhkan penyederhanaan parpol agar demokrasi lebih stabil.
Persoalannya,
penyederhanaan parpol tersebut harus dicapai dengan suatu rekayasa
konstitusional (constitutional engineering). Sangat tidak dibenarkan
membatasi jumlah parpol menjadi tiga saja seperti era Orde Baru. Penyederhanaan
parpol meski dilakukan dengan suatu rekayasa konstitusional harus pula
berlangsung secara alamiah.
Lima alasan
Sebelum
menerapkan PT, Indonesia sudah menuju beberapa jalan untuk menyederhanakan
sisem kepartaian, yaitu 1) memperberat syarat pendirian parpol, 2)
memperberat syarat parpol untuk memperoleh badan hukum, 3) memperberat syarat
untuk menjadi peserta pemilu, dan 4) menerapkan konsep ambang batas pemilihan
atau electoral threshold (ET).
Konsep
ET diterapkan pada Pemilu 2004. Partai yang tidak memperoleh ambang batas
perolehan suara tertentu tidak diperbolehkan untuk mengikuti pemilu
berikutnya. Ternyata ketentuan ET ini disiasati dengan mengubah nama dan
lambang parpol, misalnya Partai Keadilan menjadi Partai Keadilan Sejahtera
hingga saat ini. Akibatnya, konsep ET tidak memberikan dampak signifikan bagi
penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia. Selain itu, penerapan ET
menjadi salah kaprah karena yang penting bukan jumlah parpol yang ikut
pemilu, melainkan berapa parpol yang bisa mengirimkan wakilnya ke DPR.
Pada
titik ini, konsep ET kemudian bergeser menjadi PT. PT dianggap lebih
kompatibel dibandingkan ET untuk menyederhanakan sistem kepartaian. Setidaknya
ada lima alasan mengapa PT dianggap lebih baik dari ET. Pertama, seperti yang
sudah disinggung terdahulu, yang paling penting dari konsep penyederhanaan
parpol ialah bukan berapa banyak jumlah parpol dalam pemilu, melainkan jumlah
parpol di parlemen (DPR).
Efektivitas
sistem presidensialisme bukan terletak pada jumlah parpol dalam pemilu,
melainkan jumlah parpol dalam parlemen. Boleh saja ada ratusan parpol yang
ikut pemilu, tetapi dengan mekanisme PT, jumlah itu akan berkurang secara
signifikan di parlemen.
Kedua,
penerapan ET dinilai tidak lazim bahkan aneh karena ambang batas ditentukan
berdasarkan pencapaian parpol dalam pemilu lima tahun sebelumnya. Padahal,
bukan tidak mungkin telah terjadi perubahan yang mendasar dalam lima tahun
terakhir. Seharusnya ambang batas tersebut ditentukan oleh hasil pemilu saat
itu juga. Caranya dengan menerapkan PT. Sebuah parpol yang tidak mencapai
persentase tertentu dalam pemilu yang bersangkutan tidak diperbolehkan
mengirimkan wakilnya.
Ketiga,
penerapan ET berpotensi melanggar konstitusi. Dikatakan demikian karena hak
untuk mendirikan parpol dan ikut dalam pemilu ialah hak asasi manusia yang
dijamin oleh UUD 1945. Konsekuensi dari penerapan ET ialah apabila sebuah
parpol tidak mencapai ET, parpol itu harus dibubarkan atau menggabungkan diri
bila ingin ikut pemilu berikutnya.
Problem
konstitusional yang muncul ialah UUD 1945 menentukan bahwa setiap warga
negara memiliki kebebasan untuk berserikat dan berkumpul.
Penerapan
ET menyebabkan hak berserikat dan berkumpul tersebut potensial dilanggar. Selain
itu, hak untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be
candidate) adalah hak yang juga dijamin oleh konstitusi (putusan MK dalam
pengujian UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, 24 Februari 2004). Menghalangi
sebuah parpol untuk ikut pemilu potensial melanggar hak untuk dipilih.
Kelebihan
PT dalam konteks ini, parpol yang tidak mencapai persentase tertentu tidak
perlu bubar atau menggabungkan diri bila ingin ikut dalam pemilu berikutnya. Parpol
tersebut hanya terhalang untuk mengirimkan wakil di parlemen, yang mungkin
bisa dikompensasi pada pemilu berikutnya, tetapi eksistensi mereka sebagai
parpol tetap dapat dipertahankan.
Keempat,
dari perspektif politik, penerapan PT bisa dikatakan lebih adil ketimbang ET
mengingat parpol yang ada saat ini tidak bertanding dengan garis start yang
sama. Tiga parpol warisan Orde Baru, yaitu Golkar, PDI(P), dan PPP, sudah
sangat mapan dan memiliki jaringan parpol hingga ke daerah-daerah. Public
awarness terhadap ketiga parpol tersebut sudah dimulai puluhan tahun lebih
dulu ketimbang parpol baru yang tumbuh pada era Reformasi. Diperlukan
beberapa kali pemilu bagi parpol baru untuk mengimbangi kemapanan ketiga
parpol tersebut.
Dengan
penerapan PT, parpol-parpol baru memiliki hak untuk hidup dan berkembang
serta ikut pemilu berkali-kali. Punishment, kalau boleh dikatakan demikian,
terhadap mereka hanyalah bila tidak mampu mencapai persentase tertentu
sehingga tidak bisa mengirimkan wakilnya ke parlemen. Sebagai sebuah parpol
mereka tetap dapat melakukan pembenahan dan konsolidasi secara terus-menerus.
Bukan tidak mungkin suatu saat mereka akan menjadi parpol besar. Hal ini
kemudian menjadi terbukti karena perolehan kursi parpol-parpol baru sudah ada
yang melampaui perolehan kursi PPP. Bahkan, pada Pemilu 2009, Partai Demokrat
berhasil menjadi pemenang pemilu.
Kelima,
dari aspek sosiologis, penerapan PT akan merupakan disinsentif bagi
petualang-petualang parpol yang berpikiran jangka pendek. Sering elite-elite
politik mendirikan parpol hanya untuk merebut posisi politik, misalnya
menguasai sejumlah kursi di DPR dan DPRD atau mendapatkan kursi kabinet. Mereka
jadi kurang peduli dengan perkembangan parpol yang mereka dirikan setelah
mendapatkan posisi politik. Baru menjelang pemilu, mereka bekerja kembali
untuk parpol dengan harapan memperoleh posisi politik lagi.
Bagi
elite parpol yang hanya melihat parpol sebagai jembatan untuk merebut kursi
parlemen atau posisi politik di pemerintahan pastilah tidak menyukai
penerapan PT. Dalam benak mereka, bagaimana mungkin, setelah 'berdarah-darah'
dalam prosesi pemilu mereka tidak boleh mengirimkan wakilnya ke parlemen
lantaran tidak mencapai PT. Namun, bagi mereka, yang melihat bahwa
mempertahankan dan membesarkan eksistensi parpol jauh lebih penting ketimbang
sekadar merebut satu-dua kursi parlemen, akan menyambut PT sebagai jembatan
untuk menghadirkan parpol besar dan kuat di kemudian hari.
Contoh
disinsentif pada Partai Bintang Reformasi (PBR). Dalam percakapan dengan saya
beberapa waktu lalu, Bursah Zarnubi, Ketua Umum PBR, menyatakan bahwa
jaringan partai mereka masih ada, tetapi memang sengaja tidak mengikuti
pemilu karena penerapan PT. Di mata Bursah Zanubi, agak riskan memaksakan
diri untuk ikut pemilu dengan masih diterapkannya PT. Bursah pernah
merasakan, meski menjadi salah satu kandidat yang memperoleh suara terbanyak
pada Pemilu 2009, ia tidak bisa melaju ke DPR sebagaimana pemilu sebelumnya. Itulah
sebabnya PBR tidak ikut menjadi peserta Pemilu 2014.
Berapa besar?
Masalahnya,
berapa besar PT untuk Pemilu 2019 nanti? Saat ini, PT sebesar 3,5%. Ada
wacana untuk menaikkan PT ke angka yang lebih tinggi. Ada partai yang bahkan
menyebut 7,5%. Tidak ada angka yang eksak untuk menyebut besaran PT terbaik. Besaran
PT sangat bergantung pada kondisi kepartaian di masing-masing negara. Di
Jerman, misalnya, PT 5%. Hingga saat ini angka tersebut terus dipertahankan.
Di Turki pernah diterapkan PT sebesar 10%. Akibatnya, banyak suara yang
terbuang, yang tidak terwakili karena banyaknya jumlah parpol yang ikut
pemilu.
Berapa
banyak parpol yang akan ikut pemilu menjadi sebuah variabel untuk menentukan
besaran PT. Sayangnya, di Indonesia, jumlah parpol yang akan ikut pemilu
berikutnya tidak bisa dipastikan jumlahnya kendati akhir-akhir ini sudah bisa
direka karena gairah membentuk parpol tidak sebesar dulu lagi. Andai tiga
parpol baru melaju mulus, yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Perindo,
dan Partai Idaman, jumlah parpol yang akan ikut pemilu maksimal 15 saja. Jumlah
ini tidak terlalu banyak, tetapi tidak juga sedikit.
Proposal
yang ingin saya tawarkan dalam tulisan ini ialah PT sebesar 5%.
Angka
itu, menurut saya, sudah moderat, tidak terlalu besar, tetapi tidak pula
terlalu kecil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar